AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN

 DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

 

Azzaroh Nusaibah

Studi Agama – Agama

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Email nusaibahazzaroh37@gmail.com

 

 

 


Abstrak

Akulturasi antara adat dengan agama di Indonesia tidak dapat dipisahkan, karena budaya lokaldan tradisi tersebut sudah mengakar. Agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia menjadi salah satu agama yang dijadikansebagai perpaduan antara agama dengan budaya. Praktik dalam kehidupan dapat menjembatani adat dan agama sehingga akan lahir sesuatu yang baru. [1]Tujuan peneliti ini adalah 1) menganalisis kebudayaan sesajen, 2)menganalisis sesajen sebagai akulturasi budaya, 3) menemukan model akulturasi, 4) mendeskripsikan kebudayaan sebagai identitas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan deskriptif pendekatan kualitataif, instrument yang digunakan adalah observasi partisipasif, catatan lapangan dan wawancara mendalam. Observasi dilakukan dengan catatan lapangan dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat, remaja dan tokoh agama. Hasil penelitian menunjukkan 1) budaya sesajen mulai luntur seiring berkembangnya zaman, serta tidak diminati oleh remaja saat ini, 2) penampilan sesajen sangat sederhana, misalnya bunga setaman, telur ayam, nasi tumpeng, kemenyan, 3) model pelestariannya dengan cara menurunkan ilmu tersebut kepada generasi selanjutnya. Kebudayaan sesajen menjadi dwi fungsi makna dalam hidup bermasyarakat, menjadi sebuah identitas budaya serta kearifan local masyarakat yang hanya dapat dilakukan oleh semua pihak yang terlibat baik dari kalangan masyarakat atau tokoh adat.

Kata Kunci : Sesajen, Kebudayaan, Masyarakat, Jetak Wedarijaksa Pati

 

 

 

 

Pendahuluan

Salah satu unsur spiritual yang melekat di tanah Jawa adalah sesajen yang digunakan untuk persembahan kepada zat ilahi dan juga makhluk-makhluk halus. Akan tetapi kegiatan ini dipandang aneh oleh warga ketika dihadapkan dengan zaman modernisasi dan globalisasi. Banyaknya kebudayaan yang ada di pulau Jawa tidak terlepas dari unsur-unsur spiritual yang kental yaitu kepercayaan-kepercayaan akan mitos di dalamnya. Namun mereka mereka masih percaya akan hal itu dan pelaksanaan ritual budayasesajen berfungsi sebagai jembatan penghubung antara dunia manusia dengan Tuhan. Aktivitas ini merupakan suatu upaya untuk mencapai keselamatan dalam hidup  serta menjadi suatu ritual adat istiadat dalam masyarakat. Melekatnya nilai adat dan budaya ini secara tidak langsung menjadi sebuah identitas tersendiri. Suatu tradisi memiliki nilai waris yang sangat tinggi untuk masa depan, keharmonisan antar makhluk menjadi sangat damai dan dapat terpelihara. Sampai sekarang, banyak penulis membahas nilai warisan budaya.

Munculnya kebudayaan ini tidak terlepas dari unsur budaya Hindhu yang melekat di masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Jawa dan Bali, serta menjadi akulturasi dan dan bercampurnya budaya dengan budaya yang baru masuk di Indonesia. Seperti sesajen adalah bentuk akulturasi dari budaya Hindhu-Islam. Indonesia merupakan Negara majemuk, terdiri berbagai macam tradisi yang masih dipertahankan dan dilestarikan. Salah satu tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa di desa Jetak kecamatan Wedarijaksa kabupaten Pati yaitu sesajen. Harapan generasi remaja dapat meneruskan warisan budaya sehingga nilai dan kearifan local tetep terjaga dan saling menghargai dengan makhluk hidup serta menghargai kepada pendahulu atau leluhur desa Jetak.

Urgensi dari penelitian ini adalah pelestarian kebudayaan local Indonesia degan terus menerus menurunkan budaya ini kepada generasi muda dan diamalkan sehingga kearifan local tersebut tetap terjaga dengan akulturasi ini saling menghormati sesame makhluk. [2]Seiring berkembangnya zaman kebudayaan ini berubah fungsi menjadi pada rasional, memilikiperbedaan pada makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.

