“Unsur Islam dan Budaya Jawa Tentang Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga Dalam Acara Grebeg Besar di Desa Kadilangu Kabupaten Demak”
“Unsur Islam dan Budaya
Jawa Tentang Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga Dalam Acara Grebeg Besar di Desa
Kadilangu Kabupaten Demak”
Nama : Ardianto Rudi Hartono
Demak merupakan sebuah wilayah
pesisir utara jawa sekaligus sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, di
samping sebagai pusat pemerintahan, Demak sekaligus menjadi pusat penyebaran
agama Islam di pulau Jawa. Berbagai upaya dilakukan oleh para Wali dalam
menyebarluaskan agama Islam.
Menurut cerita tradisional atau babad,
orang yang mendapat gelar “Wali” adalah yang membawa atau menyebarkan Islam di
daerah pesisir. Peranan Wali tidak hanya menyebarkan Islam, tetapi juga sebagai
dewan penasehat dan pendukung raja.[1]
Masyarakat Jawa memandang Raja
sebagai penjelmaan dewa, sehingga umumnya, rakyat akan mengikuti agama rajanya.
Ada kepercayaan bahwa dengan adanya ikatan dengan raja atau penguasa, maka
rakyat akan memperoleh berkah spiritual maupun material dan perlindungan baik
secara langsung maupun tidak langsung dari raja.[2]
Adanya peran penting raja bagi pembinaan keagamaan rakyatnya, mendorong para
Wali untuk mengangkat Raden Patah sebagai Raja di kerajaan Demak.[3]
Berbagai halangan dan rintangan
menghadang, salah satu di antaranya adalah masih kuatnya pengaruh Hindu dan Budha
pada masyarakat Demak pada waktu itu. Pada akhirnya agama Islam dapat diterima
masyarakat melalui pendekatan-pendekatan para Wali dengan jalan mengajarkan
agama Islam melalui kebudayaan atau adat istiadat yang telah ada.
Pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Patah dan Sunan
Kalijaga sebagai penasehat spiritualnya beliau menyelenggarakan Grebeg sebagai
media da’wah yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg Syawal dan Grebeg Besar.
Namun, yang sampai sekarang tetap dilestarikan adalah budaya Grebeg Besar.
Sementara Grebeg lainnya yang masih dilestarikan di Keraton Solo, Yogyakarta
dan Cirebon.[4]
Konon, Grebeg telah ada sejak 1428 tahun saka, atau
1506 Masehi pada zaman Majapahit. Para Raja Jawa secara turun temurun
menyelenggarakan upacara pengorbanan dengan menyembelih seekor kerbau jantan
yang masih liar untuk dipersembahkan sebagai sesajian kepada dewa atau arwah
para leluhur. Upacara Korban merupakan upacara kenegaraan yang disebut Rajaweda
dengan harapan mendapatkan kemakmuran dan dijauhkan dari segala malapetaka.
Pada jaman Kesultanan Demak Bintoro, yang diperintah Raden Patah, kebiasaan
Raja Jawa mengadakan upacara Rajaweda bertentangan dengan ajaran Islam.
Akhirnya, upacara tersebut ditiadakan. Para Wali mengambil kebijaksanaan Grebeg
dilestarikan sebagai salah satu jalan pendekatan dengan umat agama sebelumnya
dengan mengubah corak dan tatacaranya menurut Islam.[5]
Grebeg
Besar Demak merupakan sebuah acara
atau tradisi budaya tradisional yang menjadi salah satu ciri khas Demak.
Tradisi Grebeg Besar Demak ini berlangsung setiap tahun pada tanggal 10
Dzulhijah saat Idul Adha.
Dimeriahkan dengan karnaval kirab budaya yang dimulai dari Pendopo Kabupaten
Demak hingga ke Makam Sunan
Kalijaga yang terletak di Desa Kadilangu,
jaraknya sekitar 2 kilometer dari tempat mulai acara.
Untuk itu setiap tanggal 10 Dzulhijah
umat Islam memperingati Hari Raya Idul Adha dengan melaksanakan Salat Id dan dilanjutkan dengan
penyembelihan hewan qurban kemudian diadakan Grebeg
Besar Demak. Pada waktu itu, di lingkungan
Masjid Agung Demak diselenggarakan pula keramaian yang disisipi dengan
syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga.
Prosesi Grebeg Besar Demak di
antaranya adalah ziarah
ke makam Sultan-Sultan Demak & Sunan Kalijaga, Pasar
Malam Rakyat di Tembiring Jogo Indah,
Selamatan
Tumpeng Sanga, Salatt Id, Kirab
Budaya dan Penjamasan Pusaka Peninggalan Sunan Kalijaga
yang meliputi; (Kutang Ontokusuma, Keris Kyai Crubuk dan keris Kyai Sirikan).[6]
Tentunya
dalam penjamasan pusaka Sunan Kalijaga terdapat kepercayaan akan makna dalam
setiap tahapannya, banyak masyarakat yang belum mengerti tentang tradisi ini,
di artikel ini akan dijelaskan mengenai unsur Islam dan Jawa yang ada dalam
ritual penjamasan pusaka Sunan Kalijaga. Lalu bagaimana unsur Islam dan Jawa
dalam penjamasan pusaka Sunan Kalijaga?
Susunan Acara Grebeg
Besar Demak
1. Diawali
dengan saling bersilaturahmi antara pihak Kasepuhan Kadilangu dengan Bupati dan
Wakil Bupati Demak, beserta jajaran Muspida Demak. Bupati Demak bersama
rombongan bersilaturahmi ke Kasepuhan Kadilangu yang ditempatkan di Pendopo
Noto Bratan Kadilangu Demak. Selanjutnya, sesepuh Kadilangu dan keluarga
Kasepuhan bersilaturhmi ke Kabupaten Demak dan biasanya mereka diterima Bupati
di ruang tamu Kadipaten Demak.
2. Setelah
silaturahmi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak dan jajaran pemerintah
Kabupaten Demak ziarah ke makammakam leluhur Sultan Bintoro di kompleks Masjid
Agung Demak, dan dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Kalijaga.
3. Kemudian
Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak meresmikan pembukaan keramaian Grebeg
Besar di lapangan Tembiring Jogo Indah.
4. Pada
malam menjelang Idul Adha diadakan upacara Tumpeng Walisongo/Sembilan yang
menggambarkan jumlah 9 wali (walisongo), diserahkan Bupati Demak kepada Takmir
Masjid Agung Demak untuk dibagikan kepada para pengunjung. Selamatan Tumpeng
sembilan atau tumpeng songo, dimulai dari Pendopo Kabupaten Demak, sebelumnya
diadakan upacara pemberangkatan tumpeng sembilan menuju Masjid Agung Demak,
dengan diiringi para santri, seluruh Muspida, peleton pramuka dengan diiringi
kesenian terbangan. Arak-arakan tumpeng songo dari Pendopo Kabupaten Demak
menuju Masjid Agung Demak mengambil route dari pendopo ke jalan kabupaten terus
ke alun-alun dan berakhir di Masjid Agung Demak.
5. Malamnya
juga di Desa Kadilangu dilaksanakan Selamatan Ancakan. Selamatan ini bertempat
di serambi tengah atau peringgitan. Adapun yang hadir dalam selamatan ini
adalah ahli waris Kanjeng Sunan Kalijogo dari berbagai daerah berkumpul di
Kadilangu untuk menghadiri upacara jamasan pusaka Sunan Kalijogo. Di samping itu,
juga para undangan terutama para santri yang datang di daerah sekitar Demak.
Setelah semua keluarga dan para tamu undangan berkumpul di peringgitan, pada
pukul 20.00 WIB nasi ancak dikeluarkan untuk dido’akan dalam selamatan ancak.
Selamatan ancak ini diawali dengan prakata dari sesepuh ahli waris keluarga
Kanjeng Sunan Kalijogo Kadilangu. Adapun isi prakata tersebut antara lain
mengatakan bahwa tujuan dari selamatan ancak ini adalah untuk memohon kepada
Allah SWT serta pada leluhurnya agar dalam pelaksanaan jamasan pusaka besok
dapat berjalan dengan selamat.
6. Tepat
pada tangaal 10 Dzulhijjah diadakan acara Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga yang
dimulai setelah selesai Sholat Idul Adha. Penjamasan dimulai dari Pendopo
Kabupaten Demak dengan penyerahan minyak jamas oleh Bupati kepada Manggala
Prajurit yang akan membawanya ke Kadilangu dengan dikawal prajurit patang
puluhan yang berjalan kaki dengan berjarak 2 Km. Bupati sekeluarga beserta para
pejabat Pemerintah kabupaten Demak turut mengantar minyak jamas dengan menaiki
kereta Kencana. Sesampainya di Kadilangu, minyak jamas diterima oleh Sesepuh
Kadilangu selanjutnya digunakan untuk menjamas Kotang Ontokusumo, Keris Kyai
Sirikan dan Keris Kyai Crubuk.[7]
7. Selamatan
Riyayan. Ketika para petugas penjamasan sampai di Dalem Kesepuhan, mereka
beristirahat sebentar, sebelum mereka menerima warga masyarakat yang ingin
berjabatan tangan guna ngalap berkah. Sementara para petugas beristirahat, para
tamu undangan dan keluarga Kadilangu melaksanakan selamatan riyayan (selamatan
Hari Raya) yang telah dipersiapkan sejak pagi hari. Selamatan riyayan ini
dimulai dengan do’a bersama yang dipimpin oleh imam Masjid Sunan Kalijogo
Kadilangu. Selamatan ini dimaksudkan sebagai ucapan teriam kasih dan syukur
atas terlaksanya penjamasan dengan selamat dan lancar.
8. Acara
Jabatan Tangan. Seusai selamatan riyayan selesai, kemudian para petugas
penjamas, yaitu sesepuh yang didampingi oleh dua orang petugas penjamas, telah
siap ditengah pendapa dengan duduk di atas kursi yang telah disediakan. Mereka
ini akan menerima jabatan tangan dari para pengunjung yang telah menunggu
dengan penuh sabar sejak pagi hari. Dengan tertib dan satu persatu para
pengunjung itu menjabat tangan sesepuh dan pembantunya, untuk ngalap berkah dan
mohon restu agar segala apa yang dicita-citakan bisa terkabul.
Arti dan Bentuk Pusaka (Kyai
Kutang Antakusuma, Keris Kyai Crubuk dan Keris Kyai Sirikan)
1. Kyai
Kutang Antakusuma
Kata
kyai, yang bisa disingkat “ki” berasal dari “iki wai” yang berarti yang
terpilih. Dengan demikian, kyai dianggap istimewa karena mereka dipilih oleh
Allah. (Lukens-Bull, 2005: 95). Ketika berbicara tentang kyai, kebanyakan
literatur menghubungkan kata tersebut dengan pesantren karena dua kata ini
memiliki hubungan yang erat, kyai merupakan unsur penting pesantren (Dhofier,
1982: 60).
Sementara
sangat jarang orang disebut kyai tanpa memiliki pesantren. Di Jawa, kata kyai
bisa digunakan untuk beberapa hal. Istilah tersebut tidak selalu mengacu
pemimpin pondok pesantren tetapi juga digunakan untuk memanggil orang yang
sudah tua dan juga harta pusaka (Lukens-Bull, 2005: 96; Puspaningrat, 1996: 6,
20; Wirosardjono, 1993:59-68).
Dalam pengertian yang terakhir inilah
kata kyai dalam Kyai Kutang Antakusuma, Kyai Crubuk dan Kyai Sirikan digunakan.
Meskipun tak seorang pun tahu persis seperti apa bentuk dan warna Kyai Kutang
Antakusuma, ada keyakinan bahwa Kutang Antakusuma 5 adalah pemberian Nabi
Muhammad kepada Sunan Kalijaga. Meskipun demikian, banyak sumber yang
mengatakan bahwa Kutang Antakusuma adalah sejenis baju tanpa lengan, yang dalam
bahasa Jawa disebut kutang. Kutang itu sendiri berasal dari “sikute diutang”.
Cerita tentang Kutang Antakusuma selanjutnya tidak terlepas dari pembangunan
Masjid Agung Demak. Menurut Babad Tanah Jawa, begitu pembangunan Masjid Agung
Demak selesai dan orang-orang selesai melaksanakan sholat subuh, Sunan Bonang
melihat sebuah bungkusan aneh tergantung di atas mihrab. Sunan Bonang kemudian
memerintahkan Sunan Kalijaga mengambilnya.
Menurut kepercayaan setempat, begitu
membuka bungkusan tersebut, Sunan Bonang mendapatkan sebuah baju dan surat yang
mengatakan bahwa baju tersebut berasal dari Nabi Muhammad dan diberikan kepada
Sunan Kalijaga karena dia telah membetulkan arah Qiblat. Semua wali mencobanya
tapi tak seorang pun pas memakainya kecuali Sunan Kalijaga. Seperti itulah
gambaran fisik Kutang Antakusuma. Widji Saksono memiliki pandangan yang lain.
Mengutip R. Tanoyo dan Atmodarminto, Widji beranggapan bahwa Antakusuma berarti
kebaikan yang tak terbatas karena anta berarti tak terhitung atau tak terbatas,
sedang kusuma berarti baik, harum dan bunga. Jadi Antakusuma dianggap lambang
dari ihsan sebagai buah dari takwa. Mengenai warnanya, dikatakan
berwarna-warni, tergantung bagaimana orang melihatnya. Atmodarminto selanjutnya
menafsirkan Antakusuma sebagai sikap terpuji terhadap setiap orang tanpa
memperhatikan status dan kedudukannya. Lebih lanjut ia menafsirkan bahwa
Antakusuma merupakan simbol penguasa yang harus memiliki berbagai sifat, dia
harus mampu melindungi dan mengatur orang dengan bermacam ragam karakter, adat
istiadat dan kepercayaan. (Saksono, 1995: 131).
2. Keris
Kyai Crubuk
Tidak seperti lazimnya keris (yang
biasanya berlengkung ganjil, misalnya 9, 11 dan 13), Kyai Crubuk berbentuk
seperti pisau yang bisa digunakan untuk menyembelih ayam. Menurut cerita
setempat Kyai Crubuk ini dibuat oleh Mpu Dewayasa II pada masa Prabu
Dwastarata, Raja Purwacarita, sekitar tahun 729 M. Pada waktu itu Purwacarita
dilanda berbagai macam bencana seperti wabah penyakit, kelaparan dan
kekeringan. Sang Raja kemudian memerintahkan Mpu Dewayasa untuk membuat keris
yang bisa digunakan mengusir segala jenis wabah tersebut. Begitu Mpu selesai,
Raja datang bersama pasukannya mengambil pesanannya. Mpu Dewayasa kemudian
menyerahkan sebuah peti dengan keris di dalamnya yang segera dibuka oleh Raja.
Keris yang akhirnya diberi nama Kyai Crubuk inilah yang kemudian mampu mengusir
wabah yang melanda Purwacarita.
3. Keris
Kyai Sirikan
Kyai Sirikan adalah keris pusaka
berlekuk sembilan. Keris ini juga dijamas di cungkup Sunan Kalijaga pada saat
Ritual penjamasan pusaka 10 Dzulhijjah di cungkup Sunan Kalijaga. Hanya bedanya
bila dua pusaka yang lain disimpan di kotak di atas makam Sunan kalijaga, Kyai
Sirikan dibawa sesepuh dari Natabratan. Meskipun Kyai Sirikan disimpan di
Natabratan tapi penjamasannya harus dilaksanakan di Cungkup Sunan Kalijaga dan
juga harus dengan mata tertutup. Selain Kyai Sirikan, keris lain tak boleh
dibawa masuk ke makam Sunan Kalijaga.
Larangan tersebut bukan atas perintah
siapa-siapa, bahkan Sunan Kalijaga sekalipun. Semua itu karena adanya makam Mpu
Supa[8].
Menurut cerita setempat, bila sebuah keris (selain Kyai Sirikan) dibawa masuk
ke makam Sunan Kalijaga maka keris tersebut akan kehilangan tuahnya karena ia
tak akan mampu menandingi kekuatan Mpu Supa. Oleh karena itu pengunjung
disarankan meninggalkan kerisnya di pengurakan[9] di
bawah pengawasan pegawai makam selama mereka melakukan ziarah ke makam Sunan
Kalijaga.
Prosesi Penjamasan Pusaka
Pada dasarnya, Penjamasan Pusaka bukanlah sebuah
ritual yang diselenggarakan hanya dalam satu hari, melainkan sebuah rangkain
kegiatan panjang yang sudah diawali beberapa bulan sebelumnya. Fase Penjamasan
tersebut adalah persiapan, pelaksanaan dan setelah pelaksanaan.
1. Tahap
Persiapan
Tahap
persiapan sebenarnya merupakan rangkaian kegiatan yang sudah dimulai sejak
sebulan sebelumnya untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan proses
Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga pada 10 Besar (Dzulhijjah) nanti. Ada tiga hal
penting yang terjadi selama tahap ini, yaitu pembuatan lisah klentik, lisah
jamas dan ancakan. Lisah klentik (minyak kelapa) merupakan unsur penting dalam
prosesi ini karena ia bagian dari lisah jamas di mana proses pembuatannya harus
mematuhi beberapa aturan. Lisah ini harus dibuat dari sembilan buah kelapa yang
mangklung ke arah timur laut. Alasan pemilihan buah kelapa jenis ini adalah
bahwasanya buah kelapa yang mangklung ke arah timur laut itu lebih sehat karena
menerima lebih banyak sinar matahari sehingga menghasilkan minyak yang
berkualitas lebih baik, lebih jernih, dan lebih bersih.
Selain
itu, buah kelapa yang akan dijadikan bahan pembuatan lisah ini tidak boleh
menyentuh tanah sama sekali, sehingga cara memetiknya pun menggunakan tali. Hal
tersebut merupakan sebuah simbol kehati-hatian, tidak boleh ceroboh. Lisah
jamas adalah bagian yang sangat penting dalam prosesi ini karena dengan lisah
inilah pusaka-pusaka Sunan Kalijaga dijamas. Lisah ini merupakan campuran dari
bermacam-macam lisah, yakni lisah klentik, lisah, lisah sepuh, lisah garu,
lisah cendana, lisah kenanga, lisah mlati dan lisah klentik pemberian Pengageng
Parentah[10]
Surakarta Hadiningrat. Selain lisah-lisah di atas, ada juga lisah dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Demak yang akan diserahkan oleh Bupati pada pagi
hari tanggal 10 Besar dalam sebuah upacara serah terima.
Proses
pencampuran semua jenis lisah ini dilakukan oleh nDara Tini (Ny. Supratini
Mursidi), satu-satunya wanita sesepuh yang dianggap pantas melakukan tugas
tersebut, karena beliau cukup lama menjalankannya. Selain itu, nDara Tini juga
dianggap satu-satunya orang yang memenuhi syarat dan peraturan, selain beliau
memang belum mendapatkan penggantinya. Dalam menjalankan tugasnya, nDara Tini
dibantu oleh sejumlah orang yang sudah tua. Satu hal yang perlu dicatat di sini
adalah bahwasanya semua orang yang terlibat dalam prosesi harus dalam kondisi
“suci”; maksud “suci” di sini adalah tidak lagi mengalami menstruasi. Itulah
mengapa hanya wanita-wanita tua saja yang terlibat dalam proses ini.
Hal
penting ketiga dalam fase persiapan adalah pembuatan ancak dan ancakan yang
akan dibahas pada bagian belakang.
2. Tahap
Pelaksanaan
Inti
dari Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga terjadi di dalam cungkup makam Sunan
Kalijaga. Penjamasan dilakukan oleh sesepuh Kadilangu dibantu oleh juru kunci
astana ageng (makam Sunan Kalijaga) dan juru kunci astana Gendok (makam
Pangeran Wijil II). Selain mereka bertiga, masih ada 6 orang lagi yang terlibat
dalam penjamasan di makam Sunan Kalijaga yang ditunjuk oleh sesepuh Kadilangu
setiap tahunnya.
Waktu
melakukan penjamasan, kesembilan orang yang tergabung dalam tim penjamas ini
harus dalam kedaan suci lahir dan bathin. Oleh karena itu, sebelum melakukan
penjamasan mereka melakukan ritual puasa; ada yang puasa mutih selama 40 hari,
puasa sebulan ditambah 3 hari puasa mutih dan puasa senin-kemis dan dua hari
menjelang penjamasan (karena tidak mampu puasa mutih 40 hari).
Selain
ketentuan di atas, masih ada lagi aturan yang harus dipatuhi oleh tim penjamas
pusaka Sunan Kalijaga dalam menjalankan tugasnya. Pertama, mereka harus
memejamkan mata saat melakukan penjamasan. Tak seorang pun boleh membuka mata,
karena diyakini bila pantangan tersebut dilanggar, maka yang bersangkutan akan
mendapat wala. Kedua, proses penjamasan pusaka harus sudah selesai sebelum
waktu shalat Dzuhur tiba. Bila waktu Dzuhur tiba sementara penjamasan belum
selesai, maka penjamasan harus ditunda dan dilanjutkan lagi setelah shalat
Dhuhur.
3. Tahap
Setelah Penjamasan
Begitu
penjamasan usai dan tim penjamas keluar dari cungkup astana ageng, sesepuh
Kadilangu “disongsong” oleh ribuan pengunjung di luar. Mereka berebut
bersalaman dengan sesepuh berharap mendapat berkah dari penjamasan pusaka ini.
Oleh karena itu, sesepuh harus dikawal sampai nDalem Natabratan. Di tempat inilah
sesepuh meluangkan waktu, menyambut para pengunjung yang ingin bersalaman
dengannya.[11]
Kepercayaan Masyarakat
dan Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Penjamasan Pusaka
1. Nilai
Religius
Pesan-pesan
religious yang terkandung dalam Penjamasan Pusaka ini dapat diungkap dari lagu
Ilir-Ilir dan ancakan. Lagu Lir-Ilir yang diduga kuat karangan Sunan Kalijaga
ini merupakan lagu “wajib” dalam rangkaian acara Penjamasan Pusaka. Lagu ini
dikumandangkan sesaat sebelum ancakan, waktu sesepuh dan ahli waris menerima
abon-abon dari Pengageng Parentah dari keraton Surakarta dan sepanjang
perjalanan dari Natabratan menuju cungkup Sunan Kalijaga.[12]
2. Motif
Ekonomi
Yang
dimaksud motif ekonomi (profit motive) di sini adalah keuntungan finansial yang
diperoleh mereka yang ikut berpartisipasi dalam Penjamasan Pusaka baik secara
langsung maupun tidak langsung. Profit motive inilah yang melatarbelakangi
Pemerintah Daerah Kabupaten Demak terlibat dalam Penjamasan Pusaka sunan
Kalijaga yang semula diselenggarakan secara mandiri oleh ahli waris Sunan
Kalijaga. Demi memajukan wisata yang ujung-ujungnya menambah pemasukan Daerah,
Penjamasan Pusaka dimasukkan menjadi salah satu agenda penting dalam rangkaian
Grebeg Besar di Demak.
Unsur
ekonomi dalam penyelenggaraan Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga ini mulai
terlihat jelas sejak awal ahir tahun 70-an saat Pemerintah Kabupaten Demak
secara langsung terlibat dalam penyelenggaraan Penjamasan Pusaka Sunan
Kalijaga. Sebelumnya, Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga menjadi tanggung jawab
penuh keluarga ahli waris Sunan Kalijaga. Namun sejak tahun 1976, Bupati Demak
Drs. Winarna Adisubrata menjadikan Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga menjadi
salah satu bagian dari keseluruhan rangkaian Grebeg Besar di Demak. Hal itu
dilakukan dengan tujuan memajukan objek wisata, menarik sebanyak-banyaknya
pengunjung sehingga pendapatan Daerah Demak meningkat.
3. Nilai
Sosiologis
Selain
mengandung pesan-pesan religious dan nilai ekonomis, Penjamasan Pusaka Sunan
Kalijaga juga mengandung nilai-nilai sosiologis. Nilai sosiologis dimaksud
adalah penguatan ikatan kekeluargaan antar ahli waris Sunan Kalijaga. Semua
anggota keluarga ahli waris Sunan Kalijaga akan berkumpul di Kadilangu. Mereka
akan mengunjungi keluarga mereka di Kadilangu dan tinggal di sana sampai
Penjamasan Pusaka berahir. Hubungan yang semula sudah mulai renggang karena
jarang bertemu akan terbina lagi.[13]
[1] Sri Suhandjati, Islam dan
Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal, Semarang:CV Karya Abadi Jaya,
2015, hlm 83-84.
[2] Robert Jay, Religion and
politics in Rural Central Java, da)am Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal, Semarang:CV
Karya Abadi Jaya, 2015, hlm 94-95.
[3] Sri Suhandjati, Op.Cit., hlm 95.
[5] Nur Ahmad, Jurnal “Perayaan
Grebeg Besar Demak Sebagai Sarana Religi Dalam Komunikasi Dakwah”.
[7] Sumber : Matahari Terbit di Glagahwangi, 2008
[8] Untuk memasuki cungkup Sunan Kalijaga, seseorang harus melewati
makam Mpu Supa yang berada di luar cung- kup. Alasan mengapa Mpu Supa
dikuburkan di luar cungkup, tidak berdampingan dengan istrinya, adalah
bahwasanya Mpu Supa tidak sederajat dengan Dewi Rasa Wulan, istrinya, adik
Sunan Kalijaga. Dewi Rasa Wulan dari golongan ningrat sedang Mpu Supa berasal
dari kalangan sudra.
[9] Pengurakan adalah sebuah tempat di depan makam Sunan kalijaga
dimana Juru Kunci dan pegawai makam meneri- ma tamu. Di tempat inilah para
pengunjung mendaftar dan memberitahu Juru Kunci maksud mereka berkunjung.
[10] Pengageng Parentah adalah rombongan dari Surakarta yang membawa perintah
penguasa Surakarta untuk menyerahkan abon-abon (bahan untuk penjamasan pusaka)
ke Kadilangu. Rombongan ini terdiri dari dua puluh prajurit yang dipimpin oleh
seorang komandan, tujuh abdi dalem perempuan, sepuluh ulomo dan beberapa
anggota keluarga kerajaan.
[11] Setiyarini, 2011, Jurnal “Ritual
Grebeg Besar di Demak Kajian Makna, Fungsi dan Nilai”.
[12] Beberapa sumber mengatakan bahwa lagu Ilir-Ilir dikarang oleh Sunan
Giri yang juga salah satu anggota Walisanga. (Bandingkan: Marhiyanto, 2000:
142; “Merindukan Kejayaan De- mak Bintoro” dalam Suara Merdeka, Minggu, 27
March 2005; www. Jawapalace.org/walisanga2. htm)
[13] Setiyarini, 2011, Jurnal “Ritual
Grebeg Besar di Demak Kajian Makna, Fungsi dan Nilai”.
Komentar
Posting Komentar