AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM

AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM

Asyharul Ikhsan


Studi Agama Agama

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Email: asyharul.xcuen@gmail.com

 


Abstrak

Batik salah satu kesenian asli Indonesia yang telah diakui dunia internasional melalui lembaga UNESCO. Batik di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu batik keratin dan batik pesisiran. Batik pesisiran dalam perkembangannya lebih fleksibel, mudah dipengaruhi, dan tidak ada ketentuan pakem dalam pembuatan batik. Salah satu daerah penghasil batik pesisir adalah Lasem di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Batik Lasem memiliki cirri khas yang unik dan kental dengan nuansa budaya Cina dan Jawa. Motif dan warna dalam batik Lasem memiliki makna simbolik terkait dengan unsur filosofi Cina dan Jawa.

Kata kunci : Akulturasi, Batik Lasem, Cina, Jawa

A.    Pendahuluan

Islam mengajarkan untuk mengenal, memahami dan menghargai budaya lokal (QS: Al Hujurat:13). Rasulullah telah memberikan contoh tentang hidup ditengah masyarakat yang majemuk dengan perbedaan agama maupun budayanya. Tiap suku mempunyai adat kebiasaan yang berbeda dengan suku lain, dan dari budaya lokal itu ditemukan unsur-unsur budaya lokal yang mempunyai nilai universal seperti kejujuran, keadilan, kerukunan, gotong royong. Dengan mengamalkan ajaran Islam yang mengatur interaksi antar umat manusia, kaum muslimin di Madinah pada masa Rasulullah bisa hidup bedampingan secara damai dan saling tolong menolong. Pada masa , selanjutnya umat Islam dapat mencapai tingkat peradaban yang tinggi.[1]

Kerukunan merupakan salah satu ciri dari kehidupan masyarakat Jawa. Karena itu, keterikatan pada kelompok menjadi kuat agar tercipta ketentraman dalam hidupnya. Hal ini terjadi, karena kelompok telah memperoleh solusi dari problem yang dirasakan dan dihadapi dalam kehidupan sosialnya. Merujuk pendapat Frans Magnis Suseno, orang Jawa akan merasa aman apabila berada dalam ikatan kelompoknya. Karena dengan kerukunan, maka ia akan merasa tentram jauh dari perasaan negatif yang membuatnya terlibat dalam konflik yang menggelisahkan perasaannya.[2]

Potret kerukunan antar kelompok masyarakat tersebut dapat ditemukan di Lasem, kota kecil di pesisir utara pulau jawa yang berada dalam lingkup administrasi kabupaten Rembang provinsi Jawa Tengah. Dalam masyarakat Lasem telah tumbuh berbagai wujud dan bentuk akulturasi budaya antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Tionghoa atau Cina. Bentuk-bentuk akulturasi budaya tersebut diantaranya yaitu kegiatan kesenian, salah satu diantaranya adalah seni lukis batik atau biasa disebut membatik.

Membatik bagi masyarakat Indonesia khususnya Jawa bukan sesuatu yang asing. Kata “batik” sendiri pada awalnya adalah berasal dari kata “tik” yang mempunyai arti titik.[3] “Batik” sendiri mempunyai arti bertitik, karena proses membatik  diawali dengan memberikan titik-titik serta garis pada sebuah kain, untuk selanjutnya titik dan garis tersebut dikembangkan menjadi pola yang indah.

Dari zaman ke zaman kesenian membatik terus tumbuh dan berkembang. Perkembangan batik dideduaikan dengan tuntutan zaman serta situasi dan kondisi masyarakat. Perkembangan yang terjadi dalam kesenian membatik ini bukan saja dalam fungsi tetapi juga meliputi motif, bahan, serta proses pembuatannya. Batik mempunyai sifat yang universal, batik merupakan seni tekstil yang fleksibel sehingga dapat diterapkan pada karya seni yang lain, baik itu seni pahat maupun seni yang berbentuk hiasan.[4]