 

Akulturasi Sesajen serta Kearifan Lokal Sesajen

Para leluhur menciptakan ritual sesajen merupakan pemikiran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan di setiap masa, symbol yang terkandung di dalam sesajen merupakan pelajaran yang harus dipelihara di setiap generasi. Sesajen mengandung makna berkelanjutan demi menjaga nilai dan norma di masyarakat, yang diharapkan oleh para leluhur dengan sesajen ini setiap manusia lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, serta tanpa berhenti untuk berdoa. Identitas ini sangat melekat dan dijadikan suatu ciri khas oleh masyarakat tradisional. Akulturasi tercipta oleh beberapa unsur yang berbeda dan bercampur padu menjjadi budaya baru. Seperti sesajen, merupakan akulturasi dari unsur budaya dan agama. Budaya menjadi suatu identitas disebabkan karena suatu aktifitas yang sering dilakukan dan menjadi sebuah kebiasaan yang dijadikan ritual sacral oleh masyarakat. Sesajen merupakan aktualisasi dari pikiran,keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.[3] Sesajen juga merupakan wacana symbol yang digunakan sebagai sarana negosiasi spiritual kepada hal-hal ghaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus tidak mengganggu manusia. Dengan kata lain sesajen menjadi media untuk berdoa agar ritualnya menjadi sacral dan bermakna.

 

Metode Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah yang dirumuskan dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini digunakan untuk mengungkap dan menguraikan fenomena yang terjadi di masyarakat desa Jetak Wedarijaksa Pati, yang kini masih menggunakan sesajen dalam kegiatan besar. Observasi dilakukan dengan catatan lapangan dan wawancara dengan tokoh adat, masyarakat, pemuda, serta tokoh agama yang ada di desa Jetak Wedarijaksa Pati.

 

Temuan Penelitian

Sesajen itu bukan lagi untuk menyembah roh nenek moyang, tetapi berakulturasi dengan budaya yang masuk ke wilayahnya yaitu budaya agama islam. Kebudayaan ini dilestarikan agar menjadi kearifan local yang ada di desa Jetak Wedarijaksa Pati serta dapat menjaga ekosistem di dalamnya. Adanya alih fungsi sesajen, mulai dari tata cara pelaksanaan dan kegunaan serta seluruh rangkaian ritual ini dibaluti oleh ayat-ayat Al-Qur’an doa. Makna sesajen sangat bermanfaat untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat dengan hasil yang dijelaskan filosofi sesajen yang berkaitan dengan prinsip kebhinekaan serta berhubungan dengan ibadah dan sesama manusia yang sangat bermanfaat untuk seluruh elemen di masyarakat.  Di dalam masyarakat terdapat berbagai jenis sesajen, misalnya saat ada acara-acara tertentu seperti pernikahan, khitan, sedekah bumi dll. Secara garis besar nilai dan maknanya sama yaitu untuk bermasyarakat.

Dengan demikian, budaya sesajen ini memiliki budaya pada masyarakat desa Jetak Wedarijaksa Pati. Pertama, budaya yang berlaku di masyarakat serta penghubung interaksi social masyarakat untuk berkomunikasi dengan ke roh atau leluhur di desa Jetak Wedarijaksa Pati. Kedua, sebagai filosofi bermasyarakat dengan saling bahu membahu menjadi satu kesatuan dalam bingkai budaya. Kebudayaan ini tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan damai tanpa kekerasan dan dapat berbaur dengan kebudayaan asli Indonesia. [4]seperti berdagang  dan persebaran dengan aliran tasawuf.

 

 

 

 

Pembahasan

Di bumi Nusantara ini hampr semua upacara adat menggunakan sesajen. Sesajen adalah tradisi yang masih menjadi perdebatan. Bukan karena dianggap kuno atau aneh tetapi sesajen memiliki makna dan spirit unik, dinilai sangat sacral. Ritual yang merupakan warisan dari budaya Hindhu dan Budha ini juga dilakukan sebagian masyarakat jawa yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi. Atau lebih dikenal dengan kedjawen. Dalam sesajen ini adalah merupakan bentuk soapn santun kepada makhluk halus yang termasuk dalam kategori pihak lain. Oleh sebab itu , masih banyak yang menganggap tradisi sesajen ini kedjawen syirik dan dipandang mistik.

Kebudayaan yang berbeda bercampur menjadi satu dan mengikis makna dan nilai budaya local serta dengan berkembangnya zaman tradisi ini mulai meluntur di masyarakat. Hanya orang-orang tertentu [5]yang melakukannya, berdasarkan data yang masih menggunakan adat tersebut hanya seperempat masyarakat. Definisi dari budaya sendiri adalah sebuah langkah dalam proses penelitian yang dilakuka. Penggunaan budaya sebagai system makna besama dalam masyarakat yang bersifat mengikat. Budaya ini menjadi identitas masyarakat lokal di desa Jetak Wedarijaksa Pati, dan budaya ini berawal dari sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang kemudian kebiasaan itu menjadi sebuah nilai serta norma budaya dan memperoleh nilai kearifan lokal budaya setempat. Budaya adalah istilah yang samar-samar dan menangkap semua yang telah digunakan dalam banyak cara dan tujuan  sehingga banyak juga yang diperoleh dan yang hilang. Sesajen adalah sejenis persembahan kepada dewa atau arwah nenek moyang pada upacara adat di kalangan penganut kepercayaan kuno di Indonesia, seperti suku sunda, jawa, bali dan lainnya. Menurut filsafat sunda Sajen asal kata dari sesaji yang mengandung makna Sa-Aji-an atau kalimah yang di simbolkan dengan bahasa rupa bukan bahasa sastra, dimana di dalamnya mengandung mantra dan kekuatan metafisik atau supranatural. Kata sajen berasal dari kata Sa dan ajian. Sa yang brarti Tunggal, Aji yang berarti Ajaran, dan Sa bermakna aura energy. Sa Ajian atau ajaran yang Tunggal atau menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesajen mengisyaratkan bahwa keganasan atau kedinamisan alam, dapat diatasi atau ditangani dengan upaya menyatukan diri dengan alam atau beserta alam, bukan dengan cara merusak atau menguasai alam. Ritual ini merupakan bentuk metafora atau siloka penyatuan manusia dengan alam. Kata Sa-Ajian secara keseluruhan bermakna menyatukan keinginan dengan keinginan alam atau beserta alam.

Kebudayaan ini menjadi identitas budaya masyarakat di desa Jetak Wedarijaksa Pati, menjadi sarana ukhuwah dengan desa lain seperti Tlogoharum, Asempapan, dan Jatimulyo dll yang desanya sama mempunyai kebudayaan sesajen. Kebudayaan ini pun hanya dapat dilestarikan oleh keturunan dan berkeinginan masyarakat diturunkan pada generasi muda. Sesajen di desa Jetak Wedarijaksa Pati memiliki tipe dalam pelaksanaannya.

1.     Tipe sederhana, digunakan dalam acara sederhana, biasanya digunakan untuk acara biasa secara rutin, seperti ke makam leluhur setiap memperingati haul leluhur desa tersebut.

2.     Tipe kumpilit, digunakan dalam acara besar, misalnya acara pernikahan. Kegiatan ini biasanya menggunakan adat istiadat masyarakat setempat sesuai acara yang dilaksanakannya

Menurut islam, ritual pemberian sesajen itu tergolong sebagai perbuatan musyrik. Pasalnya ritual mempersembahkan sesajen tersebut ditujukan kepada makhluk halus yang dianggap sebagai penguasa tempat tertentu. Tentu saja hal tersebut termasuk sebagai perbuatan menyekutukan Allah swt dengan makhluk. Bahkan perbuatan tersebut sangat berbahaya bagi para pelakunya. Dalam islam sendiri sudah jelas hukumnya bahwa memohon, menyembah kepada selain Allah swt, memelihara makhluk halus adalah perbuatan yang syirik dan tidak boleh dilakukan. Alas an mengapa sesajen itu berbahaya. Yang pertama adalah Allah sangat membenci perbuatan tersebut dan tidak mengampuni dosa atas perbuatan syirik tersebut. Dan sesajen itu termasuk dosa besar karena dalam pemberian sesajen tersebut terdapat terdapat rasa pengagungan dan ketakutan dalam hati seseorang yang memberi sesajen kepada Allah. Padahal hal tersebut merupakan ibadah hati yang paling agung dan hanya pantas ditujukan kepada Allah.

Kedua, pemberian sesajen tidak hanya termasuk kemusyrikan yang tergolong sebagai dosa besar yang tidak diampuni. Namun perbuatan tersebut sesungguhnya juga akan membuat pelakunya masuk neraka. Bahkan apabila pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertaubat dan berstatus musyrik, maka sang pelaku pun haram masuk surge dan akan ditempatkan di neraka.

Ketiga, Allah akanmelaknat para pelaku perbuatan musyrik tersebut. Mempersembahkan suatu hal kepada jin, makhluk halis dengan tujuan untuk mencari keselamatan dan perlindungan memang merupakan perbuatan dosa yang sangat besar. Bahkan merupakan perbuatan syirik tersebut bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Oleh sebab itu Allah melarang perbuatan tersebut.

Meskipun seseorang hanya turut berpartisipasi dan membantu acara tersebut, namun ia tetep saja termasuk sebagai orang-orang yang menyekutukan Allah. Sebab Allah hanya memerintahkan hambaNya dalam perbuatan kebaikan. Dengan demikian hendaknya umat Islam menghindari perbuatan-perbuatan yang tergolong sebagai kemusyrikan. Sebab jika dilakukan, akibatnya sangat berbahaya yaitu dapat membuat seseorang tergolong melakukan dosa besar, dan membuat pelakunya masuk ke dalam neraka dan akan dilaknat oleh Allah.

Budaya sesajen ini harus diluruskan, yakni makanan yang sudah dibuat harus diberikan kepada orang lain agar tidak mubadzir. Selain itu stigma masyarakat akan tradisi sesajen harus diubah. Bukan lagi sebagai bentuk menghormati para sesepuh tetapi sebagai rasa syukur karenaNya. Sehingga dalam upacara adat termasuk kedjawen bisa dimasukkan sebagai sebuah kebudayaan yang patut dilestarikan dengan tujuan menarik wisatawan . mengigat Indonesia sebagai sebuah Negara kepulauan yang memiliki beragam kebudayaan dan budaya yang masih berkembang hingga saat ini. Adanya beragam suku  dan kebudayaan serta agama di masyarakat Jawa dan ditemukan sistem nilai-nilai budaya.

Jika di jawa atau kedjawen sesajen masih menjadi perdebatan, bagi Buddhaisme sesajen merupakan alat sarana untuk menghormati para roh dan makhluk-makhluk yang ada dalam neraka. Karena Buddhaisme mengajarkan tentamg belas kasihan kepada semua makhluk.

Sedang dalam mayarakat Bali sesaji adalah bentuk rasa syukur kepada para dewa yang telah memberikan kesejahteraan bagi kehidupan mereka. Jika datang atau berlinur ke Bali akan banyak ditemukan sesajen bunga di Pantai, di teras rumah atau penginapan, di jalan atau trotoar dan lainnya.  

Dalam setiap ritual dalam tradisi Jawa tak luput dari adanya sajen atau sesajen. Sesajen tersebut membutuhkan ubo rampe yakni seperangkat alat yang dibutuhkan dalam ritual sesaji. Ada banyak sekali macam ubo rampe dalam sesaji, seperti ingkung, kopi, buah-buahan, bunga-bunga (kembang setaman), dan benda-benda berupa menyan, kendi, lemper dan lainnya.

Dalam setiap ritual membutuhkan sesajen atau sajen dengan ubo rampe yang berbeda-beda. Ubo rampe tersebut disesuaikan dengan hajat ataupun tujuan dari ritual tersebut. Misalnya sajen larungan berupa tumpeng berukuran besar yang dihias dengan berbagai hasil bumi dan hasil ternak. Sedang sajen midodareni pada hajatan mantu terdiri dari dua sisir pisang raja yang genap dan seikat daun sirih, bunga setaman, jajan pasar dan ayam ingkung.

