UNSUR ISLAM DAN JAWA DALAM TRADISI SELIKURAN KEC. GRINGSING KAB.BATANG
UNSUR ISLAM DAN JAWA DALAM
TRADISI SELIKURAN
KEC. GRINGSING KAB.BATANG
Oleh
: Salsabilla Alfin Ratnadila
Jurusan
Studi Agama-Agama ,Fakuktas Usuludin Humaniora,
Universitas
Islam Negeri Semarang
Abstrak
Kehadiran bulan suci ramadhan telah disebut dengan
penuh kegembiraan oleh umat muslim di seluruh dunia. Di antara rangkaian ibadah
dalam bulan suci ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus diperintahkan adalah
I’tikaf. I’tikaf dalam peringatan
bahasa berarti berdiam diri tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian
syariat agama, I’tikaf berarti berdiam
diri di masjid sebagai disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutaman
pada bulan suci ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk
mengharapkan datangnya Lailatul Qadar, seorang muslim bisa bisa i’tikaf di
masjid kapan saja, namun dalam konteks bulan ramadhan selam sepuluh hari
terakhir pada perhitungan ganjil yakni malam-malam 21,23,25,27,dan 29 bulan
ramadhan. Orang jawa lebih biasa menyebut tradisi maleman atau selikuran. Pemberian
nama selikuran disebabkan karena ibadah itu dilaksabakan pada malam hari bulan
ramadhan dilaksanakan selama 10 hari terakhir bulan ramadhan pada hitungan
ganjil dumulai pada tanggal 21 ramadhan.
Kata kunci : Selikuran, tradisi, islam
I.Pendahuluan
A. Latar Belakang
menurut Koentjaraningrat, Budaya merupakan hasil dari
cipta, rasa dan karsa sedangkan budaya jawa merupakan budaya yang diciptakan
oleh masyarakat jawa menggunakan bahasa jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya juga merupakan hasil dari kebiasaan yang sering dilakukan secara
turun-temurun oleh seorang individu maupun kelompok masyarakat. Suatu budaya
tradisi atau kebiasaan pastinya memiliki nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Dengan nila-nilan itu, mereka bisa mengatur keselarasan dan
keseimbangan di dalam kehidupan bermasyarakat, karena suatu nilai, manusia akan
menjadi sebuah pedoman dan petunjuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Islam merupakan agama yang masuk di Indonesia dengan demai
dan membuat masyarakat menerima islam meskipun sebelumnya sudah berkembang
aneka budaya dan ritual dan bersifat local. Di jawa sendiri, masyarakatnya
sudah memiliki berbagai macam budaya
dan tradisi yang tentu telah dipengaruhi oleh agama hindu dan budha sebelum
kedatangan islam, islamisasi dilakukan oleh para tokoh islam terutama para wali
padamasa awal dengan cara pendapatkan budaya sebagai sarana dakwah mereka,
selain itu mereka juga berdakwah melalui pendidikan pesantren, melalui karya
seni baikitu sastra, music maupun wayang. [1]
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki
beragam budaya, suku, adat istiadat, dan bahasa yang berbeda di setiap daerah,
Indonesia memiliki beragam kebudayaan oleh
suku di daerahnya masing-masing. Kegiatan tradisi selikuran merupakan suatu
kebudayaan yang tidak dapat di tinggalkan oleh penduduknya, oleh sebab itu
kebudayaan yang telah dimiliki ileh suatu daerah harus di lestarikan bahkan di
kembangkan, karena meninggalkan kebudayaan daerah sama saja dengan menghilangkan
idenititas daerah tersebut.
Dalam
mengikuti perkembangan zaman atau mengikuti gerak modernisasi tidak semua
masyarakat dan kebudayaan yang ada di wilayah kita ada beberapa masyarakat
kebudayaan atau tradisi yang sudah dilakukan oleh nenek monyang sejak zaman
dahulu.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi
manusia dan masyarakat, kebutuhan-kebutuhan masyarakat sebagian besar dipenuhi
melalui kebudayaan yang bersumber dari pada masyarakat itu sendiri, dikatakan
sebagian besar karena kemampuan manusia adalah terbatas dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia. Kebudayaan juga mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau
mereka berhubungan dengan orang lain.
Apabila
manusia hidup sendiri maka tidak akan ada manusia lain yang merasa terganggu
oleh tindakan-tindakanya, akan tetapi individu tidak akan bisa untuk hidup
sendiri tanpa adanya masyarakat dan kebudayaan.
Didalam acara setiap acara ini ada unsur-unsur
kebudayaan yang tidak dapat ditinggalkan oleh manusia sebagai makhluk yang
mempunyai dinamika menghasilkan kebudayaan yang di sesuaikan dengan lingkungan
secara luas, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan dari kelakuan manusia
yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan sebagai belajar yang
semua tersusun ke dalam kehidupan bermasyarakat.
II. Pembahasan
Makna Selikuran
Dalam ajaran islam, diadakan malam kemuliaan di 10
hari terakhir bualan ramadhan.Waktu yang disebutkan malam lailatul qodar itu
jatuh antara malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir. Malam lailatul qodar
disebut juga sebagai malam seribu bulan. Pada malam ini pula, nabi Muhammad
dahulu menerima Al Quran yang di turunkan oleh Allah. untuk menyambut malam
ini, umat islam memperbanyak amal dan ibadah karena diyakini pula pahala yang
didapat seribu kali lebih banyak dari hari-hari biasa.
Malam selikur atau kadang dikenal juga dengan
selikuran, diyakini telah ada sejak awal penyebaran agama islam di tanah jawa,
tradisi ini diperkenalkan oleh walisongo sebagai metode dakwah islam yang
disesuaikan dengan budaya jawa, ada yang mengartikan selikur sebagai sing linuwih
ing tafakur dapat diartikan sebagai ajaran untuk lebih giat mendekatkan
diri pada allah. karena itu tradisi malem
selikur diharapkan menjadi sarana pengiangat untuk memperbanyak sedekah,
merenung dan intropeksi diri, juga mengingkatkan ibadah-ibadah lain dalam
sepuluh hari terakhir ramadhan. [2]
Dalam bahasa jawa,
malem selikur berasal dari kata malem
yang berarti malam dan selikur berarti dua puluh satu. Dua puluh stau yang menace pada tanggal 21.
Tanggal 21 menjadi hari pertama dari sepertiga akhir bulan puasa, awal
penantian bagi malam Lailatul Qadar yang akan tiba pada salah satu malam pada
tanggal ganjil periode tersebut. Pada
masalalu, penyelenggaraan malam selikur jauh lebih besar dubanding pada saat
ini. [3]
Acara malam selikuran selesai tidak lama setelah adzan
maghrib petanda buka puasa berkumandan
dalam penggalan hijriyah ataupun jawa yang didasarkan pada penagalan bulan
perhantian hari dimulai pada saat matahari tenggelam sepenuhnya . maka dapat
dikatakan, acara ini berakhir pada awal malam tanggal 21, atau bisa juga
disebut malem selikur .
Masjid Gringsing yang terletak dikabupaten batang,
juga melaksakan tradisi malam selikuran sebagaimana dikota-kota yang lain,
masyarakat yang mengikuti tradisi ini di masjid gringsing tidak hanya
masyarakat wilayah kabupaten batang. Namun banyak juga masyarakat yang berasal
dari luar gringsing.
Selikuran dalam perspektif islam adalah berawal dari
rasulullah Saw yang beri’tikaf disepuluh hari terakhir bulan ramadhan, nabi Saw
bersabda,’’carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan “(Bukhari dan Muslim). Dan imam Syafii berkata,” menurut
pemahamanku, nabi Saw menjawab sesuatu yang ditanyakan pada Nabi Saw : apakah
kami mencarinya dimalam ini? , beliau menjawab:”carilah dimalam tersebut “(Al-Baghawi
dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dipastikan bahwa tradisi selikuran memang
terdapat perpaduan ( sinkretisme ) nilai-nilai islam melalui budaya jawa,
sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan islam pada masa itu,
dan tetap berjalan hingga hari ini.[4]
Seiring perjalanan, banyak warna dan bentuk
pelaksanaan malam selikuran ini misalnya, upacara malam selikuran dilaksanakan
masyarakat pedesaan yang akrab dengan adat jawa, yaitu masyarakat desa
melaksanakan ritual kenduri dirumah setiap keluarga. Kenduri dengan hidungan
nasi dan lauk-pauk yang disebut Rasulan ada juga acara khataman, yaitu sebuah
acara do’a bersama sebagai tanda selesainnya membaca Al-quran. Dan masih banyak
lagi acara-acara yang dilakukan pada malam selikuran tentu kegiatan tersebut
sebagai upaya memperbanyak peribadan kepada Allah dan penyucian diri.
Dengan selikuran Lailatul Qadar tersebut, diisi dengan
memperbanyak ibadah yang terdiri dari Dzikir-Dzikir, membaca Al-Qur’an, berdoa
meminta ampunan dan rahmat yang dipilih menjadi muslim yang diperlukan untuk
bantuan mendapatkan keutamaanya adalah manfaat melebihi seribu bulan.[5]
Pelaksanaan tradisi selikuran, terdapat beberapa
amalan keagamaan yang pada hakikatnya bernilai sebagai ibadah untuk
meningkatkan keimanan terhadap sang pencipta antara lain :
1) Berdoa dalam tradisi selikuran terdapat doa-doa yang
ditunjukan kepada Allah swt dan nabi Muhammad swt
2) Silaturahmi
pada saat acara tersebut untuk mengisi malam selikuran di masjid
3) Membaca
Al qur’an pada malam selikuran juga membaca Al qur’an diantaranya Al-Fatihah,
Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan Yasin yang di baca bersama-sama
4) Membaca
sholawat pada malam tersebut juga terdapat sholawat pada Nabi Muhammad saw
5) Sedekah
juga terdapat sedekah yang beberapa makanan yang dimakan bersama setelah
selesai pelaksanaan tradisi tersebut.
Tradisi selikuran sebagai
sarana Sosialisasi
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan hidup tanpa
adanya bantuan orang lain dan kita sering tidak sadar bahwa hidup kita di dapat
dari pemberian orang lain [6]
manusia dikatakan makhluk sosial yaitu makhluk yang di dalam hidupnya tidak
bisa melepas diri dari pengaruh manusia lain, manusia dikatakan makhluk sosial,
juga dikarenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan ( interaksi )
dengan orang lain. Ada kebutuhan sosial untuk hidup berkelompok dengan orang
lain, sering kali didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan masing-masing,
Dalam tradisi selikuran ini mengandung nilai-nilai
sosial, pengertian dari sosial yaitu segala sesuatu mengenai masyarakat, dan
peduli pada kepentingan umum. Secara tidak langsung dalam tradisi selikuran
dapat menimbulkan rasa kekerabatan yang terjalin antara masyarakat yang
mengikuti acara tersebut, dari perkumpulan ini hubungan sosial mungkin akan
terjalin, karena tidak menutup kemungkinan ketika perkumpulan terjadi.
Makna sosial yang terdapat dalam tradisi ini adalah
nilai yang saling mengasihi dengan kegiatan beramal, bagi tuan rumah yang
mengadakan tradisi tersebut, berabggapan dengan beramal rezeki tidak akan
berkurang, tetapi akan tumbuh oleh Allah, dari tradisi ini juga secara tidak
berlangsung akan mengajarkan para pemuda terhadap kepedulian antara sesama
masyarakat.
Tradisi Masjid Gringsing
Tradisi selikuran
ini biasanya masjid gringsing melaksanakan sholat tasbih, sholat sunnah muthlaq
secarah berjamaah dalam waktu tengah malam mereka berbondong-bondong mengikuti acara tersebut dengan senangnya
menyambut malam Lailatul Qadar. tidak hanya masyarakat gringsing yang memenuhi
masjid tersebut banyak orang yang dari luar gringsing yang melaksanakan ibadah
masjid gringsing.
Mengenai kegiatan yang mengiringi selikuran,
masyarakat yang sudah berada di masjid sebelum maghrib biasanya sambil menunggu
buka puasa ada yang mengikuti ceramah pengajian rutin sebelum maghrib yang
diadakan oleh takmir masjid, setelah berbuka masyarakat mengikuti jamaah sholat
maghrib, sholat isya’ dan terawih, setelah solat terawih, sebagian masih berada
diserambi masjid untuk melaksankan berbagai macam ibadah, seperti mengikuti
tadarus yang diadakan takmir masjid ada juga yang pulang dan kembali lagi pada
tengah malam untuk melaksanakan sholat malam lailatul qodar.
Malam Lailatul Qadar dimulai pukul 00.30 WIB sampai
jam 01.00 WIB. Pada malam selikuran ini, masjid dibuka pada pukul 23.00 WIB
setelah sebelumnya dikosongkan sehabis jamaah sholat terawih, dengan alasan
untuk memfokuskan kegiatan tadarus yang diadakan diserambi masjid, begitu
masjid dibuka, jamaah yang telah berdatangan segera memenuhi ruangan utama
masjid dan biasanya mereka melakukan sholat Tahiyatul
Masjid kemudian tadarus Al-Qur’an. Pada pukul 00.00 WIB ruangan utama
masjid terisi penuh sehingga jamaah melimpa keserambi, ke halaman masjid.
Pada pukul 00.30 WIB kyai pemimpin datang, kemudian
memberikan pengarahan selama 30 menit, materi pengarahan biasanya mengenai
keutamaan Lailatul Qadar, kenudian ciri-ciri
malam lailatul qadar, tidak lupa pula diterangkan
mengenai kaifiat ( tata cara )
sholat-sholat sunnah yang akan dilaksanakan pada malam itu.
Kesimpulan
Malam selikuran adalah salah satu tradisi orang jawa.
Biasanya orang jawa melaksanakan atau
memperingati tradisi tersebut pada 21 Ramadhan atau lebih dikenal dengan
sebutan malam Lailatul Qadar. Tradisi selikuran dilaksanakan sebagai rasa
bersyukur atas tibanya ke-21 bulan ramadhan rasa syukur ini pantas diwujudkan
dalam ritual karena malam ke-21 menandakan dimulainya menerima Lailatul Qadar
yang sangat dinantikan oleh semua orang yang berpuasa .
Dengan selikuran
Lailatul Qadar tersebut, diisi dengan memperbanyak ibadah yang terdiri dari dzikir-dzikir,
membaca Al-Qur’an, berdoa meminta ampunan dan rahmat yang dipilih menjadi
muslim yang diperlukan untuk bantuan mendapatkan keutamaannya adalah manfaat
melebihi seribu bulan.
Makna sosial yang terdapat dalam tradisi ini adalah
nilai yang saling mengasihi dengan kegiatan beramal, bagi tuan rumah yang
mengadakan tradisi tersebut, berabggapan dengan beramal rezeki tidak akan
berkurang, tetapi akan tumbuh oleh Allah, dari tradisi ini juga secara tidak
berlangsung akan mengajarkan para pemuda terhadap kepedulian antara sesama
masyarakat.
Daftar
Pustaka
Prof.Dr. Sri
Suhandjati, Islam dan Budaya Jawa Revilisasi Kearifan Lokal. Semarang.CV.Karya
Abadi Jaya, 2015 cet,1
Paul B.Hartory Chester L. Hunt, Sosiologi, Terj.
Drs.Aminuddin Ram, M Ed. Dra. Tita Sobari, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999
H. Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang- Orang NU,
Pustaka Pesantren, Yogyakarta,
[1] Carlie pamboedi, 2014, nilai-nilai keislaman
[2] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa,Jakarta : Teraju,2003,Hlm
41-42
[3] Sidi Gazalda, Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan, ( Jakarta :
tintamas, 1967 ), hlm. 47
[4]Koentjaraningrat: Kebudayaan Jaw, Hlm 311
[5] Ibid, 146-148, hal
[6] Paul B.Hartory Chester L. Hunt, Sosiologi, Terj. Drs.Aminuddin Ram,
M Ed. Dra. Tita Sobari, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999
Komentar
Posting Komentar