PELESTARIAN BUDAYA JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI
PELESTARIAN BUDAYA
JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO
SYEKH
AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI
UMI ANISAH
Prodi Studi Agama Agama
Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang
Email : Umi97553@gmil.com
Abstrak
Tradisi 10 Syuro Syekh Ahmad Mutamakkin adalah suatu bentuk kegiatan
ritual yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Tradisi ini
dijalankan oleh masyarkat pendukung yang dilaksanakan di makam Syekh Ahmad
Mutamakkin yang berada di Kajen, kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati. Tradisi
ritualnya dilaksanakan pada tanggal 6 Syuro dan diakhiri pada tanggal 11 Syuro.
Adapun bentuk tradisi 10 Syuro Syekh Ahmad Mutamakkin ada tiga, yaitu tahtiman
AlQur’an Bil ghoib dan binnadhor, buka selambu makam yang dilanjutkan dengan
acara pelelangan; serta tahlil khaul. Tradisi ini bertujuan untuk mengenang
jasajasa Syekh Ahmad Mutamakkin yang dianggap suci, dimuliakan sebagai seorang
wali yang telah berjasa menyebarkan agama Islam di wilayah Pati dan sekitarnya.
Kata kunci : Budaya, Tradisi
A. Pendahuluan
Islam mengajarkan untuk
mengenal, memahami, dan menghargai budaya lokal (QS: Al Hujurat: 13).
Rasulullah telah memberikan contoh tentang hidup ditengah masyarakat yang
majemuk dengan perbedaan agama maupun budayanya. Tiap suku mempunyai adat
kebiasaan yang berbeda dengan suku lain, dan dari budaya lokal itu ditemukan
unsur-unsur budaya lokal yang mempunyai nilai universal seperti, kejujuran,
keadilan, kerukunan, gotong royong. Dengan mengamalkan ajaran Islam yang
mengatur interaksi antar umat manusia, kaum muslimin di Madinah pada masa
Rasulullah bisa hidup berdampingan secara damai dan saling tolong menolong.
Pada masa selanjutnya, umat Islam dapat mencapai tingkat peradaban yang tinggi.[1]
Kebudayaan Jawa merupakan salah
satu bagian dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa dengan
keanekaragamannya banyak mengilhami masyarakat Jawa dalam tindakan maupun
perilaku keberagamannya. Masyarakat Jawa memiliki keunikan tersendiri. Dalam
segi tindakannya biasanya tidak lepas dari mengikuti tradisi atau kebiasaan
yang dianut oleh para leluhurnya. Keunikannya dapat dilihat mulai dari
kepercayaan masyarakat, Bahasa, kesenian, dan tradisinya. Keragaman tradisi dan
budaya lokal menyemangati berbagai pihak baik pemerintah, swasta, akademis,
maupun wisatawan mancanegara.
Salah satu dari sekian banyak
kebudayaan Jawa adalah tradisi 10 Syuro. Masyarakat Jawa menyambut tahun baru
Jawa yang dimulai pada bulan Syuro. Bulan Syuro sebagai awal tahun Jawa,
masyarakat Jawa banyak yang melakukan kegiatan untuk menyambutnya baik
menjelang maupun bulan Syuro. Kegiatan tersebut biasanya tidak terlepas dari
upaya introspeksi terhadap tindakan di masa lalu dan harapan-harapan yang lebih
baik di tahun baru, namun tidak sedikit pula masyarakat yang merayakan tahun
baru yang hanya bertujuan untuk bersenang-senang saja.
Tradisi di bulan Syuro yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sebagai upaya untuk menemukan jati
dirinya agar selalu tetap eling lan waspada (selalu ingat dan waspada). Eling artinya harus tetap ingat siapa
dirinya dan dari mana asal mulanya
(sangkan paraning dumadi), kedudukannya sebagai makhluk Tuhan, tugasnya
sebagai kholifah manusia di bumi baik
bagi diri sendiri maupun orang lain. Waspada,
artinya harus tetap cermat, terjaga, dan waspada terhadap segala godaan yang
sifatnya
menyesatkan. Godaan yang bersifat
menyesatkan itu bisa menjauhkan diri dari sang Pencipta.
Pulau Jawa banyak sekali
memiliki kompleks pemakaman dan masjid keramat yang menjadi sasaran ziarah oleh
ribuan orang setiap tahunnya sehingga pulau Jawa menjadi pusat wisata ziarah di
Indonesia. Kegiatan yang dilakukan untuk menghormati bulan Syuro yang dilakukan
Sebagian masyarakat Jawa yaitu melakukan tradisi Syuronan kepada Tuhan dengan
cara melakukan tradisi ritual ziarah ke makam (pesarean), misalnya mengunjungi makam-makam tokoh Islam terkenal,
seperti makam para wali dan sejumlah masjid tua bersejarah untuk berdoa meminta
berkah. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat pendukungnya yang meyakini bahwa
ritual tersebut akan membawa barokah bagi masyarakat yang melaksanakan tradisi
ini. Kebudayaan ini berkembang karena masyarakat meyakini tradisi tersebut.
Tradisi ini juga masih dijumpai sampai sekarang di desa Kajen kabupaten Pati
yang berupa upacara ritual ditempat makam pesarean Syekh Ahmad Mutamakkin yang
disebut sebagai istilah Tradisi 10 Syuro
Syekh Ahmad Mutamakkin. Tradisi ini dilaksanakan mulai tanggal 6-11 Syuro
yang diisi dengan acara ritual seperti Tahtiman
Al-Qur’an Bilghoib dan Binnadhor, buka selambu dan pelelangan, serta tahlil
khaul.
Tradisi 10 Syuro Ahmad
Mutamakkin Kabupaten Pati merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat
pendukung yang berawal dari keberadaan tokoh Syekh Ahmad Mutamkkin yang
dipercaya sebagai tokoh wali yang telah berjasa dalam menyebarkan agama Islam
di kabupaten Pati dan sekitarnya. Tradisi ini disebut khoul sebagai penghormatan dan memuliakannya dengan mengadakan
kegiatan-kegiatan ritual keagmaan. Tradisi-tradisi ini kemudian perlahan
berkembang dimasyarakat dan akhirnya diiringi oleh tradisi dari masyarakat
pendukungnya dan diwariskan secara turun-temurun.
Tradisi 10 Syuro Syekh Ahmad
Mutamakkin merupakan sebuah upacara tradisional yang didalamnya mengandung
nilai-nilai dan adat istiadata yang masih dipertahankan dan dijalankan oleh
masyarakat pendukungnya. Tradisi 10 Syuro Syekh Ahmad Mutamkkin memiliki fungsi
tersendiri. Keberadaan fungsi pada tradisi ini memiliki arti penting dalam
segala aktifitas kebudayaan dan bermasyarakat bagi para pelaku tradisinya.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Islam dan Budaya
Kebudayaan berasal dari kata “budi” dan “daya”,
kemudian digabungkan menjadi “budidaya” yang artinya upaya untuk menghasilkan
dan mengembangkan sesuatu agar menjadi lebih baik dan memberi manfaat bagi
kehidupan. Lalu diberi imbuhan “ke” dan “an” menjadi kebudidayaan atau
disingkat menjadi “kebudayaan”.[2]
Jadi, kebudayaan adalah upaya yang dilakukan umat manusia untuk yang
menghasilkan dan mengembangkan sesuatu, baik yang sudah ada maupun yang belum
ada agar memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Menurut Herkovits,
kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh
manusia. Sebagian para ahli mengartikan kebudayaan kemungkinan besar sangat
dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme,
yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari
tahapan yang lebih sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.[3]
Dengan demikian kebudayan berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang
menyeluruh baik material maupun non material.
Sidi Gazalba memberikan pengertian tentang
kebudayaan Islam itu sebagai perwujudan dari proses berpikir dan perasaan yang
dilandasi dengan Imam dan takwa. Perwujudannya berupa amal saleh yang terkait
dengan bidang muamalah (hubungan antar sesama manusia) meliputi
lapangan ekonomi, politik, social, ilmu pengetahuan,
Teknik, filsafat, dan kesenian. Lapangan inilah yang termasuk dalam kebudayaan
Islam.[4]
2. Kebudayaan
Jawa
Kebudayaan Jawa dalam perwujudannya beraneka warna,
seperti dalam Bahasa terdapat banyak logatnya, demikian pula dalam kesenian,
makanan maupun bidang lainnya. Hal ini terjadi karena pengaruh daerah
masing-masing, seperti logat Bahasa Jawa yang di pedalaman berbeda dengan yang
di pesisiran.
Budaya Jawa berkembang di daerah Yogya dan Solo
mempunyai corak khusus yang bersumber dari budaya Kraton. Selain dibidang seni
dan sastranya, juga memilki kecenderungan pada sinkretisme dalam kehidupan
keagamaannya. Sedangkan budaya Jawa pesisiran lebih diwarnai oleh ajaran Islam,
seperti dalam kesusastraan maupun dalam pemahaman agamanya yang cenderung pada
Islam yang puritan.5
Masyarakat Jawa menggunakan “rasa” sebagai kriteria
orang yang berperadaban. Oleh karena itu, semakin tinggi peradaban yang
dimiliki seseorang, maka ia akan memilki kepekaan dalam berinteraksi dengan
orang lain. Sehingga ia akan mampu menyesuaikan diri dengan perasaan orang lain
maupun lingkungan tertentu yang dihadapi. Kehalusan perasaan tersebut, salah
satunya diekspresikan melalui Tindakan dan ucapannya yang menyiratkan sopan
santun dalam berbicara, berpenampilan, dan berperilakunya. Karena itu merujuk
pendapat Franz Magnis Suseno, salah satu orang yang luhur budinya dalam
pandangan masyarakat Jawa adalah yang halus perasaannya.6
Dengan memperhatikan pada bentuknya, maka budaya
Jawa itu beraneka ragam. Namun secara umum mempunyai kesamaan dalam kehidupan
sosialnya yang mendasarkan pada keselarasan.[5]
3. Pengertian
Tradisi
Tradisi adalah kebiasaan, suatu aktivitas turun
temurun dari leluhur kita, yang biasanya dilakukan warga masyarakat dengan
melakukan semacam ritual. Sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini suatu
tradisi akan punah. Tradisi juga berarti segala sesuatu yang disalurkan atau
diwariskan dari masa lalu ke masa kini.[6]
Shil menegaskan bahwa : “manusia tak
mampu hidup tanpa tradisi meski mereka merasa tak puas terhadap tradisi
mereka”.[7]
Sungguh luar biasa keanekaragaman budaya yang
dimiliki bangsa Indonesia, termasuk didalamnya ada system religi maupun system
kepercayaan yang hidup dan dihayati oleh masyarakat disetiap suku bangsa. Perlu
disadari dan dipahami, kontibusi kepercayaan masyarakat bagi bangsa Indonesia
jelas tidak sedikit. Selain merupakan salah satu akar bagi tumbuh kembangnya
kebudayaan Indonesia, kepercayan masyarakat juga memberi ciri kebudayaan daerah
setempat, yang lebih hakiki lagi, dan memberi kepercayaan-kepercayaan kepada
masyarakat yang mengandung makna dan nilai-nilai yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia.[8]
Aktivitas adalah suatu hubungan yang khusus dengan
dunia, suatu proses yang dalam perjalanannya manusia yang menghasilkan Kembali
dan mengalih wujudkan alam, karena membuat dirinya subyek aktivitas dan
gejala-gejala alam obyek aktivitas. Dalam menjalankan kehidupan ini, manusia
menciptakan kebudayaan. Secara umum, kebudayaan atau budaya ini dapat dipandang
dari dua dimensi. Yang pertama adalah
dimensi isi, yaitu kebudayaan
terdiri dari wujud gagasan, kegiatan, dan artefak (benda-benda). Yang kedua
yaitu dimensi ini terdiri dari : 1. System religi atau agama; 2. Teknologi atau
system peralatan hidup; 3. Bahasa; 4. Ekonomi atau system mata pencaharian
hidup; 5. Organisasi social; 6. Pendidikan; 7. Seni.[9]
Unsur kebudayaan seni, di dalam Bahasa Indonesia disebut
dengan kesenian atau seni budaya. Bahkan kesenian kadangkala diidentikan dengan
kebudayaan (culture), walau ada
nuansa makna keduanya. Seni adalah salah satu dari unsur kebudayaan, namun seni
mengekspresikan kebudayaan suatu masyarakat pendukung seni tersebut.[10]
Menurut Bahasa, tradisi adalah segala sesuatu
(seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya) yang turun
temurun dari nenek moyang.[11]
Menurut istilah, tradisi adalah suatu ketentuan
mengenai cara yang tidaak ada ketentuannya secara jelas dalam Al-Qur’an dan
Sunnah.[12]
Yang patut diamati pula, kebudayaan popular di
Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan symbol-simbol Islam,
sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang
penting dalam kebudayaan popular di Indonesia.[13]
Tradisi dan budaya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam membangun kehidupan yang ideal. Seperti halnya dengan ilmu
dan agama. Ilmu dan budaya juga berproses dari belahan otak manusia. Ilmu
berkembang dari otak kiri yang berfungsi membangun kemampuan berpikir ilmiah,
kritis, dan teknologi. Seperti halnya dengan tradisi, termasuk kedalam salah
satu kebudayaan daerah yang harus kita
lestarikan. Harapannya adalah agar
tidak membiarkan dinamika kebudayaan itu berlangsung tanpa arah, bisa jadi akan
ditandai munculnya budaya-sandingan atau bahkan budaya tandingan yang tidak
sesuai dengan apa yang dicita-citakan, sebab dengan terbengkalai nya
pengembangan kebudayaan bisa berakibat terjadinya kegersangan dalam proses
pengalihannya dari satu generasi ke generasi bangsa selanjutnya. Selain itu
juga tujuan lain dari pelestarian ini paling tidak akan melahirkan generasi
yang tidak hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis serta merasa
memiliki.[14]
Berbicara mengenai tradisi. Tradisi adalah
kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari suatu
kehidupan masyarakat atau informasi yang telah diteruskan dari generasi ke
generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi
dapat hilang maupun punah.17
Tanah air Indonesia, yang terdiri dari pulau-pulau,
suku-suku bangsa, dan bahsa-bahasa daerah terdapat berbagai adat-istiadat yang
kemudian diatur dan ditata oleh masyarakat pendukungnya, sesuai dengan tujuan
dan harapan yang didambakannya. “Suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu system adat-istiadat tertentu yang bersifat
kontinu dan
terikat oleh suatu rasa identitas bersama”.18
Didalam masyarakat Jawa misalnya, adat istiadat
yang kini masih dipertahankan, dilestarkian, diyakini, dan dikembangkan,
benar-benar dapat memberikan pengaruh terhadap sikap, pandangan, dan pola
pemikiran bagi masyaraakat yang menganutnya. Salah satunya adalah
“Tradisi 10 Syuro
Syekh Ahmad Mutamakkin di kabupaten Pati”.
4. Mengenal
Syekh Ahmad Mutamakkin
Pepatah mengatakan, “Dimana ada gula, di situ ada
semut”. Pepatah tersebut sangat tepat untuk menggambarkan keadaan Haul Syekh
Ahmad Mutamakkin yang diperingati
pada tanggal 10 Muharram setiap tahunnya. “Suronan” adalah istilah yang
digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyebut tanggal sepuluh bulan Asyuro.
Setiap tanggal 10 Syuro, Desa Kajen menjadi lautan manusia. Di setiap ruas
jalan dipenuhi oleh para peziarah. Banyak masyarakat dari berbagai penjuru
datang ke pesarean Mbah Mutamakkin, tujuannya tidak lain adalah untuk
mendapatkan berkah. Mbah Mutamakkin adalah seorang ulama yang berasal dari
Tuban, Jawa Timur. Di kampung asalnya, beliau juga dikenal dengan nama “Mbah
Bolek”, sesuai nama desanya yaitu Cebolek. Nama “Mutamakkin” yang bermakna
orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini akan kesuciannya konon adalah
gelar yang diberikan kepada beliau seusai dari menuntut ilmu dari Timur Tengah.
Diperkirakan beliau hidup sekitar tahun 1685-1710. Konon, sepulang dari Timur
Tengah, Mbah Mutamakkin tidak langsung pulang melainkan pergi ke daerah utara
Pati. Beliau tinggal di Cebolek di sebelah selatan uatara desa Kajen.
Terdapat pula cerita yang berkembang di masyarakat
setempat (foklor) menyebutkan, sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, beliau
menaiki jin. Tiba-tiba di tengah laut, oleh jinnya, beliau dijatuhkan ditengah
laut. Kemudian beliau diselamatkan “Ikan Mladang”. Beliau dilemparkan sampai di
suatu tempat. Tempat tersebut dinamai Desa Cebolek. Ada dua versi tentang
asal-usul desa ini. Pertama adalah dari
kata “cebolek” (jatuh), dan kedua “jebol-jebul melek” (tiba-tiba membuka mata).
Di Cebolek Pati beliau tinggal. Suatu malam. Mbah Mutamakkin melihat sinar yang
terang dilangit. Karena heran, kemudian beliau mencari dari mana asal sinar
tersebut adalah sinar K.H. Syamsuddin, pemangku desa Kajen yang sedang
melaksanakan sholat tahajjud. Tidak banyak cerita yang berkembang, kemudian
Mbah Mutamakkin dinikahkan dengan putrinya Nyai Qodimah.
Salah satu peninggalan beliau adalah masjid yang
klasik. Orang setempat biasa menyebutnya dengan “Masjid Kajen”. Masjid tersebut
terbilang unik. Pasalnya, hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu jati.
Selain masjid, terdapat juga
peninggalan berupa sumur Mbah Mutamakkin yang berada di Desa Bulumanis. Air
tersebut tidak berasa tawar meskipun berjarak sekitar satu kilometer dari laut.
Karena jasa Mbah Mutamakkin, sedikitnya terdapat 34 Ponpes yang berdiri di Desa
Kajen hingga sekarang. Selain pesantren tradisional, muncul berbagai Lembaga
Pendidikan nasional yang unik. Walaupun menggunakan pelajaran umum, tapi juga
mengajarkan kitab kuning di sekolah tersebut. Setiap 10 Muharram, di Desa kecil
di pantai utara Jawa Desa Kajen, Pati, lautan manusia berdatangan memperingati
haul K.H. Ahmad Mutamkkin. Sosok kiai yang lahir di Tuban ini lebih memilih
Kajen, sebuah Desa kecil di pantai utara Jawa, untuk menyebarkan gagasan
Islamnya. Setiap harinya, dari pagi hingga malam, nonstop selama 24 jam makam
K.H. Ahmad Mutamakkin tidak pernah sepi dari pengunjung. Alunan bacaan
Al-Qur’an, Tahlil, Tahmid, Takbir, dan Sholawat bergema sepanjang hari,
menyuarakkan suasana Desa tersebut yang dihuni ribuan santri.
5. Adat
Peringataan 10 Syuro
Tradisi 10 Syuro ini merupakan sebuah bentuk tradisi
yang hidup dan berkembang di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati yang
diwariskan secara turun teemurun dan dirayakan setiap tahun dimana
penyampaiannya secara lisan dan merupakan milik bersama pendukungnya. Awal mula
dilaksanakannya tradisi 10 Syuro, Syekh Ahmad Al-Mutamakkin ini adalah untuk
mengenang jasa-jasa beliau sebagai tokoh agama Islam dan menghargai jasa ilmu
yang beliau turunkan. Fungsi dari tradisi 10 Syuro ini adalah sebagai penghormatan
terhadap leluhur, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allaah SWT, sebagai
gotong royong dan kebersamaan, serta ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.
Tempat perayaan ritual ini berlangsung
di makam Syekh K.H. Ahmad Mutamakkin yang berada di tengah-tengah desa
Kajen dan sekitarnya.
Tradisi 10 Syuro Syekh Ahmad Mutamakkin ini
didalamnya terdapat beberapa kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari
berturut-turut, yaitu mulai tanggal 6 Syuro sampai pada penutupan yang
dilaksanakan pada tanggal 10 Syuro. Semuanya merupakan satu rangkaian yang
tidak dapata dipisahkan. Adapun ritual keagamaan yang dilaksanakan antara lain;
Tahtiman Al-Qur’an Bilghoib dan
Binnadhor, buka selambu dan pelelangan, serta tahlil khoul. Serangkaian
ritual ini dimulai dengan manaqiban pembukaan di pesareyan pada tanggal 6
Syuro.
Acara yang kedua yaitu Tahtiman Al-Qur’an Bilghoib acara ini dilaksanakan pada tanggal 7
Syuro. Acara yang ketiga Tahtiman Al-
Qur’an
Binnadhor pada tanggal 8 Syuro. Tahtiman dilakukan oleh khalayak umum dan
dihadiri oleh para Kyai yang diundang dan juga masyarakat pendukung yang
berasal dari desa Kajen dan sekitarnya. Tahtiman Al-Qur’an ini dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bertempat di pesarean sedangkan
bertempat di sekitar pesarean. Pada tanggal 9 Syuro acara buka selambu (kain luwur) makam dan dilanjutkan acara pelelangan
selambu makam Syekh Ahmad Mutamakkin ini merupakan acara puncak.
Tradisi ini dihadiri oleh semua orang dari berbagai
kalangan. Semua acara buka selambu dimulai didahului dengan tahlilan terlebih
dahulu. Setelah pelelangan biasanya para orang-orang yang mendatangi acara
tersebut dan para zairin-zairot berebut nasi ambeng yang telah didoakan
terlebih dahulu. Diantara nasi ambeng itu terdapat piring panjang bekas tempat
makan dari Mbah Mutamkkin. Piring panjang tersebut juga diisi makanan yang
dimasak dari Kyai desa Kajen dari salah satu Mbah Mutamakkin yang menyimpan
piring tersebut. Piring ini berbentuk bulat namun lebar. Selain pembagian
makanan ada juga ritual meminum air oleh para tamu dengan menggunakan tempat
minum yang dahulunya dipakai Mbah Mutamakkin untuk minum yang terbuat dari
kuningan.
Pada siang harinya acara pemeriahan Syuronan ini
diadakannya karnaval dan pentas seni dari berbagai daerah sekitar Pati, Kudus,
Jepara, dan sekitarnya. Selanjutnya pada tanggal 10 Syuro merupakan acara
penutupan dengan ritual manaqiban penutup dilanjutkan dengan tahlil.
Selain acara inti dari Syuronan tersebut biasanya
perguruanperguruan turut memeriahkan tradisi ini. Di Perguruan Matholi’ul Falah
diadakannya Batsul Masail yang dihadiri para Kyai-Kyai, di kampus STAI
Matholi’ul Falah sendiri juga mengadakan ExPo yang dikunjungi oleh berbagai
kalangan, di stand terdapat aneka makanan dan minuman, ada juga bazar buku,
batik, grosir pakaian, serta pagelaran pentas seni dan budaya, sedangkan di
Perguruan Salafiyah juga megadakan pagelaran pentas seni dan budaya. “Kajen
merupakan Desa kecil, tapi ia tak pernah mati”.[15]
C. Kesimpulan
Kebudayaan Islam merupakan agama
sebagai suatu system budaya yang mengandung konsep-konsep tentang suatu tatanan
umum keberadaan yang penting bagi orang-orang beriman dalam suatu komunitas
agama tertentu.
Tradisi 10 Syuro ini merupakan
sebuah bentuk tradisi yang hidup dan berkembang di Desa Kajen kecamatan
Margoyoso Kabupaten Pati yang diwariskan setiap tahun dimana penyampaiannya
secara lisan dan merupakan milik bersama pendukungnya. Awal mula
dilaksanakannya tradisi 10 Syuro Syekh Ahmad Mutamakkin ini adalaha untuk
mengenang akan jasa-jasa beliau sebagai tokoh agama Islam dan menghargai jasa
ilmu yang beliau turunkan. Fungsi dari tradisi 10 Syuro ini adalah sebagai
penghormatan terhadap leluhur, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, sebagai
gotong royong dan kebersamaan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah.
D.
Daftar Pustaka
Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal (Semarang :
CV. Karya Abadi Jaya, 2015).
Ibrahim Amini. Wahyu Dar Adyan Asman. (diterjemahkan :
Our Religi).
Jakarta : Al-Huda,
2007.
Jalaluddin Rakhmat. Islam dan Pluralisme, Akhlak Al-Qur’an
menyikapi Perbedaan. (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006).
Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1978).
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa,, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1984).
Edward Shils, dkk. Elit Dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta
: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi, 1981).
Makna
RItus Pada Upacara Kariaan di Kampung Banceuuy Kabupaten Subang,
(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan DIrektorat Jendral Kebudayaan Balai
Pelestarian Nilai Budaya) Bandung, 2004.
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, edisi
baru, 1: 65, artikel “adat”, Jakarta: 2004.
W.JS.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta : PN Balai Pustaka, 1476, Edisi lama, 1: 1088).
Viyolla Nadya Putri,
Tradisi Sedekah Bumi Cirebon, http://www.scribd.com, doc 43574699 tradisisedekahbumi, Cirebon, di
unduh pada Minggu,
17 Mei 2020, 10:40 WIB
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1990).
Sumber
lain :
Idzan Mustafidah,
Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) STAI Mathali’ul Falah Pati,
di akses pada Minggu, 17 Mei 2020, 21:49 WIB. www.kompasiana.com https://www.kompasiana.com/idzan.ms/54f93b6ea333116e068b48
3f/kajen-desa-kecil-yang-tak-pernah-mati
[1] Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi
Kearifan Lokal (Semarang :
CV. Karya Abadi Jaya, 2015), hlm 01
[2] Ibrahim Amini. 2007. Wahyu Dar Adyan Asman. (diterjemahkan :
Our Religi). Jakarta : Al-Huda.
[3] Jalaluddin Rakhmat. 2006. Islam dan Pluralisme, Akhlak Al-Qur’an
menyikapi Perbedaan. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta.
[4] Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan
Bintang, 1978, hlm. 170-172 5 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 25-26. 6
Ibid, hlm 156-157.
[5] Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi
Kearifan Lokal (Semarang :
CV. Karya Abadi Jaya, 2015), hlm 26
[6] Edward Shils, dkk. Elit Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta :
Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi, 1981, hal. 12.
[7] Edward Shils, dkk. Elit Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta :
Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi, 1981, hal. 322.
[8] Makna RItus Pada Upacara Kariaan di Kampung Banceuuy Kabupaten Subang, 2004
(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan DIrektorat Jendral
Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya) Bandung, hal. 1.
[9] Makna RItus Pada Upacara Kariaan di Kampung Banceuuy Kabupaten Subang, 2004
(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan DIrektorat Jendral
Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya) Bandung, hal. 11.
[10]
Ibid., hal. 13.
[11]
W.JS. hal. 1.
[12] Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, edisi
baru, 1: 65, artikel “adat”, Jakarta:
2004, hal. 4
[13] W.JS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta :
PN Balai Pustaka, 1476, Edisi lama, 1: 1088), hal. 6.
[14] Viyolla Nadya Putri, Tradisi Sedekah Bumi Cirebon, http://www.scribd.com, doc
43574699
tradisisedekahbumi, Cirebon, di unduh pada Minggu, 17 Mei 2020, 10:40 WIB 17
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu
Antropologi, Rineka Cipta Jakarta, 1990, hal. 140 18 Ibid., hal.
146.
Komentar
Posting Komentar