Ubo rampe sesajen berperan sebagai simbol kehidupan. Tumpeng simbol kemakmuran, ayam ingkung simbol ketaatan dalam beragama, pisang raja simbol kemakmuran raja dan ratu, daun sirih simbol pengikat cinta dalam pernikahan, bunga setaman simbol harapan akan kecantikan dan bau wangi yang akan menghampiri calon pegantin, jajan pasar disimbolkan sebagai keberagaman namun terkadang juga simbol dari kesrawungan.[6]

Perbedaan ubo rampe sesajen tersebut berkaitan dengan doa dan harapan yang dihajatkan oleh pelaku ritual. Ada makna tersendiri yang terkandung dalam ubo rampe sesajen tersebut. dalam tradisi larungan, ubo rampe sesajen condong mewakili rasa syukur atas hasil bumi dan ternak, selain itu juga sebagai wujud sedekah bumi kepada makhluk hidup. Sedang dalam sesajen midodareni memiliki makna agar sang pengantin wanita dianugrahi kecantikan seperti bidadari.

Sesajen merupakan sebuah wujud doa yang dilakukan masyarakat Jawa. Bagi orang Jawa berdoa tidak hanya sebatas memanjatkan harapan dan keinginan saja, namun akan disertai dengan adanya sesaji. Hal tersebut sebagai bentuk rasa kesungguhan atas doanya dan dengan sesaji mereka akan merasa lebih lego ketika memanjatkan doa.

Bagi masyaraka Jawa, sesajen biasa diletakkan di tempat-tempat tertentu seperti di bawah pohon, dilarungkan di laut atau telaga, dan di tempat-tempat yang dianggap kramat. Peletakan tersebut bukan semata-mata karena tempat tersebut bersifat angker. Misal sesajen yang diletakkan di bawah pohon, bukan berarti sajen tersebut ditujukan kepada pohon tersebut, akan tetapi ditujukan kepada Dzat yang memiliki kekuasan atas penciptaan pohon tersebut. Begitu pula dengan sajen yang dilarungkan di laut atau telaga. Di balik ritual larungan tersebut ada harapan, rasa syukur dan doa yang ditujukan kepada sang pencipta alam semesta.

Dalam penerapan sehari-hari, sesajen lebih berupa makanan berupa ingkung atau ambeng yang dibagi ketika ada acara tertentu seperti slametan, maleman, brokohan dan lainnya. Sajen ingkung tersebut akan dibagi kepada saudara atau tetangga yang berhajat sebagai sedekah dari wujud doa yang ia panjatkan.

Sesajen telah ada sejak agama Hindu Buddha tersebar di Indonesia. Setelah datangnya Islam, sesajen pun tetap dilakukan. Hal tersebut dikarenakan adanya penyesuaian diri yang dilakukan oleh agama yang masuk ke Indonesia terhdapa budaya lokal Jawa. Di sinilah kelebihan masyarakat Jawa, yakni dapat memfilter kebudayaan baru yang masuk, menggabungkannya tanpa menghilangkan nilai luhur Jawa sendiri.

Sesajen telah melekat kuat dalam diri orang jawa. Bisa dikatakan bahwa jika suatu ritual tidak disertai sesajen akan terasa kurang. Misalnya dalam acara slametan jika tanpa adanya ingkung maka acara tersebut akan terasa kurang bermakna.

Oleh karena itu sesajen memiliki peran yang penting yakni sebagai simbol dan juga bukti dari kesungguhan doa yang orang Jawa lakukan. Sesajen sebagai wujud doa diperkuat dengan teori semiotika Ronald Barthes, yakni teori yang digunakan untuk memahami tanda atau simbol tertentu untuk dapat mengetahui isi pesan dari tanda tersebut.

Sasajen didenotasikan sebagai sekumpulan benda yang digunakan dalam ritual tertentu. Sedang jika dikonotasikan, sesajen merupakan sekumpulan benda yang penuh makna harapan dan doa yang digunakan dalam sebuah ritual. Dalam sesajen tersebut ada maksud tersembunyi dalam penggunaannya.

Berbagai macam ubo rampe sesajen dalam setiap ritual merupakan simbol dari kehidupan, yang mana simbol tersebut digunakan sebagai wujud dari berbagai perasaan, harapan, dan doa yang dipanjatkan oleh orang Jawa. Sesajen tersebut wujud dari ekspresi kesugguhan orang Jawa dalam melakukan panjatan doa, baik memohon perlindungan maupun panjatan rasa syukur.

Banyak keyakinan dan kebiasaan kuno terus mempengaruhi kehidupan sehari-hari umat muslim Indonesia, khususnya di Jawa. Sesajen tidak luput juga mempengaruhi pernak-pernik keseharian masyarakat Jawa. Sebelum masuknya Islam, agama yang berkembang di tanah Jawa ialah Hindu-Buddha. Penyebaran Hindu-Buddha di Indonesia berasal dari India. Dahulu, masyarakat India memandang agama adalah pemujaan dan penghargaan kepada dewa-dewa sebagai pencipta pelbagai kekuatan alam semesta. Kekuatan alam menjadi sangat berarti bagi manusia dalam mempertahankan kehidupannya. Konsep sesajen kemudian tidak terlepas dengan pengaruh pandangan agama-agama pendahulu ini.

Transformasi sesajen dari budaya Hindu-Buddha ke Islam tidak menghilangkan jati diri dan sifat aslinya. Para sejarawan bersepakat mengakui bahwa di bawah lapisan peradaban Hindu-Buddha, keseluruhan penduduk masih menyimpan inti sifat-sifat aslinya. Umumnya kebanyakan orang berpra-anggapan bahwa, sesajen dimaknai dimaknai sebagai sesembahan terhadap roh-roh halus. Harus dicatat, itu hanyalah kulit luar dari fenomena tersebut. Alam batiniah tidak mampu menembus maksud yang ingin disampaikan para leluhur dahulu. Sesajen dalam bahasa Geertz menunjukkan adanya unsur yang telah hilang bersama mantranya.

Ricklef dalam bukunya yang berjudul “Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sakarang” mengambil pandangan Th. G. Pigeaud bahwa persembahan (sesaji) disiapkan persis seperti pada upacara-upacara sakral lainnya di Jawa. Setiap upacara yang sakral terdapat sesajen di dalamnya, seperti halnya upacara pernikahan, khitanan, kematian dan sebagainya. Segala yang berurusan dengan siklus manusia entah itu kelahiran, kematian, sesajen turut mewarnai. Tidak jarang, sesajen menjadi kelengkapan yang harus hadir menyelimuti upacara-upacara sakral. Upacara yang dilakukan selalu ditentukan dengan perhitungan hari baik, yang orang Jawa menyebutnya nogo dino. Dari semua upacara, peringatan 1 Sura dipandang sebagai hari paling sakral oleh masyarakat Jawa.

Tidak hanya upacara sakral saja yang membutuhkan sesajen. Tanpa adanya upacara sekalipun sesajen tetap saja diadakan. Sesuatu bentuk yang sederhana dan penting dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing daerah memiliki tempat yang berbeda dalam menaruh sesajen. Masyarakat Mojokuto masih mengikuti adat lama dengan meletakkan sajen dipersimpangan jalan, juga berbagai sudut kamar dan ambang pintu. Berbeda di daerah Banyuwangi, seperangkat sesajen diletakkan di salah satu ujung rumuh yang lebih dekat dengan dapur. Masyarakat yang hidup mengandalkan pertanian biasanya menaruh sesajen di setiap sudut petak sawahnya.

Perlu kita ketahui, sesajen tidak hanya berupa barang, umumnya makanan juga menjadi unsur utama sesajen. Jika begitu, ada suatu konsistensi arti simbol dari setiap masing-masing sesajen, entah itu dari nama, warna, rupa dan penggunaannya. Dalam adat yang berkembang, saat upacara mencapai puncaknya, makanan diperebutkan masyarakat sebagai keinginan mendapatkan berkah. Sajen dalam upacara-upacara besar lebih besar ukurannya. Perbedaan terletak pada kultur masyarakat yang menggunakan tumbuhan khas yang hidup di daerahnya. Dengan begitu tidak perlu heran mengenai sesajen yang berbeda di tiap daerah.

Di daerah saya sesajen terdiri dari, caus dahar, cuk bakal, sego brok, sego golong, sego mule, sego punar, kelapa, tikar (kloso), bunga, uang logam, janur dan masih banyak yang lainnya. Setiap upacara, sesajen selalu berbeda bagiannya, tergantung peringatan apa yang sedang diadakan.

Setiap nama dalam sesajen memiliki simbol yang menampilkan sesuatu. Di dalam caus dahar ada tumpeng dan ayam ingkung, bentuk ayam ingkung yang seperti sujud memberikan makna kekhusyukkan manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Manusia hanya punya rasa mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan. Bentuk kerucut tumpeng menggambarkan bentuk gunung yang menjulang tinggi, kehijauan dan kealamiannya yang tetap terjaga, keindahannya akan selalu menampakkan kebahagiaan alam.  Ritual agama mewarnai hubungan formal antara Tuhan dan manusia. Sego brok memberikan makna kelahiran manusia di dunia. Manusia penuh dengan segala konsekuensi yang diterima ketika lahir di dunia dan itu pilihannya.

Sego mule memberikan makna manusia akan pulang ke tempat yang menciptakan setelah sekian lama mengembara dalam dunia nyata. Kematian manusia membutuhkan cahaya penerangan, janur artinya sejatine neng nur (cahyo) digunakan untuk melambangkan adanya sebuah cahaya yang menerangi manusia. Tanpa cahaya, jalan manusia akan terhambat. Kelapa memiliki tempurung, kelapa dan air kelapa, menggambarkan bentuk dunia yang berlapis-lapis. Manusia punya siklus perjalanan di dalam kandungan, kehidupan dan juga kematian. Cuk bakal memberikan makna awal mula, segala sesuatu tetap dikembalikan kepada manusia yang memulai. Seperti tumbuh-tumbuhan yang mulai tumbuh menjulang ke atas, awal mulai perjuangan dengan berbagai penyakit yang menyerang selama hidupnya.

Sego punar memberikan makna adanya cahaya yang terang, sama seperti makna janur. Sego golong menggambarkan adanya gotong royong berbagai golongan yang tidak membeda-bedakan latar belakang golongan. Semuanya bersatu dari berbagai perbedaan dan manusia tidak bisa hidup sendiri, butuh orang lain untuk mengatasi kekurangannya. Dua uang logam dimaknai sebagai kesaksian. Di mana manusia dalam segala tindakan, ada saksi yang melihat yaitu kedua matanya. Tikar menggambarkan manusia butuh tempat berteduh dan mencari bekal kehidupan dengan membuka lahan. Dunia menjadi panggung manusia untuk belajar memahami.

Pertentangan-pertentangan dalam penafsiran memang tidak bisa dielakan. Budaya yang menjurus pada ritual keagamaan secara turun-temurun diaplikasikan menjadi suatu tradisi. Penilaian-penilaian terhadap tradisi Hindu-Buddha ini biasanya memicu sentimen tentang syirik dan kemusyrikan (asosiasi wujud dan kekuasaan terhadap selain Allah). Pertentangan masalah syirik dalam wacana sesajen inilah yang melahirkan polarisasi antara Islam puritan dan Islam sinkretik. Sesajen oleh kalangan Islam Puritan dianggap memuja kekuatan selain Tuhan. Ada kekuatan tertinggi yang melampaui Tuhan. Ini berlandaskan anggapan bahwa sesajen sebagai suatu sesembahan terhadap selain Tuhan. Lebih tepatnya kepada roh-roh halus yang dipercaya menangkal kejahatan yang mengancam hidup seseorang. Islam sinkretik yang berbaur dengan budaya lokal sebagai sesuatu yang harus diterima cenderung membolehkan sesajen. Tidak bisa dibantah bahwa sesajen merupakan tradisi Hindu-Buddha [7]yang sampai sekarang masih dipakai oleh masyarakat Islam di jawa atau bahkan agama lain di luar Islam.