Diceritakan dalam naskah Carita Lasem (Babad Lasem) bahwa sejarah batik lasem erat hubungannya dengan kedatangan rombongan laksamana Cheng Ho pada tahun 1413 M. Dalam naskah tersebut diceritakan, “Anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Negara Tiong Hwa, Bi Nang Un dan istrinya Na Li Ni (yang berasal dari Campa) memilih menetap di Bonang Lasem setelah melihat keindahan alam Jawa. Di tempat mukim baru ini, Na Li Ni mulai membatik bermotifkan burung hong, liong, bunga seruni, banji, mata uang, dan warna merah darah ayam khas Tiong Hwa.” Motif ini yang kemudian menjadi cirri khas dan keunikan batik Lasem.[5]

B.    Pembahasan

Etnis Tionghoa dan Jawa di Lasem

Sejarah panjang akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa di Lasem memang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Diawali dengan kedatangan Bi Nang Un yang merupakan anak buah dari Cheng Ho pada tahun 1335, yang mendaratkan kapal dagangnya pertama kali di perairan Lasem tepatnya di pantai Regol sebelah utara Lasem. Kedatangan Bi Nang Un ke Lasem tujuan awalnya adalah untuk melakukan perdagangan. Akan tetapi hubungan itu berlanjut menjadi hubungan sosial yang terjalin dengan baik. Berawal dari semangat yang sama untuk melawan kolonial Belanda, hubungan ini berlanjut menjadi hubungan keseharian yang terjalin dalam kehidupan masyarakat Jawa dan Tionghoa di lasem sehari-hari.

Tionghoa di Lasem berbeda dengan Tionghoa di wilayah lain, sikap eksklusifitas yang ditunjukkan orang-orang Tionghoa di daerah lain tidak terjadi di Lasem. Terbukti dalam semua aspek kehidupan mereka dapat saling menghormati, tidak jarang kita dapat menemui sekelompok orang yang bercengkrama, pasti terdapat beberapa Tionghoa. Ini merupakan bukti bahwa Tionghoa di Lasem dapat membaur dengan masyarakat lokal di lasem.

Masyarakat Tionghoa yang merupakan pendatang tentu saja mempunyai pola hidup dan kebudayaan yang berbeda dengan penduduk lokal. Perbedaan itu mulai dari religi, budaya serta adat. Akan tetapi, di Lasem perbedaan ini tidak mengakibatkan benturan dengan penduduk lokal, sebaliknya budaya yang dibawa oleh etnis Tionghoa dapat diterima dan selanjutnya terjadi akulturasi budaya yang sangat menarik. Sebagai contoh nyata akulturasi budaya yang terjadi di Lasem adalah pada batik Lasem.

 Dalam literatur tentang batik, juga yang terdapat di Museum Batik Nasional, batik Lasem disebutkan sebagai salah satu varian klasik atau biasa disebut “pakem” dengan pola dan corak yang punya kekhasan tersendiri. Pola dan corak batik Lasem merupakan perpaduan yang indah dan elegan. Batik tersebut popular dengan sebutan batik tulis kendoro kendiri atau batik pesisiran Laseman yang terkenal dengan ragam corak tiga negri atau empat negri. Batik ini berbeda dengan batik Jogja ataupun Solo yang baku pada pakem keraton yang cenderung ekslusif yang menampakkan cirri keningratan.[6]

Motif Jawa Pada Batik Lasem

Berkembangnya batik terjadi semenjak berdirinya kerajaan Mataram. Tiap-tiap daerah penghasil batik memiliki perbedaan yang mendasar sebagai cirri khas, misalnya dalam warna. Batik Sidomukti buatan Solo memiliki warna yang berbeda dengan buatan Yogyakarta. Sidomukti buatan Yogyakarta berwarna putih dominan, sedangkan Sidomukti buatan Solo berwarna coklat domain. Hal ini karena batik Solo dan Yogyakarta lebih menonjolkan simbol, filosofi serta makna magis di dalam batik.

Berbeda dengan batik Solo dan Yogyakarta yang memiliki warana sederhana yakni dominan putih dan cokelat, batik Pekalongan kaya akan warna kuning, merah, hijau, dan lainnya. Hal ini disebabkan Pekalongan terletak di pesisir pantai, dimana para pedagang waktu itu melakukan transaksi. Para pedagang yang datang dari berbagai daerah tersebut membawa pengaruh dalam motif batik yang digunakan. Maka batik Pekalongan kaya akan warna, bermotif bebas, naturalis serta realistis.[7]

Batik Lasem merupakan salah satu bentuk batik yang unik dan merupakan salah satu varian klasik atau yang biasa disebut dengan pola dan corak yang punya kekhasan sendiri. Kekhasan serta pakem yang sudah ada turun temurun terdapat pada motif. Selain mendapat sebutan batik pesisiran, dan batik “Encim”, batik Lasem sering disebut batik kendoro kendiri atau batik pesisiran Laseman.[8]

Motif gaya Jawa atau motif yang dihasilkan oleh perajin batik yang merupakan orang Lasem asli dapat terlihat dari gambar Latohan, watu kricak, pasiran, gunung ringgit.dari beberapa motif yang dihasilkan di atas masing-masing memiliki makna:

1.     Latohan: Motif Latohan ini berupa bentuk seperti bunga dengan bulatan-bulatan kecil. Latohan ini diambil dari nama Latoh yang merupakan salah satu jenis tanaman laut yang sering dikonsumsi masyarakat Lasem.

2.     Watu Kricak: Watu kricak ini berbentuk pecahan-pecahan batu, selain merupakan krikil orang juga melihat motif ini sebagai motif yang berbentuk tanah yang retak, ini sesuai dengan karakteristik tanah Lasem yang kering. Pengambilan motif ini juga dipakai untuk mengenang para korban kerja paksa pada saat pembuatan jalan yang dilakukan oleh Deandels. Kerja paksa yang menelan banyak korban di Lasem ini membuat para penduduk Lasem merasa prihatin, dan ini menjadi bentuk keprihatianan masyarakat Lasem.

3.     Gunung Ringgit: Gunung Ringgit ini menyerupai gunungan yang sering digunakan pada pewayangan.

Sedang yang tampak sebagai ornament gaya Jawa Tengah seperti garuda atau sawat yang bentuknya kecil sebagai ornament pengisi dan ornament burung merak yang distilir dari samping dan menonjol ekornya.[9] Selain motif diatas motif batik Lasem juga mendapat pengaruh dari motif-motif keratin yang banyak terdapat di batik Solo dan Yogyakarta misalnya parang, kawung, sekar jagad. Motif parang dan kawung melambangkan kekuatan dan sering digunakan oleh para bangsawan keraton dan tidak sembarangan orang bisa memakainya. Motif yang ada di Lasem memang mempunyai ragam yang khas. Banyaknya pengaruh budaya yang ada pada motif batik Lasem membuat batik ini mempunyai makna filosofis.

Budaya Tionghoa pada Motif Batik Lasem

Bangsa Tionghoa member pengaruh yang besar pada peradaban kaum pribumi di Nusantara. Memang pengaruh bangsa Tionghoa tidak sebesar pengaruh yang diberikan oleh bangsa India. Pengaruh bangsa Tionghoa, menjadi sangat menentukan karena pengaruh yang diberikan lebih bersifat teknis hamper disemua bidang sosial, seperti pertanian, pengobatan, perdagangan, perkapalan, pakaian serta makanan. Secara berangsur-angsur sejalan dengan kehidupan mereka kebudayaan Tionghoa dapat membaur dan selanjutnya menghasilkan akulturasi budaya.

Gaya motif Tionghoa antara lain meliputi; burung hong, peksi huk, baga (liong), killin, ayam hutan, ikan emas, kelelawar, kupu-kupu, kura-kura, udan dan kepiting. Selain motif fauna ada juga motif floral yaitu meliputi; bunga seruni, teratai, magnolia, sakura dan bamboo. Diluar motif floral dan fauna ada juga motif khas Tionghoa yaitu; banji, kipas, delapan dewa, sampe’ engtai, dewi bulan dan koin uang.

Motif Tionghoa ini mempunyai nilai filosofis pada setiap motifnya. Makna filosofi yang terkandung di dalam moif adalah:

1.     Kupu-kupu: Merupakan lambing dari cinta kasih, dimana masyarakat Tionghoa adalah orang-orang yang selalu menyebarkan sikap cinta kasih pada siapapun.

2.     Killin: Melambangkan kebijaksanaaan.

3.     Naga (Liong): Mempunyai makna keagungan, naga sering dipakai sebagai simbol kerajaan di negaranya yang menggambarkan keagungan sebuah kerajaan.

4.     Burung Hong/ Phoenix: Burung Hong ini sebagai simbol kebaikan. Burung hong bagi masyarakat Tionghoa merupakan burung dewa.

5.     Kelelawar: Sebagai lambing panjang umur.

6.     Sedangkan gambar floral lebih bermakna keindahan, karena kebanyakan flora yang dipakai adalah gambar-gambar bunga yang melambangkan keindahan sesuai dengan batik yang menawarkan keindahan.

Motif lain diluar flora dan fauna lebih pada cerita rakyat Tionghoa, salah satunya adalah Sampe’ Engthai yang merupakan cerita cinta sepasang kekasih yang menjadi cerita rakyat orang Tionghoa, ada juga motif Delapan Dewa dan Dewi Bulan yang melambangkan dewa yang disembah oleh kaum Tionghoa. Ada juga motif banji, kipas dan koin uang.

Motif yang dibawa oleh Tionghoa ini selanjutnya dikombinasikan dengan baik dengan motif Jawa atau motif dari masyarakat Lasem. Motif batik Lasem yang khas selanjutnya member pengaruh besar pada pola motif batik di daerah lain, antara lain adalah batik Indramayu, Jambi, dan Palembang.[10] Sebaliknya dinamika perkembangan batik yang dad di beberapa wilayah diatas pada pola corak masing-masing daerah tersebut juga mempunyai pengaruh besar dalam dinamika perkembangan industri batik di Lasem. Sebagai contoh pengaruh batik Lasem adalah seni batik Indramayu diperkenalkan oleh para perajin batik dari Lasem.[11]

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Suhandjati, Sri. 2015. ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA REVITALISASI KEARIFAN LOKAL.Semarang :CV Karya Abadi Jaya.

Suseno, Franz Magnis. 1993. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Irawan Soekamto, Chandra. 1984. Batik dan Membatik. Jakarta, Akodama

Unjiya, M. Akrom. 2014. LASEM NEGERI DAMPO AWANG. Yogyakarta, Salma Idea.

Unjiya, M. Akrom. 2008 LASEM NEGERI DAMPO AWANG Sejarah yang terlupakan. Yogyakarta, Eja Publisher.

 



[1] Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal (Semarang, CV. Karya Abadi Jaya, 2015) hlm. 1

[2] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa hlm 47

[3] Chandra Irawan Soekamto, Batik dan Membatik (Jakarta, Akodama, 1984) hlm. 9

[4]  Ardiyanto, Batik Perkembangannya Pada Era Industri Awal Sampai Dengan Batik Lukis Masa Kini, Suntingan Soedarso SP. Seni Lukis Batik Indonesia. (Yogyakarta, Taman Budaya Propinsi DIY, 1998)

[5]  M, Akrom Unjiya, LASEM NEGERI DAMPO AWANG (Yogyakarta, Salma Idea, 2014) hlm. 8

[6]  Ibid, hal 7

[7]  Batik Indo Admin, 2003, “BATIK” Posted in Batik Indonesia, 9 januari 2003, hal. 3

[8]  M. Akrom Unjiya, LASEM NEGERI DAMPO AWANG Sejarah yang terlupakan (Yogyakarta, Eja Publisher, 2008) hlm. 5

[9]  Bairul Anas, Indonesia Indah, “BATIK”, 1983

[10]  William Kwan HL, Catatan Hasil Study “Revitalisasi Budaya Usaha Batik Kecil di Lasem.”

[11]  Paramita Abdurachman, “dermayu batiks; A Surviving an in an ancient trading town ( Preliminary Notes ), Draft Makalah 1985


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

PELESTARIAN BUDAYA JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI