UNSUR JAWA DAN ISLAM DALAM TRADISI PERANG OBOR DI DESA TEGALSAMBI KABUPATEN JEPARA
UNSUR JAWA DAN ISLAM
DALAM TRADISI PERANG OBOR DI DESA TEGALSAMBI KABUPATEN JEPARA
ELEMENTS OF JAVA AND
ISLAM IN THE TRADITION OF TORCH
WAR IN TEGALSAMBI VILLAGE, JEPARA REGENCY
ANANDA FATHIA SALMA
FADHILA
Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang
Abstract
This
study wants to describe how torch war tradition is used in the torch war
tradition in Tegalsambi village, Jepara Regency, Central Java. The study uses
investigative methods and interactions with the surrounding community. The
Torch War, as part of the Jepara community's culture, is a traditional ceremony
that is routinely held every Monday Pahing, Tuesday night Pon in the Dhulhijjah
Month in the Javanese or Arabic calendar in Tegalsambi village, Annual,
Jepara.in Tegalsambi village, Tahunan, Jepara. This is named the Torch War
because the
torch is used as a tool to attack each other so that it will cause a very large
spark. Sparks
from the torch were delivered as reinforcements and were able to bring health.
In addition, this celebration is a form of gratitude for the harvest made
through alms. The Torch War Ritual symbolizes the solidarity between
the community members who are united in togetherness when gathering at the
tomb. In
the development of tradition, this torch war changed the movement from
pre-Islam which was originally functioned to expel the forces of evil spirits
that brought the plague to the Islamic period where this ceremony was used as a
place of Islamic symbols that could be used from symbols used by two wooden
swords and the Drum as a the legacy of Sunan Kalijaga which presents symbols of
the power of the Islamic symbols. The Torch War tradition has several
procedures for implementation or procession. The torch war ritual unites the people
of the Tegal Sambi community by gathering together during the event as members
of the community who unite their attention respect Ki Gemblong.
Keyword: Islam, Torch War, Local Culture, Tegalsambi.
Abstrak
Tulisan
ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana tata cara tradisi perang obor
dilaksanakan di desa Tegalsambi, kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Penelitian ini
menggunakan metode pendekatan investigasi dan interaksi dengan masyarakat
sekitar. Perang Obor, sebagai bagian dari budaya masyarakat Jepara, adalah
upacara tradisional yang rutin diadakan setiap Senin Pahing, malam Selasa Pon
di Bulan Dzulhijjah dalam kalender Jawa atau Arab di desa Tegalsambi,
Tahunan, Jepara. Ini dinamakan Perang Obor karena obor digunakan
sebagai alat untuk saling menyerang sehingga akan menimbulkan percikan yang
sangat besar. Api
dari obor diyakini sebagai bala bantuan penolak dan mampu membawa kesehatan.
Selain itu, perayaan ini adalah bentuk rasa terima kasih atas hasil panen
berlimpah yang diwujudkan melalui sedekah bumi. Ritual
Perang Obor melambangkan kesetiakawanan antar warga masyarakat yang disatukan
dalam kebersamaan saat berkumpul di makam. Dalam perkembangan tradisi, perang obor ini mengalami
perubahan dari pra-Islam yang semula difungsikan untuk mengusir kekuatan roh
jahat yang membawa wabah penyakit ke periode Islam di mana upacara tersebut
digunakan sebagai tempat syiar Islam yang bisa dijadikan dilihat dari simbol
yang digunakan adalah dua pedang kayu dan drum sebagai peninggalan Sunan
Kalijaga yang menghadirkan simbol-simbol kekuatan syiar Islam. Tradisi Perang Obor mempunyai beberapa tata cara
pelaksanaan atau prosesi. Ritual perang obor menyatukan warga masyarakat
Tegal Sambi dengan berkumpul bersama saat acara sebagai anggota masyarakat yang
menyatukan perhatian untuk menghormati Ki Gemblong.
Kata kunci: Islam,
Perang obor, Budaya
Lokal, Tegalsambi.
PENDAHULUAN
Setiap daerah mempunyai budaya lokal
masing-masing yang menjadi ciri khas
budaya dari daerah
itu sendiri. Budaya lokal
yang dimiliki suatu Daetah
tertentu menggambarkan jati diri pemiliknya. Jati
diri yang dimiliki oleh suatu
daerah tersebut merupakan
warisan budaya yang harus tetap dilestarikan agar tidak punah. Oleh karena itu, perlu adanya memperkenalkan
lokal budaya
setempat melalui perayaan-perayaan yang dilaksanakan dalam waktu tertentu.
Begitupun yang terdapat di Jepara khususnya tradisi perang obor. Dinamakan Perang obor karena obor digunakan sebagai
alat untuk saling menyerang sehingga akan menimbulkan percikan api yang sangat
besar. Budaya lokal Islam yang berkembang di Jepara dengan tradisi Perang
Obor dirayakan pada hari
Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah dalam kalender Jawa
atau Arab.
Menjadi bagian
yang melekat sebagai warisan budaya turun-temurun oleh masyarakat Jepara
khususnya masyarakat Tegalsambi Jepara, Jawa Tengah. Dan kebudayaan ini terus
berkembang dengan berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai budaya.
Dalam perkembangan tradisinya, perang obor ini mengalami perubahan mulai dari
pra Islam yang awalnya difungsikan untuk mengusir kekuatan roh jahat yang
mendatangkan wabah penyakit hingga pada masa Islam dimana upacara ini digunakan
sebagai ajang untuk syiar agama Islam yang bisa dilihat dari simbol yang
digunakan yaitu dua pedang kayu dan sebuah bedug sebagai peninggalan Sunan
Kalijaga yang mempresentasikan simbol-simbol kekuatan syiar Islam. Dari hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa Islam merupakan agama yang kuat disimbulkan
dengan pedang dan masih tetap mengedepankan ajaran-ajaran yang persuasif yang
disimbolkan dalam bedhug.
Seiring
perkembangan zaman, jati diri budaya lama tergantikan dengan unsur-unsur budaya
yang mengikuti perkembangan ilmu yang
maju dan pemikiran masyarakat yang lebih maju dan modern.
Hal ini yang dinamakan
akulturasi, yang mana dalam hal ini membentuk sosok baru namun masih membawa
warisan budaya lama sebagai identitas diri.[1] akulturasi adalah proses sosial yang terjadi karena
pendukung suatu kebudayaan asli ketika berhadapan dengan unsur kebudayaan asing
mengambil unsur-unsur kebudayaan tersebut, memadukan, dan menerimanya tanpa
menghilangkan hakekat kebudayaan asli.[2]
Sebagian
generasi muda bangsa yang seharusnya menjadi pelopor pembangunan bangsa,telah
kehilangan jati dirinya ,sehingga mau melakukan apa saja untuk mencapai
keinginannya.Banyak diantaranya yang
tidak tahu lagi sopan santun atau tatakrama, suka melakukan tindak
kekerasan ,bahkan juga kejahatan yang sudah diluar perikemanusiaan. Masyarakat Jawa yang dulu dikenal
santun,guyub dan rukun,sebagian telah terkontaminasi dengan gaya hidup global
yang merusak tatanan sosial dan membuat jati diri bangsa terancam pudar.
Sebagian generasi muda,mengaku tidak tahu lagi tatakrama dan budaya Jawa yang
Adiluhung (indah) padahal sebagian mereka ingin mewarisi serta mengembangkan
budaya yang luhur tersebut.[3]
Keunggulan
budaya Jawa Islam perlu dikuak, agar pada era global ini
mahasiswa,masyarakat dan generasi muda dapat mengetahuinya. Sehingga ajaran yang bernilai tinggi yang terkandung
didalamnya dapat diambil manfaatnya. Dengan demikian,
diharapkan generasi muda termasuk para
mahasiswa, yang mengaku sudah tidak tahu
lagi bahasa dan budaya Jawa ,akan bisa mengenal
budaya yang dikenal “adiluhung” ini. Dan selanjutnya mereka akan dapat mencintai dan
siap melestarikan nilai nilai luhur bangsa
yang terdapat dalam Budaya Jawa Islam.
Islam datang ke Indonesia pertama kali
pada abad VII M. Pada saat itu hanya sekilas tentang kedatangan
Islam dan dibuktikan dengan makam Fatimah binti Maimun di Leran,Jawa Timur. Sejak
diturunkannya,Islam telah tumbuh sebagai
agama yang membimbing manusia untuk mengabdi kepada Allah dan melahirkan kebudayaan yang mendatangkan
kedamaian serta kesejahteraan bagi umat manusia.[4]
Sejak Islam masuk ke Jawa, para
mubalighnya antara lain Walisongo bersikap terbuka untuk melakukan kompromi dengan budaya Jawa yang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hasilnya , memudahkan tersebarnya Islam
di Jawa,dan nilai nilai Islam juga bisa memperkaya kebudayaan lokal. Namun ada
pula dampak negatifnya,antara lain timbulnya varian Islam yang disebut agami Jawi,yang mencampurkan kepercayaan pra Islam
seperti animisme, dinamisme ,Hindu/Budha dengan Islam.[5] Penganut agami Jawi, mengaku beragama Islam,namun tidak melaksanakan rukun Islam sebagaimana ketetapan Syariat Islam. Disamping
dampak negatifnya, ada pula dampak positif antara lain terjadinya perpaduan nilai nilai
budaya Jawa yang luhur dan bersifat universal dengan nilai
kebudayaan Islam.Kedatangan Islam membawa
perubahan besar dalam sosial budaya mereka, sebagai contoh adalah masyarakat
Jawa. Masyarakat Jawa sebelum mengenal peradaban, telah mengenal dan meyakini
kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu adalah kegaiban alam semesta yang
akan membantunya berbuat baik terhadap alam, atau sebaliknya akan mencelakakan
bila tidak berbuat baik terhadap alam.[6]
Perpaduan makrokosmos (jagad gedhe) dan
mikrokosmos (jagad cilik) dapat terlaksana apabila manusia mampu menjalankan
tahapan-tahapan, yaitu ngangkah (berniat dengan sungguh-sungguh), ngukut
(menghentikan pakartinya jiwa dan raga), ngiket (mengikat dengan memusatkan
jiwa pada satu tujuan), dan ngruket triloka, kakulut, (yaitu bagaimana
merangkul dan memegang erat-erat tiga alam semesta endra loka, endra loka, jana
loka).[7]
TRADISI PERANG OBOR
Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek
moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat dari masa lalu sampai sekarang.
Tradisi merupakan sesuatu yang telah
dilakukan sejak lama dan menjadi bagian
dari kehidupan suatu kelompok.
Masyarakat,
biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Tradisi
berhubungan dengan unsur keagamaan
sehingga muncul adanya nilai-nilai
budaya dan agama. Ritual memberi kesempatan kepada masyarakat desa untuk
mengambil peran dalam dimensi adikodrati masyarakat yang dihadirkan dalam
kesatuan mistik masyarakat dan kosmos yang meskipun mengalami berbagai konflik
tetap tampaklah eksistensinya.Kesatuan masyarakat dan alam adikodrati
dicerminkan orang Jawa dalam sikap hormat terhadap nenek moyang (danyang).
Bentuk penyatuan budaya lokal dan Islam
salah satunya terlihat dalam tradisi atau ritual Perang obor. Perang Obor
adalah ritual khas Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah. Seperti tradisi Perang Obor yang dilaksanakan pada hari Senin Pahing,
malam Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah dalam kalender Jawa atau Arab. Tradisi
perang obor dilakukan oleh masyarakat di
desa Tegalsambi menuju arah Pantai Teluk Awur Jepara.
Ritual Perang
Obor melambangkan kesetiakawanan antar warga masyarakat yang disatukan dalam
kebersamaan saat berkumpul di makam. Apabila tidak ikut serta dalam ritual
tersebut, maka memberi kesan individualis dan egois. Ritual perang obor
menyatukan warga masyarakat Tegal Sambi dengan berkumpul bersama saat acara
sebagai anggota masyarakat yang menyatukan perhatian untuk menghormati Ki
Gemblong. Saat berkumpul terjadi kohesi sosial
(silaturahim) dan integrasi tatkala suasana.[8]
Kebudayaan ini
dilestarikan oleh masyarakat Tegalsambi, Perang Obor ini merupakan di latar belakangi oleh kejadian di masa
lalu, yang kental sekali di masyarakat. Ritual Perang Obor merupakan bentuk
atraksi yang diminati oleh masyarakat setempat sebagai ritual yang sudah turun-temurun dilakukan sebagai
ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Ritual Perang Obor melambangkan kesetiakawanan antar warga masyarakat yang
disatukan dalam kebersamaan saat berkumpul di makam. Apabila tidak ikut serta
dalam ritual tersebut, maka memberi kesan individualis dan egois. Ritual perang
obor menyatukan warga masyarakat Tegal Sambi dengan berkumpul bersama saat
acara sebagai anggota masyarakat yang menyatukan perhatian untuk menghormati Ki
Gemblong. Saat berkumpul terjadi kohesi sosial (silaturahim) dan integrasi
tatkala suasana [9]
Penyatuan
antara budaya lokal dan Islam merupakan penafsiran kembali atas kenyataan
adanya Islam sebagai konsepsi realitas dengan Islam sebagai realitas
sosial.Dalam wacana antropologi dan sosiologi, kedua realitas tersebut dikenal
dengan konsep dualisme agama (Islam), yaitu Islam tradisi besar (great
tradition) dan tradisi kecil (little tradition) atau tradisi lokal (local
tradition). Ernest Gellner menyebut kedua model tersebut dengan tradisi tinggi
(high tradition) dan tradisi rendah (low tradition).[10]
Perang obor sebagai tradisi lokal dalam
perspektif kebudayaan Islam tidak dilihat dari sisi bentuk, melainkan
ditekankan pada sisi substansinya. Bentuk kebudayaan masyarakat memiliki
keragaman karena perbedaan pola pikir, keyakinan, dan kreativitas pendukungnya.
Selama substansi tradisi tesebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran
Islam, maka tetap dapat diadopsi keberadaannya, dan ini berlaku dalam ritual
Perang Obor.
Penyelenggaraan Perang Obor secara rutin
itu dilatarbelakangi pula oleh adanya kekhawatiran akan gangguan fisik dan non
fisik yang tiap saat dapat menimpa mereka jika ritual itu tidak dilaksanakan. Jadi, Perang
Obor dapat digolongkan kepada jenis tradisi krisis yang sekaligus tradisi
religius, karena dari pelaksanaannya diharapkan berdampak positif bagi
keselamatan seluruh warga masyarakat. Hakikatnya, pelaksanaan Perang Obor
adalah ungkapan sikap pasrah diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa, yang mencerminkan
keterikatan manusia dengan Tuhannya.
TEGALSAMBI
Tegalsambi adalah desa
di kecamatan Tahunan kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Indonesia. Desa Tegalsambi
berada di sebelah selatan ibu kota kabupaten yang merupakan salah satu Desa di
Kecamatan Tahunan dengan jarak tempuh ke Ibukota Kecamatan kurang lebih 3 km
dan ke Ibukota kabupaten kurang lebih 4 km dapat ditempuh dengan kendaraan
kurang lebih 15 menit.
Secara geografis, Desa
Tegalsambi berbatasan dengan: sebelah utara desa Karang Kebagusan, sebelah
timur Desa Mantingan, sebelah selatan Desa Demangan, sebelah barat Desa Teluk
Awur.
Desa Tegalsambi
merupakan desa yang masih menjaga budaya lokal. Hal ini terlihat dari banyaknya
kebudayaan tradisional dan modern, seperti terbang telon, orkes melayu,
qasidah, band, dan lainnya. Selain itu bidang budaya desa Tegalsambi juga
mempunyai potensi yang tidak kalah menarik yaitu sedekah bumi yang dilaksanakan
setahun sekali itu terdapat ritual budaya yang masih dilestarikan sampai
sekarang yaitu perang obor.
Disini leluhur berperan
menjaga ikatan rohani bagi kelompok masyarakat tradisional, menjaga ikatan
dengan alam gaib (roh-roh halus) dan menjaga kelangsungan adat.[11]
Hal tersebut terlihat dari banyaknya leluhur yang ada di Desa Tegalsambi dan
masih diuri-uri sampai sekarang. Para leluhur tersebut antara lain:
ü Mbah
Tegal
ü Mbah
Surgi Manis
ü Mbah
Tegalsari
ü Kiai
Babatan (Mbah Gambiran)
ü Kiai
Bendo/Mbah Tunggul Wulung
ü Mbah
Datuk Sulaiman/Kiai Sorogaten
ü Kiai
Sudimoro
PELAKSANAAN TRADISI PERANG OBOR
Ritual Perang Obor
dimulai dengan beberapa prosesi yang saling berkaitan dan mempunyai makna
tersendiri. Prosesi Perang Obor
terbilang rumit karena hanya dilaksanakan sekali waktu sehingga persiapannya
harus sudah dilakukan beberapa hari atau beberapa bulan sebelum perayaan.
Berikut adalah tata pelaksanaan tradisi perang obor:
Hal pertama yang
dilakukan adalah sebelum Upacara Perang Obor dilaksanakan, sebelumnya harus
diadakan selamatan atau doa bersama ke makam para leluhur beberapa kali
sebelumnya dalam waktu tertentu. Untuk prosesi selamatan, warga desa Tegalsambi
membawa nasi beserta lauk pauknya, jajanan pasar, dan buah pisang. Setelah itu,
Kepala Desa dan wakilnya membakar kemenyan lalu dilanjutkan doa bersama dan doa
tahlil dipimpin oleh mudin. Setelah itu dilanjutkan dengan makan bersama
dirumah kepala desa.
Kedua,
penyembelihan peliharaan hewan sebagai pelengkap sesaji. Penyembelihannya
dilaksanakan pada pagi hari yaitu sebelum acara puncak dimulai. Hewan yang
dijadikan kurban adalah kerbau jantan yang belum pernah digunakan bekerja.
Setelah disembelih, sebagian darah dan dagingya diambil untuk sesajen, lalu
diletakkan di perbatasan desa Tegalsambi, yaitu di rumah kepala desa,
perempatan jalan, makam para leluhur, ruang penyimpanan pusaka desa dan tempat
pertunjukan wayang kulit. Masyarakat desa Tegalsambi mempercayai bahwa setiap
tempat ada penunggunya. Dengan demikian, mereka berharap acara perang obor
dapat berjalan lancar, dan sekaligus menghormati keberadaan para arwah leluhur.
Ketiga, pementasan
wayang kulit. Setelah penyembelian hewan qurban dilanjutkan dengan pagelaran
wayang kulit semalam suntuk dari pagi hingga tengah malam dengan diiringi
alunan khas gamelan Jawa.
Keempat, barikan
di masjid Tegalsambi dilaksanakan siang hari yaitu waktu dzuhur dan dilanjutkan
dengan selamatan di masjid. Seluruh warda desa Tegalsambi berbondong-bondong
membawa nasi serta lauk pauknya dan dilengkapi dengan jajan pasar lalu berdoa
dengan mengucap tahlil bersama agar di berikan keselamatan, terhindar dari balak,
diberi kelancaran rezeki, dan prosesi Perang Obor bisa berjalan lancar.
Kelima, puncak
perang obor. Puncaknya dilaksanakan malam hari yaitu setelah isya’ sekitar
pukul 20.00 WIB tepat di perempatan jalan desa Tegalsambi. Di awal acara adalah
akan dimeriahkan oleh sambutan para pejabat daerah dan tokoh masyarakat,
kemudian dilanjutkan doa dan pembakaran kemenyan oleh mudin hingga acara puncak
Perang Obor sendiri. Para pemuda Tegalsambi yang berjumlah 50 orang bertarung
satu sama lain menggunakan obor dari pelepah batang dan daun pisang meyerupai
obor. Mereka berkejaran, dan apabila apinya mati maka di nyalakan kembali
sampai habis. Yang menjadi unik dari tradisi ini adalah ketika ada penonton
atau pemain yang terluka maka mudin memberikan ramuan minyak kelapa yang
dipercaya sebagai obat ampuh untuk mengobati luka bakar. untuk mengobati luka
bakar. Sepanjang jalan menuju rumah petinggi dipadati ribuan pengunjung baik
dari desa setempat maupun desa-desa lain. Sebelum api obor disulut pada pukul
20.00 WIB, Petinggi diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga ke
pusat upacara, di perapatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat
jawa, diapit dua pawang api dan sesepuh desa.
Secara garis
besar, prosesi ritual perang obor adalah sebagai berikut:
a. Satu bulan
sebelum diadakannya perang obor para masyarakat melakukan doa bersama dan
berziarah ke makam para sesepuh desa.
b. Setelah pas
harinya yaitu perang obor, di mana perang obor selalu dilaksanakan pada hari
Senin malam Selasa Pon, sebelum perang obor dilaksanakan ada beberapa hal
sebelumnya yaitu:
(1) Pemberangkatan
para aktor perang obor dari rumah Bapak Lurah setempat;
(2) Setelah
semuanya berkumpul acara berikutnya yaitu Upacara pembakaran dupa yang dipimpin
oleh Bapak modin;
(3) Pembacaan doa
oleh sesepuh desa.
EKSITENSI TRADISI PERANG OBOR
Eksistensi tradisi
perang obor ini bersifat turun temurun
dan eksistensinya dikombinasikan dengan nilai agama berupa tahlilaln dalam
selamatan sedekah bumi dan pembukaan acara Perang Obor, sehingga menjadi budaya
lokal Oleh masyarakat Jepara khususnya
masyarakat setempat desa Tegalsambi.
METODOLOGI
Penelitian ini
menggunakan penelitian pendekatan investigasi dan interaksi
dengan masyarakat sekitar.Tradisi
Perang Obor di Desa Tegalsambi memiliki tujuan untuk menunjukkan bahwa di Jawa
masih mempunyai keanekaragaman tradisi yang dipertahankan, salah satunya adalah
tradisi perang obor yang masih dilakukan sampai sekarang. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat Desa Tegalsambi masih melestarikan tradisi ini karena
mengakomodasi budaya lokal atau nilai-nilai
budaya lokal dari masyarakat.
SIMPULAN
Setiap daerah mempunyai
budaya lokal masing-masing yang menjadi
ciri khas budaya dari daerah itu sendiri. Budaya lokal yang dimiliki
suatu Daetah tertentu menggambarkan jati diri pemiliknya. Perang Obor adalah
ritual khas Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Seperti tradisi Perang Obor yang dilaksanakan pada hari Senin Pahing, malam
Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah dalam kalender Jawa atau Arab. Tradisi perang
obor dilakukan oleh masyarakat di desa
Tegalsambi menuju arah Pantai Teluk Awur Jepara. Ritual Perang Obor
melambangkan kesetiakawanan antar warga masyarakat yang disatukan dalam
kebersamaan saat berkumpul di makam. Apabila tidak ikut serta dalam ritual
tersebut, maka memberi kesan individualis dan egois. Ritual perang obor
menyatukan warga masyarakat Tegal Sambi dengan berkumpul bersama saat acara
sebagai anggota masyarakat yang menyatukan perhatian untuk menghormati Ki
Gemblong. Tegalsambi memiliki tujuh para leluhur. Secara garis besar, prosesi
ritual perang antara lain yaitu pertama, satu bulan sebelum diadakannya perang
obor para masyarakat melakukan doa bersama dan berziarah ke makam para sesepuh
desa. Kedua, setelah pas harinya yaitu perang obor, di mana perang obor selalu
dilaksanakan pada hari Senin malam Selasa Pon, sebelum perang obor dilaksanakan
ada beberapa hal sebelumnya yaitu: (a) Pemberangkatan para aktor perang obor
dari rumah Bapak Lurah setempat; (b) Setelah semuanya berkumpul acara
berikutnya yaitu Upacara pembakaran dupa yang dipimpin oleh Bapak modin; (c)
Pembacaan doa oleh sesepuh desa.
DAFTAR PUSTAKA
Aristanto, Zainal.
Vol 6 No.1, April 2011. Perang Obor, Upacara Tradisi diTegalsambi, Tahunan,
Jepara. dalam jurnal Sabda, h.88-94, ISSN 1410-7910,
Suhandjati,
Sri. Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang: Karya Abadi Jaya. 2015
Endaswara,
Suwardi, 2003. Mistik Kejawen: Sinkretik, Simbolisme, dan Sufisme dalam
BudayaSpiritual Jawa. Jogjakarta: Narasi
Al-Ma’arif, 2015. Islam Nusantara: Studi
Epistemologis dan Kritis, dalam Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume
15, Nomor 2, Desember 2015
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Jogjakarta:
Kanisius
Muhammad Damami. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa.
Jogjakarta: LESFI, h. 59.
Ratri, Shanty Dyah
Puspa, Cerita Rakyat dan Upacara Tradisional Perang Obor di Desa Tegalsambi
Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah (Tinjauan Folklore). (Surakarta:
Universitas Sebelah Mare, 2010).
Supriyadi, Yayat.
2014. Memotret Khazanah Seni Budaya Islam
Nusantara.
Baidhawi,
Zakiyuddin dan Muthoharun Jinan (ed), 2003. Agama dan Pluralitas Budaya
Lokal. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Bizawie, Zainul
Milal. 2016. Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945).
Jakarta: Pustaka Compass
[1] Sedyawati, Edi. Budaya,
Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo,
2006), hal. 383.
[2] Koentjaraningrat,,Pengantar Kebudayaan,Jakarta :Rineka
Cipta,,1996, Jilid 1,hlm ,155
[3] Sri, Suhandjati. 2015. Islam dan Kebudayaan Jawa: Revitalisasi
Kearifan Lokal. Semarang: Karya
Abdi Jaya. Hlm, 4-5
[4] Sri, Suhandjati. 2015. Islam dan Kebudayaan Jawa: Revitalisasi
Kearifan Lokal. Semarang: Karya Abdi Jaya. Hlm,2
[5] Sri, Suhandjati. 2015. Islam dan Kebudayaan Jawa: Revitalisasi
Kearifan Lokal. Semarang: Karya
Abdi Jaya. Hlm, 3
[6] Endaswara,
Suwardi, 2003. Mistik Kejawen: Sinkretik, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual
Jawa. Jogjakarta:
Narasi., h. 49.
[7] Endaswara, Suwardi, 2003. Mistik
Kejawen: Sinkretik, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa.,
h. 51.
[8] Lihat Jadul Maula dkk (2001) dalam penelitiannya tentang doa bersama di
Sorowajan Yogyakarta. Bahwa doa bersama bisa dijadikan ruang integrasi bagi
masyarakat Sorowajan yang majemuk (Islam santri, Islam abangan, Hindu, dan
kejawen). Mereka bertemu dalam forum tersebut sekali tiap dua minggu, sehingga
bisa mencegah masing-masing umat untuk menjadi eksklusif.
[9] Baidhawi,
dan Muthoharun Jinan (ed), 2003. Agama
dan Pluralitas Budaya Lokal…h. 63.
[10] Muhammad Damami. 2002. Makna Agama
dalam Masyarakat Jawa. Jogjakarta: LESFI, h. 59.
[11] Muhammad Damami. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Jogjakarta: LESFI, h. 59.
Komentar
Posting Komentar