Salah satu petikan kalimat falsafah hidup Jawa yang penting untuk merefleksikan sesajen adalah,  “weruh marang pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe, lamun durung weruh awake dhewe, tangeh lamun marang Pangeran” (Mengakui adanya Tuhan berarti sudah mengenal dirinya sendiri, jika belum mengetahui dirinya sendiri mustahil dapat mengenal Tuhan). Sebelum mengenal Tuhan, manusia sejatinya harus mengenal dirinya. Beragam makna yang tergambar dalam sesajen menunjukkan bahwa semua hal ihwal tradisi ini merupakan upaya mengenali jati diri manusia. Sesajen dengan begitu adalah sarana melihat kesejatian diri masyarakat Jawa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kesimpulan

Sesajen merupakan identitas budaya, akulturasi dan kearifan lokal masyarakat tradisional di Indonesia. Dengan menunjukkan daerah yang masih kental dengan budaya sesajen adalah Jawa, Bali dan Jawa Barat. Sesaji dipersembahkan kepada ruh yang dituju, sehingga isi dari setuju konon adalah yang disukai sama ruh tersebut. Sebenarnya tujuan mereka adalah untuk mengemukakan hajat mereka kepada ruh atau kekuatan luar biasa yang dipercayai bisa menolong atau mencelakakan manusia. Selain itu juga bisa digunakan untuk menolak balak[8], agar ruh atau kekuatan luar biasa itu tidak mengganggu, merusak, atau mendatangkan bencana  bagi manusia tersebut. Banyak acara – acara yang masih menggunakan metode sesajen ini, misalnya acara pernikahan, khitan, dll. Sesajen ini merupakan adat istiadat dari orang – orang terdahulu. Karena mereka percaya akan sesajen itu, apabila mereka tidak memberikan sesajen itu mereka percaya bahwa aka nada sesuatu yang menimpanya. Alhasil mereka melakukan hal tersebut dan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Dan akhirnya menjadi adat istiada yanga da di desa tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan 1) budaya sesajen mulai luntur seiring berkembangnya zaman serta tidak diminati oleh kalangan remaja, 2) penampilan sesajen sangat sederhana dengan balutan nasi tumpeng, bunga setaman, telur, jajan pasar dan lainnya, 3)model pelestarian dengan cara menurunkan ilmunya ke generasi selanjutnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Referensi/Daftar Pustaka

http://blog.iain-tulungagung.ac.id/pkij/2017/03/31/sesajen-sarana-melihat-kesejatian-diri-masyarakat-jawa/

Alkaf, Mukhlas. 2013. Berbagai Ragam Sajen Pada Pementasan Tari dalam Ritual Selametan. Gelar: Jurnal Seni Budaya. Dalam http://jurnal.isiska.ac.id/index.php/gelar/article/view/1469/0

Khomsahrial Romli. 2015. Akulturasi dan Asimilasi dalam Konteks Interaksi Antar Etnik. Ijtimaiyya

http://blog.iain-tulungagung.ac.id/pkij/2018/11/24/sesajen-simbol-kehidupan/

Ni Made Kartika, Rahayu Dewi. 2013. Kajian Ragam dan Makna Sesajen Pada Upacara Ritual.                                                                                  

http://mil.sagepub.com

Sri Suhandjati. 2015. Islam Dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang. Karya Abadi Jaya

http://www.sagepub.co.uk/journalspermissions.nav

Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta : Teraju. 2003

https://kumparan.com/redaksiportalmadura/umat-muslim-ini-hukum-islam-tentang-mempersembahkan-sesajen-untuk-makhluk-halus-1546405601642272412

 



[1] Alkaf, Mukhlas. 2013. Berbagai Ragam Sajen Pada Pementasan Tari dalam Ritual Selametan. Gelar: Jurnal Seni Budaya.

[2] Khomsahrial Romli. 2015. Akulturasi dan Asimilasi dalam Konteks Interaksi Antar Etnik. Ijtimaiyya

 

[3] Ni Made Kartika, Rahayu Dewi. 2013. Kajian Ragam dan Makna Sesajen Pada Upacara Ritual.

[4]  http://mil.sagepub.com                                                                                           

[5] Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta : Teraju. 2003

[8] Sri Suhandjati. 2015. Islam Dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang. Karya Abadi Jaya

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM