RELASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL TENTANG TRADISI NYADRAN DI DESA PONGANGAN KABUPATEN SEMARANG
RELASI
ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
TENTANG
TRADISI NYADRAN DI DESA PONGANGAN KABUPATEN
SEMARANG
Muna Aska Lutfia
Studi Agama Agama
Fakultas Ushuluddin dan
Humaniora
Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang
Email
mnaskalutfia@gmail.com
Abstrak
Artikel ini merupakan deskrpsi tentang upacara Nyadran yang dilakukan
di Desa Ponganga Gunung pati Semarang. Biasanya warga melakukan upacara ini
sebelum datangnya bulan suci Ramadhan , tepatnya pada bulan Sya’ban atau biasa
disebut Ruwah. Dampak upacara nyadran ini dapat dirasakan oleh masyarakat desa
Ponganan , prosesi ini meliputi nyekar , membersihkan makam orang terpandang
atau orang yang berpengaruh dalam masa penyiaran agama Islam sebagai wujud
balas rasa atas pengorbanan leluhur baik secara material maupun nonmaterial.
Pelestarian budaya luhur ini adalah salah satu wujud pelestarian budaya
adhilubung peninggalan nenek moyang. Lebih dari itu nyadran dijadikan sebagai
ajang silahturahmi.
A. Pendahuluan
Islam mengajarkan untuk mengenal , memahami dan
menghargai budaya lokal (QS: Al Hujurat:13). Rasulullah telah memberikan contoh
tentang hidup ditengah masyarakat yang majemuk dengan perbedaan agama maupun
budayanya. Tiap suku mempunyai adat kebiasaan yang berbeda dengan suku lain,
dan dari budaya lokal itu ditemukan unsur-unsur budaya lokal yang mempunyai
nilai universal seperti kejujuran, keadilan, kerukunan, gotong royong. Dengan
mengamalkan ajaran Islam yang mengatur interaksi antar umat manusia, kaum muslimin
di Madinah pada masa Rasulullah bisa hidup bedampingan secara damai dan saling
tolong menolong. Pada masa , selanjutnya umat Islam dapat mencapai tingkat
peradaban yang tinggi.
Islam dan budaya memiliki relasi yang tak terpisahkan
dalam Islam sendiri ada nilai universal dan absolute sepanjang zaman. Namun
demikian, Islam sebagai dogma tidak kaku dalam menghadapi zaman dan
perubahannya. Islam selalu memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika
menghadapi masyarakat yang menjumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat
kebiasaan atau tradisi. Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan
dapat saling memperngaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.
Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di
masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Tradisi dan
budaya Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budaya Jawa hingga
akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indoneisa dan
termasuk di Desa Pongangan Kecamatan Gunungpati Kabupaten Semarang. Dalam
konteks ini yang menjadi nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa
Indonesia. Begitu pula istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi
dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan
negara di Indonesia.
Disisi lain , ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak
hanya memberikan warna saja melainkan juga berpengaruh dalam keyakinan dan
praktek-praktek keagamaan. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya yang
sangat bervariasi dan banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindu dan Budha
yang terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan
atau agama yang berbeda , seperti Islam , Kristen , atau yang liannya.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga
sekarang, belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawa , meskipun terkadang
tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran- ajaran Islam. Memang ada
beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi
tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang
bertentangan dengan agama Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran Islam
dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang dapat
dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan syariat Islam. Sementara masyarakat
Jawa yang sangat minim tentang pemahaman agama Islam itu sendiri , lebih banyak
menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekannya dalam kehidupan
sehari-hari ,meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hal itu terjadi
terus menerus hingga di zaman sekarang.
Hal itu dapat kita kaji tentang gambaran masyarakat
yang terjadi di zaman sekarang ini , tertutama tentang praktek keagamaan kita
sekarang. Sebagai umat beragama yang baik tentunya perlu memahami ajaran agama
dengan memadai, sehingga ajaran agama sekarang ini sebagai acuan dalm
berperilaku dalam kehidupan. Karena itulah di tulisan singkat ini mencoba
mengungkap masalah tradisi atau nilai-nilai lokal terutama dalam masyarakat
Jawa dalam pandangan ajaran Islam. Apakah tradisi dan budaya Jawa ini sesuai
dengan ajaran Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bagi masyarakat Jawa sendiri kegitan tahunan yang
bernama nyadran merupakan ungkapan refleksi sosial keagamaan. Hal ini dilakukan
dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritual ini dipahami sebagai bentuk
pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi
Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu , seperti menjelang bulan suci
Ramadhan , yaitu bulan Sya’ban atau Ruwah. Nyadran dengan menziarah kubur
merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritual
dan oyeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, dimana nyadran
biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan
pelaksanaannya dilakukan secara kolektif.
Pelaksanaan tradisi nyadran (gradha) pada masa
Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagi perlengkapan ritualnya
sedangkan oleh walisongo di kulturasikan dengan doa-doa yang bersumber dari
Al-Qur’an sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat Pongangan
Gunungpati. Masyarakat meyakini leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih
ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya , karena pengaruh
agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa kepada
Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud peghargaan kepada bulan Sya’ban atau
nisfu sya’ban. Ajaran agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang
menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh
sebab itu pelaksanaan ziarah kubur dimaksud sebagai sarana intropeksi atau
perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu
tahun.
B. Pembahasan
Pengertian Islam dan
Budaya. a. Secara Etimologi.
Al Islam secara etimologi berarti tunduk. Kata
“Islam” berasal darikata salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk
aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Dari kata aslama
itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknyan disebut Muslim. Orang yang memeluk
Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.
Didalam al-Qur’an, kata bermakna Islam yang terambil dari akar kata s-l-m
disebut sebanyak 73kali. b. Secara Terminologi.
Secara terminologi (istilah/maknawi) dapat dikatakan
islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya yang terakhir dan
berlaku bagi seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun , yang ajarannya
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Terminologi Islam secara bahasa (secara lafadz)
memiliki beberapa makna. Makna- makna tersebut ada kaitannya dengan sumber kata
dari “Islam” itu sendiri. Islam terdiri dari huruf dasar (dalam bahasa Arab):
“sin” , “lam” dan “mim”. Beberapa kata dalam bahasa Arab yang memiliki huruf
dasar yang sama dengan “Islam” , memiliki kaitan makna dengan Islam. Dari
istulah secara bahasa antara lain : Al Istislam (berserah diri), As Salamah
(suci bersih) , As Salam (selamat dan sejahtera) , As Salimu (perdamaian) , dan
Sullam (tangga, tahap, atau taddaruj).
Pengertian Budaya
Pengertian kebudayaan menurut Koentjaraningrat
sebagaimana dikutip Budiono K , menegaskan bahwa “menurut antropologi,
kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan milikinya dengan
belajar”. Pengertian tersebut berarti pewarisan budaya-budaya leluhur melalui
proses pendidikan.
Budaya atau Kebudayaan berasal dari bahasa
Sanksekerta yaitu Budhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhi (budi atau
akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, rasa,
karsa. Budaya atau kebudayaan dalam bahasa Belanda di istilahkan dengan kata
culturur. Budaya atau Kebudayaan dalam bahasa Inggris di istilahkan dengan kata
culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah
, mengerjakan , menyuburkan , dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian
pengertian ini berkembang dalam arti culture , yaitu sebagai segala daya dan
aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , budaya di
definisikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Sedangkan kebudayaan dapat diartikan
sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan , kesenian , dan adat istiadat ; keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang terjadi pedoman tingkah lakunya.
Islam dan Keselarasan
Budaya Jawa dalam Kajian.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang
paling mulia (Q.S At Tin : 4). Manusia diberikan kelebihan berupa akal yang
dapat digunakan untuk berpikir, dan hati nurani untuk megetahui kebenaran.
Dengan kelebihannya tersebut, manusia bisa mengelola, memakmurkan alam semesta,
dan dapat menjaga martabatnya sebagai makhluk yang punya kedudukan lebih tinggi
disbanding makhluk lain. Menurut ajaran Islam, manusia adalah hamba Allah ang
diberi tugas sebagai khalifah di bumi. Agar dapat melaksanakan tugas tersebut
dengan baik, maka Allah memberikan petunjuk melalui firman-Nya dalam kitab suci
al-Qur’an. Banyak al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan
akalnya guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Dan orang yang mau menggunakan
akalnya akan mendapatkan ilmu/pengetahuan yang dicarinya.[1]
Ijtihad dalam bidang kebudayaan merupakan usaha yang
dilakukan secara maksimal, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang
dihadapi manusia, sehingga mmperoleh hasil yang lebih baik dan manfaat. Abul
A’la Maududi menyebutnya sebagai penelitian (riset) akademik yang dilakukan
melalui proses ilmiah untuk mengasilkan solusi dari masalah yang dihadapi
manusia.[2]
Kearifan lokal yang berupa nilai-nilai luhur ,
bermanfaat untuk membentuk pribadi yang mulia yang diperlukan oleh setiap
manusia, yang menginginka hidupnya damai dan sejahtera. Karena itu, Islam tidak
menghapuskan unsure budaya dari suku Arab yang selaras dengan Islam. Misalnya
sewaktu Islam diturunkan di Mekah , nilai-nilai luhur yang berasal dari suku
Badwi seperti jujur, pemberani, pemurah dan penyantun , tetap dilestarikan
karena selaras dengan ajaran Islam.
Syair-syair yang isinya tidak bertentangan dengan
ajaran Islam juga dibiarkan tetap tumbuh di masyarakat. Setelah masa Islam ,
syair-syair yang dibuat oleh pemeluk Islam lebih banyak bertemakan kepahlawanan
(memuja para syuhada’) tentang kenikmatan di surga atau kepedihan di neraka.
Kebudayaan Jawa dibatasi pada kebudayaan yang
dihasilkan penduduk yang berada di wilayah Jawa. Koentjaraningrat memberikan
peringatan tetang kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang diciptakan oleh
masyarakat yang tinggal didaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan menggunakan
bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Jawa Barat masuk dalam wilayah
kebudayaan Sunda.[3]
Selain batasan georgrafi, ada pula yang memberikan
batasan berdasar ciri kebudayaan seperti Franz Magnis Suseno yang mengemukakan
bahwa kebudayaan Jawa adalah hasil ciptaan orang Jawa. Sedangkan yang disebut
orang Jawa adalah penduduk asli yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Diantara mereka atau keturunanya
ada yang kemudian pindah ketempat lain , dan tetap menjaga adat istiadat Jawa
dimanapun mereka berada.[4]
Dengan demikian , unsure budaya yang mempunyai ciri kebudayaan Jawa , tetap
disebut sebagai budaya Jawa meskipun tempat berkembangnya di luar Jawa.
Islam dan Budaya
Jawa dalam Kajian
Kerukunan merupakan salah satu ciri dari kehidupan
masyarakat Jawa karena itu , keterkaitan pada kelompok menjadi kuat agar
tercipta ketentraman dalam hidupnya. Hal ini menjadi kuat agar tercipta
ketentraman dalam hidupnya. Hal ini terjadi karena kelompok telah menjadi
tempat untuk memperoleh solusi dari permasalahan yang dirasakan dan di hadapi
dalam kehidupan sosialnya. Merujuk kepada Franz Magnis Suseno , orang Jawa akan
merasa aman apabila berada dalam ikatan kelompoknya. Karena dengan kerukunan ,
maka ia akan merasa tentram, jauh dari perasaan negative yang membuatnya
terlibat dalam konflik yang menggelisahkan perasaannya. Kuatnya ikatan dengan
komunitas, juga menyebabkan solidaritas terhadap komunitasnya juga kuat. Hal
ini menumbuhkan rasa kebersamaan atau gotong royong antar tetangga atau anggota
suatu komunitas. Misal tetangga membangun rumah , maka semua yang merasa
menjadi anggota kelompoya ikut membantu sesuai kemampuannya. Ada yang
memberikan bantuan berupa uang, beras, sayur-sayuran atau tenaga , untuk ikut
dalam pembangunan tersebut tanpa mengharap imbalan berupa materi.
Adanya sikap terbuka yang dimiliki masyarakat Jawa
untuk menerima orang lain seperti saudaranya sendiri , berdampak positif bagi
masuknya orang orang India yang membawa kebudayaan dan agama Hindu ke Jawa.
Demikian pula sewaktu pedagang Muslim dari Arab maupun Gujarat masuk ke tanah
Jawa dengan menyebarkan agama Islam , mereka diterima secara damai oleh
masyarakat Jawa. Elastisitas dalam kehidupan sosial ini juga berpengaruh pada
keterbukaan masyarakat Jawa terhadap kepercayaan dan agama yang datang ke Indonesia.[5]
Pandagan Greetz bahwa Islamisasi di Jawa yang dimulai
pada abad ke tiga belas, adalah parsial dan variabel. Muslim yang taat , yang
disebut santri, terpusat di pesisir utara , didaerah-daerah pedesaan dimana
terdapat sekolah-sekolah tradisional Islam , dan dikalangan para pedagang
dikotaan. Yang disebut dengan abangan adalah mayoritas petani , yang meski
secara nominal adalah Islami , tetap terikat dalam animism Jawa dan tradisi
nenek moyang. Golongan tradisional , terpandang , terutama di perkotaan , meski
secara nominal muslim , mempraktekkan bentuk mistisme yang berasal dari
Hindu-Budha sebelum Islam Masuk di Jawa. Golongan bangsawan yang kemudian
menjadi birokrat ini , dan orang-orang yang mengadopsi gaya hidup mereka
disebut dengan priyayi.
Berangkat dari variasi tersebut , memperlihatkan
bahwa Islam yang di peluk orang Jawa adalah artificial (buatan). Islam Jawa
sejatinya adalah Islam yang dilumuri dengan praktik- praktik sinkretisme.
Pengaruh Islam di Jawa tidak terlalu besar. Islam hanya menyentuh kulit luar
budaya Animisme , Hindu , dan Budha yang telah mendarah daging dihampir seluruh
Jawa. Sinkretisme tersebut nampak pada citra dari masing-masing struktur sosial
di tiga varian (abangan , santri , priyayi) : ritus yang berkaitan dengan usaha-usaha
untuk menghalau makhluk halus jahat yang dianggap sebagai penyebab dari ketidak
teraturan dan kesengsaraan dalam masyarakat , agar keseimbangan dalam
masyarakat dapat dicapai kembali (varian abangan) , penekanan pada
tindakan-tindakan keagamaan sebagaimana digariskan dalam Islam (varian santri),
dan suatu kompleks keagamaan yang menekankan pada pentignya hakekat halus
sebagai lawan dari kasar (kasar dianggap sebagai ciri utama kaum abangan) ,
yang perwujudannya tampak dalam berbagai sistem sosial yang berkaitan dengan
etika , tari-tarian , berbagai bentuk kesenian , bahasa dan pakaian (varian
priyayi).
Penganut animise dan dinamisme
melakukan ritual menggunakan sesaji dan mantera. Sesaji dipersembahkan kepada
ruh yang dituju, sehingga aneka sesaji yang dipilih , mencerminkan kesenangan
ruh. Apabila ruh yang dipuja adalah nenek moyang maka akan diberikan makanan
kesukaan mereka waktu hidup , sewaktu hidup , seperti buah buahan tertentu dan
jajan pasar. Untuk mengemukakan hajat seseorang kepada ruh atau kekuatan luar biasa yang dipercayai bisa menolong atau
mencelakakan manusia, perlu bantuan dukun , pawang atau orang yang dituakan
(sesepuh) , yang dipercayai bisa komunikasi dengan ruh dan kekuatan luar biasa.
Ritual itu juga digunakan untuk menolak bala, agar ruh atau kekuatan luar biasa
itu tidak mengganggu , merusak , atau mendatangkan bencana bagi manusia. Ritual
untuk menolak bala itu misalnya ruwatan bagi anak “ontang anting” (semata
wayang) , agar tidak diganggu oleh Bathara Kala (symbol kekuatan jahat). Dengan
demikian , tujuan ritual adalah utuk mencari keselametan (selamet).
Istilah selametan itu sampai sekarang dipakai secara
umum , oleh orang Jawa yang mengadakan ritual dengan memanjatkan doa , agar
diberikan keselamatan dalam hidup nya. Disamping itu , selametan juga berfungsi
sebagai media untuk membina hubungan baik dengan tetangga. Dalam perkembangan
selanjutnya menurut Simuh , ritual dengan mantera berkembang menjadi ilmu
klenik yang mempercayai adanya mantera yang berkekuatan magis.[6]
Orang Jawa memiliki ritual-ritual tertentu sebagai
wadah dari mistisme yang dilakukannya. Ritual-ritual ini yang paling terlihat
dan paling umum tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan masyarakat
adalah tradisi nyadran. Ada beberapa bentuk
upacara selametan antara lain , slameta kelahiran , slametan khitan ,
dan perkawinan , slametan kematian , slametan berdasarkan penanggalan ,
slametan desa , dan slametan sela. Sampai disini masih tampak sekali ingin
mengatakan bahwa Islam Jawa adalah sejenis lan dari Islam meskipun emreka tidak
melaksanakan ritual dari kalangan Islam normatif.
Tradisi Nyadran
Nyadran adalah nama dari salah satu budaya masyarakat
Islam Jawa dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Sebuah serangkaian
budaya berupa kenduri slametan , besik
atau pembersihan makam leluhur serta upacara ziarah kubur , dengan mendoakan
roh yang telah meninggal di area makam. Oleh masyarakat Jawa terutama Jawa
Tengah , tradisi ini biasa dilaksanakan di setiap hari ke 10 bulan Rajab atau saat
datangnya bulan Sya’ban.
Makna dan asal usul istilah nyadran beragam istilah
yang membentuknya. Ada yang mengatakan bahwa Nyadran yang berasal dari Bahasa
Sanksekerta “sradhha” yang artinya keyakinan. Adapula Nyadran dari kata kerja
dalam Bahasa Jawa , (sadran = ruwah , sya’ban) yang juga dimaknai dengan Sudra
(orang awam) menyudra berarti berkumpul dengan orang awam yang mengingatkan
kita akan hakekat bahwa manusia pada dasarnya sama.
Disisi lain juga ada yang mengatakan bahwa Nyadran
berasal dari kata Sodrun yang berarti Dada atau Hati. Tentunya asal istilah
tersebut telah mengisyaratkan tujuan dari terbentuknya tradisi ini. Adapun
perubahan pengucapannya mungkin dikarenakan lidah orang Jawa yang cenderung
medhok yang menjadikan istilah –istilah tersebut berubah menjadi Nyadran. Maka
dari itu sampai sekarang masyarakat Jawa sangatlah kokoh dalam memegang budaya
leluhur mereka. Berbagai macam tradisi yang keberadaanya masih bisa ditemui
hingga hari ini , sebagian besar tidak terlepas dari keyakinan mereka yang di
wariskan turun temurun.
Pencampuran budaya (akulturasi)
serta nuansa sinkretisme tetap terlihat mewarnai demi sebuah harapan akan
keserasian atau keseimbangan. Tradisi Nyadran adalah salah satunya yang
dimaknai diantaranya sebagai sebuah refleksi kerukunan , kebersamaan demi
mencapai keharmonisan hidup. Baik hal itu berkaitan dengan yang masih hidup ,
yang telah meninggal keterkaitannya dengan Tuhan.
Upacara tradisional nyadran disebarkan dan diwariskan
secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain , oleh karena
itu tradisi ini dapat digolongkan dalam bentuk folklor. Menurut Danandjaja folkor
adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun temurun , di antara kolektif macam apa saja , secara tradisional dalam
versi yang berbeda , baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Menurut John Harold Bruvant
berdasarkan tipenya folkor dapat
digolongkan dalam tiga kelompok :
1. Folkor lisan , yaitu Folkor yang bentuknya murni lisan ,
misalnya ungkapan tradisional , pertanyaan tradisional , cerita prosa rakyat ,
dan nyanyian rakyat.
2.
Folkor sebagian
lisan , yaitu Folkor yang bentuknya
merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan , misalnya kepercayaan
rakyat , permainan rakyat , adat-istiadat , upacara dan pesta rakyat.
3. Folkor bukan lisan , yaitu Folkor yang bentuknya bukan lisan walaupun
cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folkor
ini ada yang berbentuk material dan nonmaterial. Yang berbentuk material
bisa berupa arsitektur rakyat, kerajinan tangan , pakaian serta perhiasan adat,
makanan, alat musik , dan senjata.[7]
Berdasarkan penggolongan diatas , upacara tradisional
nyadran termasuk folkor sebagian
lisan karena didalamnya terdapat bentuk folkor
lisan yaitu doa-doa yang digunakan dalam upacara dan juga terdapat bentuk folkor bukan lisan berupa uba rampe
dalam upacara tersebut.
Tujuan Tradisi
Nyadran
Masyarakat melakukan upacara Nyadran ini menjelang
Ramadhan , kegiatan upacara keagamaan tahunan seperti nyadran ini dilakukan
dengan mengunjungi atau ziarah ke makam leluhur, lalu memanjatkan doa
permohonan ampun dan tabur bunga. Biasanya para warga yang melaksanakan nyadran
ini membawa aneka makanan , seperti : tumpeng , inkung , jajan pasar. Makanan
ini biasanya dibawa menggunakan sejumlah tandu. Selain itu , mereka juga
membawa kemenyan serta beraneka bunga , seperti mawar , melati dan kenanga.
Pentingnya memelihara upacara adat tersebut
dikarenakan , budaya ini tumbuh dengan sendirinya , biasanya berhubungan erat
dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Nyadran dilakukan setiap
bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut Ruwah. Nah , biasanya Nyadran
ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (tokoh )
yang berpengaruh di masyarakat setempat dan berpengaruh dalam menyiarkan agama
Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-
masing. Semisal di Desa Pongangan , nyadran ini dilaksanakan dimakam di daerah
setempat yaitu makam Muslim Sikucing Pongangan.
Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan
terimakasih kepada Tuhan atas apa yang telah diberikan nikmat dan karunia yang
telah diberikan kepada desa setempat. Serta wujud menghormati leluhur.
Ketika masyarakat melaksanakan nyadran , mereka harus
bekerja sama. Ada unsure gotong-royong , kebersamaan , kasih sayang , dan
pengorbanan didalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silahturahmi anatar anggota
masyarakat. Karena itulah , tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal
bangsa Indonesia.
Penghormatan
Terhadap Leluhur
Alasan warga setempat masih melakukan ritual upacara
Nyadran ini sebagai penghormatan terhadap leluhur. Prosesi ini juga meliputi
pembersihan makam leluhur , memanjatkan doa permohonan ampun , dan tabur bunga.
Tradisi itu mempunyai kemiripan dengan sraddha pada
masa Majapahit. Kemiripan itu terlihat pada kegiatan “interaksi” manusia dengan
leluhur yang telah meninggal , seperti pengorbanan , sesaji , dan ritual
sesembahan lainnya yang hakikatnya bentuk penghormatan terhadap yang sudah
meninggal. Para wali diyakini mentransformasikan tradisi pra-islam itu menjadi
sarat dengan unsur Islam demi kemudahan dakwah. Tidak mengherankan kalau
pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindu-Budha dan animisme yang
diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam. Ritual ini masih dipahami sebagai
entuk pelesatarian tradisi dan budaya nenek moyang. Nah nyadran ini identik
dengan ziarah kubur. Keduanya memiliki wujud ekspresi kultular keagamaan yang
memiliki kesamaan tujuan. Perbedaannya terletak pada waktu pelaksanaannya
mengingat nyadran dilakukan sebelum bulan Ramadhan dan dilakukan oleh warga setempat
secara bersama-sama.
Didalam Islam sendiri disarankan untuk berziarah
kubur, yang dimaksudkan dengan ziarah kubur disini ialah mengambil pelajaran
dan mengingat kematian serta kehidupan di akhirat.
Media Silahturahmi
Upacara ritual tradisional nyadran ini salah satu
wujud peninggalan kebudayaan pada masa Hindu-Budha sampai Islam masuk ke Jawa.
Melestarikan budaya peninggalan nenek moyang ini sangat lah penting demi
mencapai ketentraman hidup dan batin. Proses ini harus kita jaga dan
dilestarikan berguna untuk menjaga hubungan generasi penerus dengan leluhur ,
sehingga rantai keturunan sebagai suku Jawa tidak akan terputus. Salah satu
manfaat yang dilakukan upacara nyadran ini adalah salah satunya menjaga
kebudayaan Jawa dan tidak akan putus.
Biasanya setelah melakukan ritual di makam para
leluhur, seperti Lebaran Idul Fitri. Di Desa Ponganan ini biasanya setelah
melakukan hal tersebut membagikan rezeki seperti lebaran, bedanya adalah waktu.
Semua orang bergantian saling bertukar makanan untuk dibagikan tetangga atau
kerabat terdekat.
Dampak Tradisi
Nyadran
Pelestarian nyadran ini adalah salah satuya adalah
adi luhung peninggalan nenek moyang , terdapat sejumlah kaearifa lokal dalam
prosesi tradisi nyadran yang sangat relevan dengan konteks kekinian. Hal ini
karena prosesi nyadran ini tidak hanya dengan bergotong royong membersihkan
makam , mendoakan leluhur , selametan dengan kenduri. Lain dari itu nyadran
juga sebagai cabang ajang silahturahmi , wahana perekat ke sanak saudara dan
tetangga , sarana membangun jati diri bangsa.
Pelaksaaan nyadran ,
kelompok-kelompok keluarga atau keturunan tertentu , tidak ada sekat atau
pembagian dalam status sosial , kelas, agama , golonga dan lain sebagainya.
Perbedaan itu tidak ada karena mereka mereka berbaur menjadi satu saling tolong
menolong dan tidak menyalahkan satu sama lain. Akhirnya terciptanya kerukuan
dan saling tolong menolong , adem ayem dan tentram.
C.
Kesimpulan
Nyadran adalah nama dari salah satu
budaya masyarakat Islam Jawa dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Sebuah serangkaian budaya berupa kenduri slametan , besik atau pembersihan
makam leluhur serta upacara ziarah kubur , dengan mendoakan roh yang telah
meninggal di area makam. Oleh masyarakat Jawa terutama Jawa Tengah , tradisi
ini biasa dilaksanakan di setiap hari ke 10 bulan Rajab atau saat datangnya
bulan Sya’ban. Pencampuran budaya (akulturasi) serta nuansa sinkretisme tetap
terlihat mewarnai demi sebuah harapan akan keserasian atau keseimbangan.
Tradisi Nyadran adalah salah satunya yang dimaknai diantaranya sebagai sebuah
refleksi kerukunan , kebersamaan demi mencapai keharmonisan hidup. Baik hal itu
berkaitan dengan yang masih hidup , yang telah meninggal keterkaitannya dengan
Tuhan. Tradisi nyekar atau ziarah kubur ini ditunjukkan kepada pepunden
masyarakat Pongangan atau leluhur masyarakat desa Pongangan. Dalam melakukan
ziarah kubur, msyarakat memebawa sesaji dan ubarampe (pelengkap). Setelah
ritual ziarah kubur dilanjutkan dengan manganan (kondangan) di kompleks makam.
(3) Dampak tradisi nyadran dapat dirasakan pleh masyarakat Pongangan tersebut
sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah mendidik,
membiayai ketika anak - anak, hingga
menjadi orang yang sukses. Pelestari tradisi nyadran merupakan wujud
pelestarian budaya adhiluhung peninggalan nenek moyang, terdapat sejumlah
kearifan dalam prosesi tradisi nyadaran yang sangat relevan dengan konteks
kekinian. Lebih dari itu, nyadran menjelma menjadi ajang silaturahmi, wahana
perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan
nasionalisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Suhandjati, Sri.
2015. ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA
REVITALISASI KEARIFAN LOKAL. Semarang : CV Karya Abadi Jaya.
Maududi, Abdul A ‘la. 1969. The Islamic Law and Constitution. Lahore
: Islamic Publication.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Suseno, Franz
Magnis. 1993. Etika Jawa : Sebuah Analisa
Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta :
Teraju.
Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa.
Yogyakarta: LESFI.
Kastolani, dan Abdullah Yusof. 2016.
“RELASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Studi
Tentang Trasdisi Nyadran di Desa Sumogawe Kecamatan Getasan
Kabupaten
Semarang” Diakses pada https://media.neliti.com/media/publications/67299-ID-relasi-islam- dan-budaya-lokal-studi-tent.pdf pada 10
Mei 2020 Pukul 13.30.
[1] Prof Dr Sri Suhandjati , ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA REVITALISASI
KEARIFAN LOKAL, Semarang: CV Karya Abadi Jaya ,2015, hlm11
[2]
Abul A’la Maududi, The Islamic Law and
Constitution , Lahore : Islamic Publication Ltd,1969, p 72
[3]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa,
Jakarta: Balai Pustaka.1984, hlm 417
[4]
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah
Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 1993) hlm 11
[5] Prof Dr Sri Suhandjati , ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA REVITALISASI
KEARIFAN LOKAL , Semarang : CV. Karya Abadi Jaya , 2015 . hlm 36-37
[6]
Simuh,
Islam dan Pergumulan Budaya Jawa , Jakarta : Teraju , 2003 hlm 41-42
[7]
Muhammad
Damami , Makna Agama dalam Masyarakat Jawa , (Yogyakarta: LESFI, 2002) hlm 2.
Komentar
Posting Komentar