UNSUR JAWA DAN ISLAM DALAM TRADISI PERANG OBOR DI DESA TEGALSAMBI KABUPATEN JEPARA

UNSUR JAWA DAN ISLAM DALAM TRADISI PERANG OBOR DI DESA TEGALSAMBI KABUPATEN JEPARA

ELEMENTS OF JAVA AND ISLAM IN THE TRADITION OF TORCH WAR IN TEGALSAMBI VILLAGE, JEPARA REGENCY

ANANDA FATHIA SALMA FADHILA

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Ananthiasalma07@gmail.com

Abstract

This study wants to describe how torch war tradition is used in the torch war tradition in Tegalsambi village, Jepara Regency, Central Java. The study uses investigative methods and interactions with the surrounding community. The Torch War, as part of the Jepara community's culture, is a traditional ceremony that is routinely held every Monday Pahing, Tuesday night Pon in the Dhulhijjah Month in the Javanese or Arabic calendar in Tegalsambi village, Annual, Jepara.in Tegalsambi village, Tahunan, Jepara. This is named the Torch War because the torch is used as a tool to attack each other so that it will cause a very large spark. Sparks from the torch were delivered as reinforcements and were able to bring health. In addition, this celebration is a form of gratitude for the harvest made through alms. The Torch War Ritual symbolizes the solidarity between the community members who are united in togetherness when gathering at the tomb. In the development of tradition, this torch war changed the movement from pre-Islam which was originally functioned to expel the forces of evil spirits that brought the plague to the Islamic period where this ceremony was used as a place of Islamic symbols that could be used from symbols used by two wooden swords and the Drum as a the legacy of Sunan Kalijaga which presents symbols of the power of the Islamic symbols. The Torch War tradition has several procedures for implementation or procession. The torch war ritual unites the people of the Tegal Sambi community by gathering together during the event as members of the community who unite their attention respect Ki Gemblong.

Keyword: Islam, Torch War, Local Culture, Tegalsambi.

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana tata cara tradisi perang obor dilaksanakan di desa Tegalsambi, kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan investigasi dan interaksi dengan masyarakat sekitar. Perang Obor, sebagai bagian dari budaya masyarakat Jepara, adalah upacara tradisional yang rutin diadakan setiap Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah dalam kalender Jawa atau Arab di desa Tegalsambi, Tahunan, Jepara. Ini dinamakan Perang Obor karena obor digunakan sebagai alat untuk saling menyerang sehingga akan menimbulkan percikan yang sangat besar. Api dari obor diyakini sebagai bala bantuan penolak dan mampu membawa kesehatan. Selain itu, perayaan ini adalah bentuk rasa terima kasih atas hasil panen berlimpah yang diwujudkan melalui sedekah bumi.  Ritual Perang Obor melambangkan kesetiakawanan antar warga masyarakat yang disatukan dalam kebersamaan saat berkumpul di makam. Dalam perkembangan tradisi, perang obor ini mengalami perubahan dari pra-Islam yang semula difungsikan untuk mengusir kekuatan roh jahat yang membawa wabah penyakit ke periode Islam di mana upacara tersebut digunakan sebagai tempat syiar Islam yang bisa dijadikan dilihat dari simbol yang digunakan adalah dua pedang kayu dan drum sebagai peninggalan Sunan Kalijaga yang menghadirkan simbol-simbol kekuatan syiar Islam. Tradisi  Perang Obor mempunyai beberapa tata cara pelaksanaan atau prosesi. Ritual perang obor menyatukan warga masyarakat Tegal Sambi dengan berkumpul bersama saat acara sebagai anggota masyarakat yang menyatukan perhatian untuk menghormati Ki Gemblong.

 

Kata kunci: Islam, Perang obor, Budaya Lokal, Tegalsambi.

 

 

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Setiap daerah mempunyai budaya lokal masing-masing yang menjadi  ciri khas budaya dari daerah itu sendiri. Budaya lokal yang dimiliki suatu Daetah tertentu menggambarkan jati diri pemiliknya. Jati diri yang dimiliki oleh suatu daerah tersebut merupakan warisan budaya yang harus tetap  dilestarikan agar tidak punah. Oleh karena itu, perlu adanya memperkenalkan lokal budaya setempat melalui perayaan-perayaan yang dilaksanakan dalam waktu tertentu. Begitupun yang terdapat di Jepara khususnya  tradisi perang obor. Dinamakan Perang obor karena obor digunakan sebagai alat untuk saling menyerang sehingga akan menimbulkan percikan api yang sangat besar. Budaya lokal Islam yang berkembang di Jepara dengan tradisi Perang Obor  dirayakan  pada hari  Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah dalam kalender Jawa atau Arab.

Menjadi bagian yang melekat sebagai warisan budaya turun-temurun oleh masyarakat Jepara khususnya masyarakat Tegalsambi Jepara, Jawa Tengah. Dan kebudayaan ini terus berkembang dengan berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai budaya. Dalam perkembangan tradisinya, perang obor ini mengalami perubahan mulai dari pra Islam yang awalnya difungsikan untuk mengusir kekuatan roh jahat yang mendatangkan wabah penyakit hingga pada masa Islam dimana upacara ini digunakan sebagai ajang untuk syiar agama Islam yang bisa dilihat dari simbol yang digunakan yaitu dua pedang kayu dan sebuah bedug sebagai peninggalan Sunan Kalijaga yang mempresentasikan simbol-simbol kekuatan syiar Islam. Dari hal tersebut dapat dijelaskan bahwa Islam merupakan agama yang kuat disimbulkan dengan pedang dan masih tetap mengedepankan ajaran-ajaran yang persuasif yang disimbolkan dalam bedhug.

Seiring perkembangan zaman, jati diri budaya lama tergantikan dengan unsur-unsur budaya yang mengikuti perkembangan ilmu yang maju dan pemikiran masyarakat yang lebih maju dan modern. Hal ini yang dinamakan akulturasi, yang mana dalam hal ini membentuk sosok baru namun masih membawa warisan budaya lama sebagai identitas diri.[1] akulturasi adalah proses sosial yang terjadi karena pendukung suatu kebudayaan asli ketika berhadapan dengan unsur kebudayaan asing mengambil unsur-unsur kebudayaan tersebut, memadukan, dan menerimanya tanpa menghilangkan hakekat kebudayaan asli.[2]

Sebagian generasi muda bangsa yang seharusnya menjadi pelopor pembangunan bangsa,telah kehilangan jati dirinya ,sehingga mau melakukan apa saja untuk mencapai keinginannya.Banyak diantaranya yang  tidak tahu lagi sopan santun atau tatakrama, suka melakukan tindak kekerasan ,bahkan juga kejahatan yang sudah diluar perikemanusiaan. Masyarakat Jawa yang dulu dikenal santun,guyub dan rukun,sebagian telah terkontaminasi dengan gaya hidup global yang merusak tatanan sosial dan membuat jati diri bangsa terancam pudar. Sebagian generasi muda,mengaku tidak tahu lagi tatakrama dan budaya Jawa yang Adiluhung (indah) padahal sebagian mereka ingin mewarisi serta mengembangkan budaya yang luhur tersebut.[3]

Keunggulan budaya Jawa Islam perlu dikuak, agar pada era global ini mahasiswa,masyarakat dan generasi muda dapat mengetahuinya. Sehingga  ajaran yang bernilai tinggi yang terkandung didalamnya  dapat  diambil manfaatnya. Dengan demikian, diharapkan  generasi muda termasuk para mahasiswa,  yang mengaku sudah tidak tahu lagi  bahasa dan budaya Jawa ,akan  bisa mengenal  budaya yang dikenal “adiluhung” ini. Dan   selanjutnya mereka akan dapat mencintai dan siap melestarikan  nilai nilai luhur    bangsa  yang terdapat dalam Budaya Jawa Islam.

Islam datang ke Indonesia pertama kali pada abad VII M. Pada  saat itu hanya sekilas tentang kedatangan Islam dan dibuktikan dengan makam Fatimah binti Maimun di Leran,Jawa Timur. Sejak diturunkannya,Islam  telah tumbuh sebagai agama yang membimbing manusia untuk mengabdi kepada Allah dan  melahirkan kebudayaan yang mendatangkan kedamaian serta kesejahteraan bagi umat manusia.[4]

Sejak Islam masuk ke Jawa, para mubalighnya antara lain Walisongo bersikap terbuka untuk  melakukan kompromi dengan budaya Jawa yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hasilnya , memudahkan tersebarnya Islam di Jawa,dan nilai nilai Islam juga bisa memperkaya kebudayaan lokal. Namun ada pula dampak  negatifnya,antara lain  timbulnya varian Islam yang disebut agami  Jawi,yang mencampurkan kepercayaan pra Islam seperti animisme, dinamisme ,Hindu/Budha dengan Islam.[5] Penganut agami  Jawi, mengaku beragama Islam,namun  tidak melaksanakan  rukun Islam sebagaimana  ketetapan Syariat  Islam. Disamping dampak negatifnya, ada pula  dampak positif  antara lain terjadinya perpaduan nilai nilai budaya  Jawa yang  luhur dan bersifat universal dengan nilai kebudayaan Islam.Kedatangan Islam membawa perubahan besar dalam sosial budaya mereka, sebagai contoh adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa sebelum mengenal peradaban, telah mengenal dan meyakini kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu adalah kegaiban alam semesta yang akan membantunya berbuat baik terhadap alam, atau sebaliknya akan mencelakakan bila tidak berbuat baik terhadap alam.[6]

Perpaduan makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik) dapat terlaksana apabila manusia mampu menjalankan tahapan-tahapan, yaitu ngangkah (berniat dengan sungguh-sungguh), ngukut (menghentikan pakartinya jiwa dan raga), ngiket (mengikat dengan memusatkan jiwa pada satu tujuan), dan ngruket triloka, kakulut, (yaitu bagaimana merangkul dan memegang erat-erat tiga alam semesta endra loka, endra loka, jana loka).[7]

 

TRADISI PERANG OBOR

Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat dari masa lalu sampai sekarang. Tradisi merupakan  sesuatu yang telah dilakukan  sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok.

Masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Tradisi berhubungan  dengan unsur keagamaan sehingga muncul  adanya nilai-nilai budaya dan agama. Ritual memberi kesempatan kepada masyarakat desa untuk mengambil peran dalam dimensi adikodrati masyarakat yang dihadirkan dalam kesatuan mistik masyarakat dan kosmos yang meskipun mengalami berbagai konflik tetap tampaklah eksistensinya.Kesatuan masyarakat dan alam adikodrati dicerminkan orang Jawa dalam sikap hormat terhadap nenek moyang (danyang).

Bentuk penyatuan budaya lokal dan Islam salah satunya terlihat dalam tradisi atau ritual Perang obor. Perang Obor adalah ritual khas Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Seperti tradisi Perang Obor yang dilaksanakan pada hari Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah dalam kalender Jawa atau Arab. Tradisi perang obor dilakukan oleh masyarakat  di desa Tegalsambi menuju arah Pantai Teluk Awur Jepara.

Ritual Perang Obor melambangkan kesetiakawanan antar warga masyarakat yang disatukan dalam kebersamaan saat berkumpul di makam. Apabila tidak ikut serta dalam ritual tersebut, maka memberi kesan individualis dan egois. Ritual perang obor menyatukan warga masyarakat Tegal Sambi dengan berkumpul bersama saat acara sebagai anggota masyarakat yang menyatukan perhatian untuk menghormati Ki Gemblong. Saat berkumpul terjadi kohesi sosial (silaturahim) dan integrasi tatkala suasana.[8]

Kebudayaan ini dilestarikan oleh masyarakat Tegalsambi, Perang Obor ini merupakan  di latar belakangi oleh kejadian di masa lalu, yang kental sekali di masyarakat. Ritual Perang Obor merupakan bentuk atraksi yang diminati oleh masyarakat setempat sebagai ritual yang  sudah turun-temurun dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada  Tuhan Yang Maha Esa. Ritual Perang Obor melambangkan kesetiakawanan antar warga masyarakat yang disatukan dalam kebersamaan saat berkumpul di makam. Apabila tidak ikut serta dalam ritual tersebut, maka memberi kesan individualis dan egois. Ritual perang obor menyatukan warga masyarakat Tegal Sambi dengan berkumpul bersama saat acara sebagai anggota masyarakat yang menyatukan perhatian untuk menghormati Ki Gemblong. Saat berkumpul terjadi kohesi sosial (silaturahim) dan integrasi tatkala suasana [9] 

Penyatuan antara budaya lokal dan Islam merupakan penafsiran kembali atas kenyataan adanya Islam sebagai konsepsi realitas dengan Islam sebagai realitas sosial.Dalam wacana antropologi dan sosiologi, kedua realitas tersebut dikenal dengan konsep dualisme agama (Islam), yaitu Islam tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition) atau tradisi lokal (local tradition). Ernest Gellner menyebut kedua model tersebut dengan tradisi tinggi (high tradition) dan tradisi rendah (low tradition).[10]

Perang obor sebagai tradisi lokal dalam perspektif kebudayaan Islam tidak dilihat dari sisi bentuk, melainkan ditekankan pada sisi substansinya. Bentuk kebudayaan masyarakat memiliki keragaman karena perbedaan pola pikir, keyakinan, dan kreativitas pendukungnya. Selama substansi tradisi tesebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka tetap dapat diadopsi keberadaannya, dan ini berlaku dalam ritual Perang Obor.

Penyelenggaraan Perang Obor secara rutin itu dilatarbelakangi pula oleh adanya kekhawatiran akan gangguan fisik dan non fisik yang tiap saat dapat menimpa mereka jika ritual itu tidak dilaksanakan. Jadi, Perang Obor dapat digolongkan kepada jenis tradisi krisis yang sekaligus tradisi religius, karena dari pelaksanaannya diharapkan berdampak positif bagi keselamatan seluruh warga masyarakat. Hakikatnya, pelaksanaan Perang Obor adalah ungkapan sikap pasrah diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa, yang mencerminkan keterikatan manusia dengan Tuhannya.

 

 

TEGALSAMBI

Tegalsambi adalah desa di kecamatan Tahunan kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Indonesia. Desa Tegalsambi berada di sebelah selatan ibu kota kabupaten yang merupakan salah satu Desa di Kecamatan Tahunan dengan jarak tempuh ke Ibukota Kecamatan kurang lebih 3 km dan ke Ibukota kabupaten kurang lebih 4 km dapat ditempuh dengan kendaraan kurang lebih 15 menit.

Secara geografis, Desa Tegalsambi berbatasan dengan: sebelah utara desa Karang Kebagusan, sebelah timur Desa Mantingan, sebelah selatan Desa Demangan, sebelah barat Desa Teluk Awur.

Desa Tegalsambi merupakan desa yang masih menjaga budaya lokal. Hal ini terlihat dari banyaknya kebudayaan tradisional dan modern, seperti terbang telon, orkes melayu, qasidah, band, dan lainnya. Selain itu bidang budaya desa Tegalsambi juga mempunyai potensi yang tidak kalah menarik yaitu sedekah bumi yang dilaksanakan setahun sekali itu terdapat ritual budaya yang masih dilestarikan sampai sekarang yaitu perang obor.

Disini leluhur berperan menjaga ikatan rohani bagi kelompok masyarakat tradisional, menjaga ikatan dengan alam gaib (roh-roh halus) dan menjaga kelangsungan adat.[11] Hal tersebut terlihat dari banyaknya leluhur yang ada di Desa Tegalsambi dan masih diuri-uri sampai sekarang. Para leluhur tersebut antara lain:

ü  Mbah Tegal

ü  Mbah Surgi Manis

ü  Mbah Tegalsari

ü  Kiai Babatan (Mbah Gambiran)

ü  Kiai Bendo/Mbah Tunggul Wulung

ü  Mbah Datuk Sulaiman/Kiai Sorogaten

ü  Kiai Sudimoro

 

PELAKSANAAN TRADISI PERANG OBOR

Ritual Perang Obor dimulai dengan beberapa prosesi yang saling berkaitan dan mempunyai makna tersendiri. Prosesi Perang Obor terbilang rumit karena hanya dilaksanakan sekali waktu sehingga persiapannya harus sudah dilakukan beberapa hari atau beberapa bulan sebelum perayaan. Berikut adalah tata pelaksanaan tradisi perang obor:

Hal pertama yang dilakukan adalah sebelum Upacara Perang Obor dilaksanakan, sebelumnya harus diadakan selamatan atau doa bersama ke makam para leluhur beberapa kali sebelumnya dalam waktu tertentu. Untuk prosesi selamatan, warga desa Tegalsambi membawa nasi beserta lauk pauknya, jajanan pasar, dan buah pisang. Setelah itu, Kepala Desa dan wakilnya membakar kemenyan lalu dilanjutkan doa bersama dan doa tahlil dipimpin oleh mudin. Setelah itu dilanjutkan dengan makan bersama dirumah kepala desa.

Kedua, penyembelihan peliharaan hewan sebagai pelengkap sesaji. Penyembelihannya dilaksanakan pada pagi hari yaitu sebelum acara puncak dimulai. Hewan yang dijadikan kurban adalah kerbau jantan yang belum pernah digunakan bekerja. Setelah disembelih, sebagian darah dan dagingya diambil untuk sesajen, lalu diletakkan di perbatasan desa Tegalsambi, yaitu di rumah kepala desa, perempatan jalan, makam para leluhur, ruang penyimpanan pusaka desa dan tempat pertunjukan wayang kulit. Masyarakat desa Tegalsambi mempercayai bahwa setiap tempat ada penunggunya. Dengan demikian, mereka berharap acara perang obor dapat berjalan lancar, dan sekaligus menghormati keberadaan para arwah leluhur.

Ketiga, pementasan wayang kulit. Setelah penyembelian hewan qurban dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dari pagi hingga tengah malam dengan diiringi alunan khas gamelan Jawa.

Keempat, barikan di masjid Tegalsambi dilaksanakan siang hari yaitu waktu dzuhur dan dilanjutkan dengan selamatan di masjid. Seluruh warda desa Tegalsambi berbondong-bondong membawa nasi serta lauk pauknya dan dilengkapi dengan jajan pasar lalu berdoa dengan mengucap tahlil bersama agar di berikan keselamatan, terhindar dari balak, diberi kelancaran rezeki, dan prosesi Perang Obor bisa berjalan lancar.

Kelima, puncak perang obor. Puncaknya dilaksanakan malam hari yaitu setelah isya’ sekitar pukul 20.00 WIB tepat di perempatan jalan desa Tegalsambi. Di awal acara adalah akan dimeriahkan oleh sambutan para pejabat daerah dan tokoh masyarakat, kemudian dilanjutkan doa dan pembakaran kemenyan oleh mudin hingga acara puncak Perang Obor sendiri. Para pemuda Tegalsambi yang berjumlah 50 orang bertarung satu sama lain menggunakan obor dari pelepah batang dan daun pisang meyerupai obor. Mereka berkejaran, dan apabila apinya mati maka di nyalakan kembali sampai habis. Yang menjadi unik dari tradisi ini adalah ketika ada penonton atau pemain yang terluka maka mudin memberikan ramuan minyak kelapa yang dipercaya sebagai obat ampuh untuk mengobati luka bakar. untuk mengobati luka bakar. Sepanjang jalan menuju rumah petinggi dipadati ribuan pengunjung baik dari desa setempat maupun desa-desa lain. Sebelum api obor disulut pada pukul 20.00 WIB, Petinggi diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga ke pusat upacara, di perapatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat jawa, diapit dua pawang api dan sesepuh desa.

Secara garis besar, prosesi ritual perang obor adalah sebagai berikut:

a. Satu bulan sebelum diadakannya perang obor para masyarakat melakukan doa bersama dan berziarah ke makam para sesepuh desa.

b. Setelah pas harinya yaitu perang obor, di mana perang obor selalu dilaksanakan pada hari Senin malam Selasa Pon, sebelum perang obor dilaksanakan ada beberapa hal sebelumnya yaitu:

(1) Pemberangkatan para aktor perang obor dari rumah Bapak Lurah setempat;

(2) Setelah semuanya berkumpul acara berikutnya yaitu Upacara pembakaran dupa yang dipimpin oleh Bapak modin;

(3) Pembacaan doa oleh sesepuh desa.

 

EKSITENSI TRADISI PERANG OBOR

Eksistensi tradisi perang obor  ini bersifat turun temurun dan eksistensinya dikombinasikan dengan nilai agama berupa tahlilaln dalam selamatan sedekah bumi dan pembukaan acara Perang Obor, sehingga menjadi budaya lokal  Oleh masyarakat Jepara khususnya masyarakat setempat desa Tegalsambi.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan penelitian pendekatan investigasi dan interaksi dengan masyarakat sekitar.Tradisi Perang Obor di Desa Tegalsambi memiliki tujuan untuk menunjukkan bahwa di Jawa masih mempunyai keanekaragaman tradisi yang dipertahankan, salah satunya adalah tradisi perang obor yang masih dilakukan sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Tegalsambi masih melestarikan tradisi ini karena mengakomodasi budaya lokal atau nilai-nilai  budaya lokal dari masyarakat.

 

               

SIMPULAN

Setiap daerah mempunyai budaya lokal masing-masing yang menjadi  ciri khas budaya dari daerah itu sendiri. Budaya lokal yang dimiliki suatu Daetah tertentu menggambarkan jati diri pemiliknya. Perang Obor adalah ritual khas Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Seperti tradisi Perang Obor yang dilaksanakan pada hari Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah dalam kalender Jawa atau Arab. Tradisi perang obor dilakukan oleh masyarakat  di desa Tegalsambi menuju arah Pantai Teluk Awur Jepara. Ritual Perang Obor melambangkan kesetiakawanan antar warga masyarakat yang disatukan dalam kebersamaan saat berkumpul di makam. Apabila tidak ikut serta dalam ritual tersebut, maka memberi kesan individualis dan egois. Ritual perang obor menyatukan warga masyarakat Tegal Sambi dengan berkumpul bersama saat acara sebagai anggota masyarakat yang menyatukan perhatian untuk menghormati Ki Gemblong. Tegalsambi memiliki tujuh para leluhur. Secara garis besar, prosesi ritual perang antara lain yaitu pertama, satu bulan sebelum diadakannya perang obor para masyarakat melakukan doa bersama dan berziarah ke makam para sesepuh desa. Kedua, setelah pas harinya yaitu perang obor, di mana perang obor selalu dilaksanakan pada hari Senin malam Selasa Pon, sebelum perang obor dilaksanakan ada beberapa hal sebelumnya yaitu: (a) Pemberangkatan para aktor perang obor dari rumah Bapak Lurah setempat; (b) Setelah semuanya berkumpul acara berikutnya yaitu Upacara pembakaran dupa yang dipimpin oleh Bapak modin; (c) Pembacaan doa oleh sesepuh desa.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Aristanto, Zainal. Vol 6 No.1, April 2011. Perang Obor, Upacara Tradisi diTegalsambi, Tahunan, Jepara. dalam jurnal Sabda, h.88-94, ISSN 1410-7910,

Suhandjati, Sri. Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang: Karya Abadi Jaya. 2015

Endaswara, Suwardi, 2003. Mistik Kejawen: Sinkretik, Simbolisme, dan Sufisme dalam BudayaSpiritual Jawa. Jogjakarta: Narasi

Al-Ma’arif, 2015. Islam Nusantara: Studi Epistemologis dan Kritis, dalam Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 15, Nomor 2, Desember 2015

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Jogjakarta: Kanisius

Muhammad Damami. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Jogjakarta: LESFI, h. 59.

 

Ratri, Shanty Dyah Puspa, Cerita Rakyat dan Upacara Tradisional Perang Obor di Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah (Tinjauan Folklore). (Surakarta: Universitas Sebelah Mare, 2010).

Supriyadi, Yayat. 2014. Memotret Khazanah Seni Budaya Islam Nusantara.

Baidhawi, Zakiyuddin dan Muthoharun Jinan (ed), 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta

Bizawie, Zainul Milal. 2016. Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945). Jakarta: Pustaka Compass

 



[1] Sedyawati, Edi. Budaya, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo, 2006), hal. 383.

[2] Koentjaraningrat,,Pengantar Kebudayaan,Jakarta :Rineka Cipta,,1996, Jilid 1,hlm ,155

[3] Sri, Suhandjati. 2015. Islam dan Kebudayaan Jawa: Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang: Karya Abdi Jaya. Hlm, 4-5

[4] Sri, Suhandjati. 2015. Islam dan Kebudayaan Jawa: Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang: Karya Abdi Jaya. Hlm,2

[5] Sri, Suhandjati. 2015. Islam dan Kebudayaan Jawa: Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang: Karya Abdi Jaya. Hlm, 3

[6] Endaswara, Suwardi, 2003. Mistik Kejawen: Sinkretik, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Jogjakarta: Narasi., h. 49.

[7] Endaswara, Suwardi, 2003. Mistik Kejawen: Sinkretik, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa., h. 51.

 

[8] Lihat Jadul Maula dkk (2001) dalam penelitiannya tentang doa bersama di Sorowajan Yogyakarta. Bahwa doa bersama bisa dijadikan ruang integrasi bagi masyarakat Sorowajan yang majemuk (Islam santri, Islam abangan, Hindu, dan kejawen). Mereka bertemu dalam forum tersebut sekali tiap dua minggu, sehingga bisa mencegah masing-masing umat untuk menjadi eksklusif. 

[9] Baidhawi, dan Muthoharun Jinan (ed), 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal…h. 63.

 

[10] Muhammad Damami. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Jogjakarta: LESFI, h. 59.

 

[11] Muhammad Damami. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Jogjakarta: LESFI, h. 59.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM

PELESTARIAN BUDAYA JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI