RELASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL TENTANG TRADISI NYADRAN DI DESA PONGANGAN KABUPATEN SEMARANG

RELASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

TENTANG TRADISI NYADRAN DI DESA PONGANGAN KABUPATEN

                                                         SEMARANG                      

Muna Aska Lutfia


Studi Agama Agama

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Email mnaskalutfia@gmail.com

 

Abstrak

Artikel ini merupakan deskrpsi tentang upacara Nyadran yang dilakukan di Desa Ponganga Gunung pati Semarang. Biasanya warga melakukan upacara ini sebelum datangnya bulan suci Ramadhan , tepatnya pada bulan Sya’ban atau biasa disebut Ruwah. Dampak upacara nyadran ini dapat dirasakan oleh masyarakat desa Ponganan , prosesi ini meliputi nyekar , membersihkan makam orang terpandang atau orang yang berpengaruh dalam masa penyiaran agama Islam sebagai wujud balas rasa atas pengorbanan leluhur baik secara material maupun nonmaterial. Pelestarian budaya luhur ini adalah salah satu wujud pelestarian budaya adhilubung peninggalan nenek moyang. Lebih dari itu nyadran dijadikan sebagai ajang silahturahmi.

 

 

A. Pendahuluan

Islam mengajarkan untuk mengenal , memahami dan menghargai budaya lokal (QS: Al Hujurat:13). Rasulullah telah memberikan contoh tentang hidup ditengah masyarakat yang majemuk dengan perbedaan agama maupun budayanya. Tiap suku mempunyai adat kebiasaan yang berbeda dengan suku lain, dan dari budaya lokal itu ditemukan unsur-unsur budaya lokal yang mempunyai nilai universal seperti kejujuran, keadilan, kerukunan, gotong royong. Dengan mengamalkan ajaran Islam yang mengatur interaksi antar umat manusia, kaum muslimin di Madinah pada masa Rasulullah bisa hidup bedampingan secara damai dan saling tolong menolong. Pada masa , selanjutnya umat Islam dapat mencapai tingkat peradaban yang tinggi.

Islam dan budaya memiliki relasi yang tak terpisahkan dalam Islam sendiri ada nilai universal dan absolute sepanjang zaman. Namun demikian, Islam sebagai dogma tidak kaku dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika menghadapi masyarakat yang menjumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi. Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling memperngaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.

Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Tradisi dan budaya Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indoneisa dan termasuk di Desa Pongangan Kecamatan Gunungpati Kabupaten Semarang. Dalam konteks ini yang menjadi nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia. Begitu pula istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.

Disisi lain , ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna saja melainkan juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek keagamaan. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya yang sangat bervariasi dan banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindu dan Budha yang terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda , seperti Islam , Kristen , atau yang liannya.

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang, belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawa , meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran- ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan agama Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan syariat Islam. Sementara masyarakat Jawa yang sangat minim tentang pemahaman agama Islam itu sendiri , lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari ,meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hal itu terjadi terus menerus hingga di zaman sekarang.

Hal itu dapat kita kaji tentang gambaran masyarakat yang terjadi di zaman sekarang ini , tertutama tentang praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik tentunya perlu memahami ajaran agama dengan memadai, sehingga ajaran agama sekarang ini sebagai acuan dalm berperilaku dalam kehidupan. Karena itulah di tulisan singkat ini mencoba mengungkap masalah tradisi atau nilai-nilai lokal terutama dalam masyarakat Jawa dalam pandangan ajaran Islam. Apakah tradisi dan budaya Jawa ini sesuai dengan ajaran Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Bagi masyarakat Jawa sendiri kegitan tahunan yang bernama nyadran merupakan ungkapan refleksi sosial keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritual ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu , seperti menjelang bulan suci Ramadhan , yaitu bulan Sya’ban atau Ruwah. Nyadran dengan menziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritual dan oyeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, dimana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif.

Pelaksanaan tradisi nyadran (gradha) pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagi perlengkapan ritualnya sedangkan oleh walisongo di kulturasikan dengan doa-doa yang bersumber dari Al-Qur’an sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat Pongangan Gunungpati. Masyarakat meyakini leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya , karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud peghargaan kepada bulan Sya’ban atau nisfu sya’ban. Ajaran agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh sebab itu pelaksanaan ziarah kubur dimaksud sebagai sarana intropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.

B. Pembahasan

Pengertian Islam dan Budaya. a. Secara Etimologi.

Al Islam secara etimologi berarti tunduk. Kata “Islam” berasal darikata salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknyan disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya. Didalam al-Qur’an, kata bermakna Islam yang terambil dari akar kata s-l-m disebut sebanyak 73kali. b. Secara Terminologi.

Secara terminologi (istilah/maknawi) dapat dikatakan islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun , yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.

Terminologi Islam secara bahasa (secara lafadz) memiliki beberapa makna. Makna- makna tersebut ada kaitannya dengan sumber kata dari “Islam” itu sendiri. Islam terdiri dari huruf dasar (dalam bahasa Arab): “sin” , “lam” dan “mim”. Beberapa kata dalam bahasa Arab yang memiliki huruf dasar yang sama dengan “Islam” , memiliki kaitan makna dengan Islam. Dari istulah secara bahasa antara lain : Al Istislam (berserah diri), As Salamah (suci bersih) , As Salam (selamat dan sejahtera) , As Salimu (perdamaian) , dan Sullam (tangga, tahap, atau taddaruj).

Pengertian Budaya

Pengertian kebudayaan menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Budiono K , menegaskan bahwa “menurut antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan milikinya dengan belajar”. Pengertian tersebut berarti pewarisan budaya-budaya leluhur melalui proses pendidikan.

Budaya atau Kebudayaan berasal dari bahasa Sanksekerta yaitu Budhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, rasa, karsa. Budaya atau kebudayaan dalam bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Budaya atau Kebudayaan dalam bahasa Inggris di istilahkan dengan kata culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah , mengerjakan , menyuburkan , dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture , yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , budaya di definisikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Sedangkan kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan , kesenian , dan adat istiadat ; keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang terjadi pedoman tingkah lakunya.

Islam dan Keselarasan Budaya Jawa dalam Kajian.

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling mulia (Q.S At Tin : 4). Manusia diberikan kelebihan berupa akal yang dapat digunakan untuk berpikir, dan hati nurani untuk megetahui kebenaran. Dengan kelebihannya tersebut, manusia bisa mengelola, memakmurkan alam semesta, dan dapat menjaga martabatnya sebagai makhluk yang punya kedudukan lebih tinggi disbanding makhluk lain. Menurut ajaran Islam, manusia adalah hamba Allah ang diberi tugas sebagai khalifah di bumi. Agar dapat melaksanakan tugas tersebut dengan baik, maka Allah memberikan petunjuk melalui firman-Nya dalam kitab suci al-Qur’an. Banyak al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Dan orang yang mau menggunakan akalnya akan mendapatkan ilmu/pengetahuan yang dicarinya.[1]

Ijtihad dalam bidang kebudayaan merupakan usaha yang dilakukan secara maksimal, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapi manusia, sehingga mmperoleh hasil yang lebih baik dan manfaat. Abul A’la Maududi menyebutnya sebagai penelitian (riset) akademik yang dilakukan melalui proses ilmiah untuk mengasilkan solusi dari masalah yang dihadapi manusia.[2]

Kearifan lokal yang berupa nilai-nilai luhur , bermanfaat untuk membentuk pribadi yang mulia yang diperlukan oleh setiap manusia, yang menginginka hidupnya damai dan sejahtera. Karena itu, Islam tidak menghapuskan unsure budaya dari suku Arab yang selaras dengan Islam. Misalnya sewaktu Islam diturunkan di Mekah , nilai-nilai luhur yang berasal dari suku Badwi seperti jujur, pemberani, pemurah dan penyantun , tetap dilestarikan karena selaras dengan ajaran Islam.

Syair-syair yang isinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam juga dibiarkan tetap tumbuh di masyarakat. Setelah masa Islam , syair-syair yang dibuat oleh pemeluk Islam lebih banyak bertemakan kepahlawanan (memuja para syuhada’) tentang kenikmatan di surga atau kepedihan di neraka.

Kebudayaan Jawa dibatasi pada kebudayaan yang dihasilkan penduduk yang berada di wilayah Jawa. Koentjaraningrat memberikan peringatan tetang kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat yang tinggal didaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Jawa Barat masuk dalam wilayah kebudayaan Sunda.[3]

Selain batasan georgrafi, ada pula yang memberikan batasan berdasar ciri kebudayaan seperti Franz Magnis Suseno yang mengemukakan bahwa kebudayaan Jawa adalah hasil ciptaan orang Jawa. Sedangkan yang disebut orang Jawa adalah penduduk asli yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Diantara mereka atau keturunanya ada yang kemudian pindah ketempat lain , dan tetap menjaga adat istiadat Jawa dimanapun mereka berada.[4] Dengan demikian , unsure budaya yang mempunyai ciri kebudayaan Jawa , tetap disebut sebagai budaya Jawa meskipun tempat berkembangnya di luar Jawa.

Islam dan Budaya Jawa dalam Kajian

Kerukunan merupakan salah satu ciri dari kehidupan masyarakat Jawa karena itu , keterkaitan pada kelompok menjadi kuat agar tercipta ketentraman dalam hidupnya. Hal ini menjadi kuat agar tercipta ketentraman dalam hidupnya. Hal ini terjadi karena kelompok telah menjadi tempat untuk memperoleh solusi dari permasalahan yang dirasakan dan di hadapi dalam kehidupan sosialnya. Merujuk kepada Franz Magnis Suseno , orang Jawa akan merasa aman apabila berada dalam ikatan kelompoknya. Karena dengan kerukunan , maka ia akan merasa tentram, jauh dari perasaan negative yang membuatnya terlibat dalam konflik yang menggelisahkan perasaannya. Kuatnya ikatan dengan komunitas, juga menyebabkan solidaritas terhadap komunitasnya juga kuat. Hal ini menumbuhkan rasa kebersamaan atau gotong royong antar tetangga atau anggota suatu komunitas. Misal tetangga membangun rumah , maka semua yang merasa menjadi anggota kelompoya ikut membantu sesuai kemampuannya. Ada yang memberikan bantuan berupa uang, beras, sayur-sayuran atau tenaga , untuk ikut dalam pembangunan tersebut tanpa mengharap imbalan berupa materi.

Adanya sikap terbuka yang dimiliki masyarakat Jawa untuk menerima orang lain seperti saudaranya sendiri , berdampak positif bagi masuknya orang orang India yang membawa kebudayaan dan agama Hindu ke Jawa. Demikian pula sewaktu pedagang Muslim dari Arab maupun Gujarat masuk ke tanah Jawa dengan menyebarkan agama Islam , mereka diterima secara damai oleh masyarakat Jawa. Elastisitas dalam kehidupan sosial ini juga berpengaruh pada keterbukaan masyarakat Jawa terhadap kepercayaan dan agama yang datang ke Indonesia.[5]

Pandagan Greetz bahwa Islamisasi di Jawa yang dimulai pada abad ke tiga belas, adalah parsial dan variabel. Muslim yang taat , yang disebut santri, terpusat di pesisir utara , didaerah-daerah pedesaan dimana terdapat sekolah-sekolah tradisional Islam , dan dikalangan para pedagang dikotaan. Yang disebut dengan abangan adalah mayoritas petani , yang meski secara nominal adalah Islami , tetap terikat dalam animism Jawa dan tradisi nenek moyang. Golongan tradisional , terpandang , terutama di perkotaan , meski secara nominal muslim , mempraktekkan bentuk mistisme yang berasal dari Hindu-Budha sebelum Islam Masuk di Jawa. Golongan bangsawan yang kemudian menjadi birokrat ini , dan orang-orang yang mengadopsi gaya hidup mereka disebut dengan priyayi.

Berangkat dari variasi tersebut , memperlihatkan bahwa Islam yang di peluk orang Jawa adalah artificial (buatan). Islam Jawa sejatinya adalah Islam yang dilumuri dengan praktik- praktik sinkretisme. Pengaruh Islam di Jawa tidak terlalu besar. Islam hanya menyentuh kulit luar budaya Animisme , Hindu , dan Budha yang telah mendarah daging dihampir seluruh Jawa. Sinkretisme tersebut nampak pada citra dari masing-masing struktur sosial di tiga varian (abangan , santri , priyayi) : ritus yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menghalau makhluk halus jahat yang dianggap sebagai penyebab dari ketidak teraturan dan kesengsaraan dalam masyarakat , agar keseimbangan dalam masyarakat dapat dicapai kembali (varian abangan) , penekanan pada tindakan-tindakan keagamaan sebagaimana digariskan dalam Islam (varian santri), dan suatu kompleks keagamaan yang menekankan pada pentignya hakekat halus sebagai lawan dari kasar (kasar dianggap sebagai ciri utama kaum abangan) , yang perwujudannya tampak dalam berbagai sistem sosial yang berkaitan dengan etika , tari-tarian , berbagai bentuk kesenian , bahasa dan pakaian (varian priyayi).

Penganut animise dan dinamisme melakukan ritual menggunakan sesaji dan mantera. Sesaji dipersembahkan kepada ruh yang dituju, sehingga aneka sesaji yang dipilih , mencerminkan kesenangan ruh. Apabila ruh yang dipuja adalah nenek moyang maka akan diberikan makanan kesukaan mereka waktu hidup , sewaktu hidup , seperti buah buahan tertentu dan jajan pasar. Untuk mengemukakan hajat seseorang kepada ruh atau kekuatan  luar biasa yang dipercayai bisa menolong atau mencelakakan manusia, perlu bantuan dukun , pawang atau orang yang dituakan (sesepuh) , yang dipercayai bisa komunikasi dengan ruh dan kekuatan luar biasa. Ritual itu juga digunakan untuk menolak bala, agar ruh atau kekuatan luar biasa itu tidak mengganggu , merusak , atau mendatangkan bencana bagi manusia. Ritual untuk menolak bala itu misalnya ruwatan bagi anak “ontang anting” (semata wayang) , agar tidak diganggu oleh Bathara Kala (symbol kekuatan jahat). Dengan demikian , tujuan ritual adalah utuk mencari keselametan (selamet).

 

 

 

 

Istilah selametan itu sampai sekarang dipakai secara umum , oleh orang Jawa yang mengadakan ritual dengan memanjatkan doa , agar diberikan keselamatan dalam hidup nya. Disamping itu , selametan juga berfungsi sebagai media untuk membina hubungan baik dengan tetangga. Dalam perkembangan selanjutnya menurut Simuh , ritual dengan mantera berkembang menjadi ilmu klenik yang mempercayai adanya mantera yang berkekuatan magis.[6]

Orang Jawa memiliki ritual-ritual tertentu sebagai wadah dari mistisme yang dilakukannya. Ritual-ritual ini yang paling terlihat dan paling umum tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan masyarakat adalah tradisi nyadran. Ada beberapa bentuk  upacara selametan antara lain , slameta kelahiran , slametan khitan , dan perkawinan , slametan kematian , slametan berdasarkan penanggalan , slametan desa , dan slametan sela. Sampai disini masih tampak sekali ingin mengatakan bahwa Islam Jawa adalah sejenis lan dari Islam meskipun emreka tidak melaksanakan ritual dari kalangan Islam normatif.

  

Tradisi Nyadran

Nyadran adalah nama dari salah satu budaya masyarakat Islam Jawa dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Sebuah serangkaian budaya berupa kenduri slametan ,  besik atau pembersihan makam leluhur serta upacara ziarah kubur , dengan mendoakan roh yang telah meninggal di area makam. Oleh masyarakat Jawa terutama Jawa Tengah , tradisi ini biasa dilaksanakan di setiap hari ke 10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban.

Makna dan asal usul istilah nyadran beragam istilah yang membentuknya. Ada yang mengatakan bahwa Nyadran yang berasal dari Bahasa Sanksekerta “sradhha” yang artinya keyakinan. Adapula Nyadran dari kata kerja dalam Bahasa Jawa , (sadran = ruwah , sya’ban) yang juga dimaknai dengan Sudra (orang awam) menyudra berarti berkumpul dengan orang awam yang mengingatkan kita akan hakekat bahwa manusia pada dasarnya sama.

Disisi lain juga ada yang mengatakan bahwa Nyadran berasal dari kata Sodrun yang berarti Dada atau Hati. Tentunya asal istilah tersebut telah mengisyaratkan tujuan dari terbentuknya tradisi ini. Adapun perubahan pengucapannya mungkin dikarenakan lidah orang Jawa yang cenderung medhok yang menjadikan istilah –istilah tersebut berubah menjadi Nyadran. Maka dari itu sampai sekarang masyarakat Jawa sangatlah kokoh dalam memegang budaya leluhur mereka. Berbagai macam tradisi yang keberadaanya masih bisa ditemui hingga hari ini , sebagian besar tidak terlepas dari keyakinan mereka yang di wariskan turun temurun.

Pencampuran budaya (akulturasi) serta nuansa sinkretisme tetap terlihat mewarnai demi sebuah harapan akan keserasian atau keseimbangan. Tradisi Nyadran adalah salah satunya yang dimaknai diantaranya sebagai sebuah refleksi kerukunan , kebersamaan demi mencapai keharmonisan hidup. Baik hal itu berkaitan dengan yang masih hidup , yang telah meninggal keterkaitannya dengan Tuhan.

 

Upacara tradisional nyadran disebarkan dan diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain , oleh karena itu tradisi ini dapat digolongkan dalam bentuk folklor. Menurut Danandjaja folkor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun , di antara kolektif macam apa saja , secara tradisional dalam versi yang berbeda , baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Menurut John Harold Bruvant berdasarkan tipenya folkor dapat digolongkan dalam tiga kelompok :

1.     Folkor lisan , yaitu Folkor yang bentuknya murni lisan , misalnya ungkapan tradisional , pertanyaan tradisional , cerita prosa rakyat , dan nyanyian rakyat.

2.     Folkor sebagian lisan , yaitu Folkor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan , misalnya kepercayaan rakyat , permainan rakyat , adat-istiadat , upacara dan pesta rakyat.

3.     Folkor bukan lisan , yaitu Folkor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folkor ini ada yang berbentuk material dan nonmaterial. Yang berbentuk material bisa berupa arsitektur rakyat, kerajinan tangan , pakaian serta perhiasan adat, makanan, alat musik , dan senjata.[7]

Berdasarkan penggolongan diatas , upacara tradisional nyadran termasuk folkor sebagian lisan karena didalamnya terdapat bentuk folkor lisan yaitu doa-doa yang digunakan dalam upacara dan juga terdapat bentuk folkor bukan lisan berupa uba rampe dalam upacara tersebut.

Tujuan Tradisi Nyadran

Masyarakat melakukan upacara Nyadran ini menjelang Ramadhan , kegiatan upacara keagamaan tahunan seperti nyadran ini dilakukan dengan mengunjungi atau ziarah ke makam leluhur, lalu memanjatkan doa permohonan ampun dan tabur bunga. Biasanya para warga yang melaksanakan nyadran ini membawa aneka makanan , seperti : tumpeng , inkung , jajan pasar. Makanan ini biasanya dibawa menggunakan sejumlah tandu. Selain itu , mereka juga membawa kemenyan serta beraneka bunga , seperti mawar , melati dan kenanga.

Pentingnya memelihara upacara adat tersebut dikarenakan , budaya ini tumbuh dengan sendirinya , biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut Ruwah. Nah , biasanya Nyadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (tokoh ) yang berpengaruh di masyarakat setempat dan berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing- masing. Semisal di Desa Pongangan , nyadran ini dilaksanakan dimakam di daerah setempat yaitu makam Muslim Sikucing Pongangan.

Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terimakasih kepada Tuhan atas apa yang telah diberikan nikmat dan karunia yang telah diberikan kepada desa setempat. Serta wujud menghormati leluhur.

 

Ketika masyarakat melaksanakan nyadran , mereka harus bekerja sama. Ada unsure gotong-royong , kebersamaan , kasih sayang , dan pengorbanan didalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silahturahmi anatar anggota masyarakat. Karena itulah , tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa Indonesia.

Penghormatan Terhadap Leluhur

Alasan warga setempat masih melakukan ritual upacara Nyadran ini sebagai penghormatan terhadap leluhur. Prosesi ini juga meliputi pembersihan makam leluhur , memanjatkan doa permohonan ampun , dan tabur bunga.

Tradisi itu mempunyai kemiripan dengan sraddha pada masa Majapahit. Kemiripan itu terlihat pada kegiatan “interaksi” manusia dengan leluhur yang telah meninggal , seperti pengorbanan , sesaji , dan ritual sesembahan lainnya yang hakikatnya bentuk penghormatan terhadap yang sudah meninggal. Para wali diyakini mentransformasikan tradisi pra-islam itu menjadi sarat dengan unsur Islam demi kemudahan dakwah. Tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindu-Budha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam. Ritual ini masih dipahami sebagai entuk pelesatarian tradisi dan budaya nenek moyang. Nah nyadran ini identik dengan ziarah kubur. Keduanya memiliki wujud ekspresi kultular keagamaan yang memiliki kesamaan tujuan. Perbedaannya terletak pada waktu pelaksanaannya mengingat nyadran dilakukan sebelum bulan Ramadhan dan dilakukan oleh warga setempat secara bersama-sama.

Didalam Islam sendiri disarankan untuk berziarah kubur, yang dimaksudkan dengan ziarah kubur disini ialah mengambil pelajaran dan mengingat kematian serta kehidupan di akhirat.

Media Silahturahmi

Upacara ritual tradisional nyadran ini salah satu wujud peninggalan kebudayaan pada masa Hindu-Budha sampai Islam masuk ke Jawa. Melestarikan budaya peninggalan nenek moyang ini sangat lah penting demi mencapai ketentraman hidup dan batin. Proses ini harus kita jaga dan dilestarikan berguna untuk menjaga hubungan generasi penerus dengan leluhur , sehingga rantai keturunan sebagai suku Jawa tidak akan terputus. Salah satu manfaat yang dilakukan upacara nyadran ini adalah salah satunya menjaga kebudayaan Jawa dan tidak akan putus.

Biasanya setelah melakukan ritual di makam para leluhur, seperti Lebaran Idul Fitri. Di Desa Ponganan ini biasanya setelah melakukan hal tersebut membagikan rezeki seperti lebaran, bedanya adalah waktu. Semua orang bergantian saling bertukar makanan untuk dibagikan tetangga atau kerabat terdekat.

Dampak Tradisi Nyadran

Pelestarian nyadran ini adalah salah satuya adalah adi luhung peninggalan nenek moyang , terdapat sejumlah kaearifa lokal dalam prosesi tradisi nyadran yang sangat relevan dengan konteks kekinian. Hal ini karena prosesi nyadran ini tidak hanya dengan bergotong royong membersihkan makam , mendoakan leluhur , selametan dengan kenduri. Lain dari itu nyadran juga sebagai cabang ajang silahturahmi , wahana perekat ke sanak saudara dan tetangga , sarana membangun jati diri bangsa.

Pelaksaaan nyadran , kelompok-kelompok keluarga atau keturunan tertentu , tidak ada sekat atau pembagian dalam status sosial , kelas, agama , golonga dan lain sebagainya. Perbedaan itu tidak ada karena mereka mereka berbaur menjadi satu saling tolong menolong dan tidak menyalahkan satu sama lain. Akhirnya terciptanya kerukuan dan saling tolong menolong , adem ayem dan tentram.

 

C.    Kesimpulan

 

Nyadran adalah nama dari salah satu budaya masyarakat Islam Jawa dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Sebuah serangkaian budaya berupa kenduri slametan , besik atau pembersihan makam leluhur serta upacara ziarah kubur , dengan mendoakan roh yang telah meninggal di area makam. Oleh masyarakat Jawa terutama Jawa Tengah , tradisi ini biasa dilaksanakan di setiap hari ke 10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Pencampuran budaya (akulturasi) serta nuansa sinkretisme tetap terlihat mewarnai demi sebuah harapan akan keserasian atau keseimbangan. Tradisi Nyadran adalah salah satunya yang dimaknai diantaranya sebagai sebuah refleksi kerukunan , kebersamaan demi mencapai keharmonisan hidup. Baik hal itu berkaitan dengan yang masih hidup , yang telah meninggal keterkaitannya dengan Tuhan. Tradisi nyekar atau ziarah kubur ini ditunjukkan kepada pepunden masyarakat Pongangan atau leluhur masyarakat desa Pongangan. Dalam melakukan ziarah kubur, msyarakat memebawa sesaji dan ubarampe (pelengkap). Setelah ritual ziarah kubur dilanjutkan dengan manganan (kondangan) di kompleks makam. (3) Dampak tradisi nyadran dapat dirasakan pleh masyarakat Pongangan tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah mendidik, membiayai ketika anak -  anak, hingga menjadi orang yang sukses. Pelestari tradisi nyadran merupakan wujud pelestarian budaya adhiluhung peninggalan nenek moyang, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi tradisi nyadaran yang sangat relevan dengan konteks kekinian. Lebih dari itu, nyadran menjelma menjadi ajang silaturahmi, wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Suhandjati, Sri. 2015. ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA REVITALISASI KEARIFAN LOKAL. Semarang : CV Karya Abadi Jaya.

Maududi, Abdul A ‘la. 1969. The Islamic Law and Constitution. Lahore : Islamic Publication.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Suseno, Franz Magnis. 1993. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta : Teraju.

Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI.

Kastolani, dan Abdullah Yusof. 2016. “RELASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Studi

Tentang Trasdisi Nyadran di Desa Sumogawe Kecamatan Getasan Kabupaten

Semarang” Diakses pada https://media.neliti.com/media/publications/67299-ID-relasi-islam- dan-budaya-lokal-studi-tent.pdf pada 10 Mei 2020 Pukul 13.30.



[1] Prof Dr Sri Suhandjati , ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA REVITALISASI KEARIFAN LOKAL, Semarang: CV Karya Abadi Jaya ,2015, hlm11

[2] Abul A’la Maududi, The Islamic Law and Constitution , Lahore : Islamic Publication Ltd,1969, p 72

[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.1984, hlm 417

[4] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama, 1993) hlm 11

[5] Prof Dr Sri Suhandjati , ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA REVITALISASI KEARIFAN LOKAL , Semarang : CV. Karya Abadi Jaya , 2015 . hlm 36-37

[6] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa , Jakarta : Teraju , 2003 hlm 41-42

[7] Muhammad Damami , Makna Agama dalam Masyarakat Jawa , (Yogyakarta: LESFI, 2002) hlm 2.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM

PELESTARIAN BUDAYA JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI