RELASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL TENTANG TRADISI TAHLILAN DI DESA KAMPUNG NDORO KABUPATEN DEMAK
RELASI ISLAM
DAN BUDAYA LOKAL TENTANG TRADISI TAHLILAN
DI DESA KAMPUNG
NDORO KABUPATEN DEMAK
Jamal Hajji
Wicaksono
Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora
UIN Walisongo Semarang
Abstrak
Tradisi tahlilan tersebut
hingga saat ini masih kita jumpai di kalangan masyarakat Nusantara, sekalipun
ada di antara masyarakat kita yang mulai meninggalkannya dengan berbagai
alasan, baik alasan ekonomis maupun teologis. Karena ini dianggap tidak
diajarkan oleh Rasulullah secara eksplisit, sebagian masyarakat yang menolak
acara yasinan dan tahlilan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa tahlilan
memiliki landasan normatif, baik dari al-Qur’an, hadis Nabi, maupun pendapat
ulama. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa upacara tahlilan merupakan
salah satu di antara kasuistik terkait tentang budaya Islam Nusantara yang nota
bene fenomena akulturasi agama dan kearifan lokal (local wisdom). Tahlilan yang
merupakan tradisi Islam Nusantara yang bertujuan untuk menyatakan simpati dan
empati kepada keluarga yang ditimpa musibah kematian. Tahlilan itu merupakan
tradisi yang syar’i. Atau dengan kata lain, tahlilan merupakan syariat yang di
tradisikan.
Kata Kunci : tahlilan, kearifan lokal, akulturasi, tradisi
dan pandangan masyarakat di desa kampung ndoro kabupaten demak tentang tradisi
tahlilan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita
mengenal sebuah upacara keagamaan yang sudah mentradisi di tengahtengah
masyarakat Muslim Nusantara salah satunya di daerah demak di desa kampung
ndoro, ketika terjadi kematian, yang
lazim dikenal dengan istilah tahlilan atau yasinan di hari ke-7, 40, 100, 1000,
dan setahun (haul), dan seterusnya. Tahlilan berasal dari akar kata “tahlil”
yang kemudian dalam Bahasa Indonesia ditambah dengan akhiran “an”. Tahlil merupakan
isim mashdar dari kata “hallala,
yuhallilu, tahlil” yang berarti mengucapkan kalimat la ilaha illallah. 1 Kata
“tahlil” yang ditambah akhiran “an” maknanya jadi sedikit bergeser. Kata
tahlilan tidak lagi hanya bermakna mengucapkan kalimat la ilaha illallah,
melainkan nama sebuah event di mana di dalamnya dibacakan ayat-ayat al-Qur’an
dan dilafalkan kalimat-kalimat thayyibah lainnya serta do’a untuk si mayit.
Atau dengan bahasa lain, tahlilan, merupakan sebuah bacaan yang komposisinya
terdiri dari beberapa ayat al-Qur’an, shalawat, tahlil, tasbih dan tahmid, yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal, dengan prosesi bacaan
yang lebih sering dilakukan secara kolektif (berjamaah), terutama dalam
hari-hari tertentu setelah kematian seorang Muslim. Dikatakan tahlilan, karena
porsi kalimat la ilaha illallahdibaca lebih banyak dari pada bacaan-bacaan yang
lain.
PEMBAHASAN
Pengertian Islam budaya dan pandangan masyarakat kampung ndoro kabupaten Demak terhadap
tradisi Tahlilan
Definisi
Tentang Budaya Lokal Tahlilan dan pandangan masyarakat di desa kampung ndoro
kabupaten Demak. Tahlilan adalah
ritual/upacara selamatan yang dilakukan
sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia
dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah
meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh,
dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua,
ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.
Kata "Tahlil" sendiri secara
harfiah berarti berizikir dengan mengucap kalimat tauhid "Laa ilaaha
illallah" (tiada yang patut disembah kecuali Allah). Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga
orang Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman wali songo yang sampai
sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan ada sebagian
orang masih mempercayai bahwa tradisi semacam ini dapat membawa keberuntungan
tersendiri bagi yang menyelenggarakannya. Keberuntungan ini bisa berupa ketenangan
hati bagi yang berhajat, berlimpahnya rezeki serta menambah rasa kebersamaan
antar sesama dan bahkan mampu menambah dekat kepada Sang Pencipta selaku
pemberi rezeki.
Namun apabila kita mau jujur,
asal usul tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Budha yang
termodifikasi oleh ide-ide kreatif pada wali songo, penyebar agama Islam di
Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih
mempercayai kepada makhluk-makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha
meminta sesuatu kepada makhluk-makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang
dikehendakinya. Agar keinginan itu terkabul, maka mereka membuat semacam
sesajen yang nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti
punden dan pohon-pohon besar.
Menurut pendapat dan
tanggapan masyarakat di desa kampung ndoro kabupaten demak , tahlilan merupakan
tradisi orang islam kejawen ,yang di ajarkan oleh para walisongo. Sering di
lakukan oleh masyarakat di desa kampung Ndoro. Karena mayoritas masyarakat di
kabupaten demak, karna demak dulu msyoritas orang islam kejawen yang di
sebarkan secara luar oleh para walisongo. Tidak ada pro kontra di masyarakat
kampung ndoro, karna toleransi di antara NU dan Muhammadiyah sangatlah erat .
Mayoritas di masyarakat di
desa kampung ndoro Kebanyakan menganut ajaran Nahdatul Ulama, maka dari itu
tradisi tahlilan sudah sangat melekat di desa kamung ndoro kabupaten Demak. KH Abdul Manan A.Ghani, Ketua
Lembaga Ta'mir Masjid PBNU, menuliskan bahwa tahlilan sering dilakukan secara
rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya.
Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang
dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya
bisa sampai kepada mayit tersebut.
Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang
mengatakan bahwa
وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا
Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan
jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab
Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan doa, tetapi juga disunahkan
bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an lalu setelahnya
diiringi berdoa untuk mayit. Begitu
juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan
oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah
SAW pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua
sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam
kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.
Oleh karena itu mayoritas masyarakat di desa kampung ndoro
kabupaten demak, sering melakukan tradisi tahlilan ketika ada orang meninggal
ataupun membaca yasin dan ayat ayat Al Quran di hari malam jumat. Tetapi tidak
harus juga membacanya di hari malam jumat, di hari lain juga bisa ataupun
setiap hari. Pengaruh antara agama dengan
kebudayaan seringkali menimbulkan pro dan kontra, dimana keduanya mewakili
tradisi hukum dalam Islam terhadap suatu budaya, salah satunya yaitu budaya
tahlilan.
Tahlilan merupakan tradisi yang terdapat dalam
masyarakat Islam yang telah berakulturasi dengan budaya lokal sehingga
terbentuklah kegiatan ini secara turun-temurun. Tahlilan sebagai aktivitas mengenang
almarhum keluarga yang telah meninggal merupakan hasil sinkretisme antara agama
Islam dengan agama pribumi asli Indonesia, yaitu Budha dan Hindu.
Karena itulah, salah satu hal yang menyebabkan
timbulnya pro dan kontra mengenai keterkaitan antara agama Islam dengan budaya
lokal.
Dimana munculnya perpaduan antara agama dengan
kebudayaan (tahlilan) itu dinyatakan sebagai Bid’ah karena dipengaruhi oleh
warisan budaya non-muslim dan dianggap mengada-adakan sesuatu yang tidak
dianjurkan oleh Rasulullah serta para sahabat lainnyaHukum Tahlilan dan
Nilai-Nilai Yang Terkandung Didalamnya
Hukum tahlilan yang seringkali menjadi
perdebatan beberapa pihak yang banyak menimbulkan pro dan kontra diantara kedua
pihak yang berbeda pandangan tersebut.
Ditambah
lagi dengan penghidangan/pemberian makanan pada saat acara tahlilan yang
menambah gencar pihak yang menentang acara tahlilan dalam mengharamkan tradisi
tahlilan, dikarenakan tidak dilakukan oleh Rasulullah, dan merupakan kegiatan
yang meniru budaya agama pra-Islam, yaitu Budha dan Hindu.
Tahlilan dengan menghidangkan/memberikan makanan
kepada pelayat atau pada saat tahlilan dianggap sebagai kegiatan meratap yang
dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:”Kami
(yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami
para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan
makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”
Adapun hadist yang tidak melarang tentang
pemberian makanan dari keluarga kepada para pelayat dijelaskan dengan riwayat
dalam Shahih Al-Bukhari dari Aisyah :
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah
satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian
pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau
memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung
yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan
sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah
makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa sup dapat
melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh
keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut
karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah
dan menghormati para tamu yang datang untuk bertakziyah.
Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan
untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga
yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).”
Perbedaan pendapat dan pandangan dari berbagai
pihak mengenai budaya/tradisi tahlilan ini juga menimbulkan pro dan kontra
mengenai hukum tahlilan yang sering disebut sebaga bid’ah oleh pihak yang tidak
menyetujui pelaksanaan tahlilan.
Karena menurut mereka budaya/tradisi tahlilan
merupakan suatu perkara yang diada-adakan maka disebut bid’ah, dan bid’ah
adalah kesesatan. Tentu mereka memiliki alasan tersendiri menurut apa yang
mereka pelajari dan mereka pahami dalam persoalan agama dan tradisi sehingga
mereka berani menyatakan bahwa budaya/tradisi tahlilan termasuk kedalam bid’ah.
Karena tanpa dalil tertentu mereka tidak akan sembarangan menuduh hal tersebut
menjadi sesuatu yang diharamkan.
Adapun hadist-hadist yang membahas mengenai
Bid’ah, diantaranya :
Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam
urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut
tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718) muntafaqun ‘alaih
Hadist 2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan
berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
muntafaqun ‘alaih
Hadist 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap
memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan :
ضَلاَلَةٌ بِدْعَةٍ وَكُلُّ مُحْدَثَاتُهَا رِالأُمُو وَشَرُّ مُحَمَّدٍ هُدَى الْهُدَى وَخَيْرُ اللَّهِ كِتَابُ الْحَدِيثِ خَيْرَ فَإِنَّ بَعْدُ أَمَّا
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan
adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang
diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap
bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap
pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya” (HR. Ath Thabrani dalam Al
Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib
no. 54)
Adapun pengertian Bid’ah dalam agama Islam
adalah sebuah peribadahan yang tidak pernah diperintahkan ataupun dicontohkan
oleh Nabi Muhammad Saw., atau dikerjakan oleh para sahabat, tetapi banyak
dilakukan oleh umatnya.
Dengan penyataan pihak yang tidak
menyetujui pelaksaan tahlilan dan menuduh tahlil sebagai bid’ah, apakah ada
hadist atau ayat Al-Qur’an yang secara jelas menyatakan tentang keburukan
pelaksanaan tahlilan ? Adapun dijelaskan dalam perintah Allah Swt dalam surat
al-Hasyr ayat 7 yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah”. Kemudian dipertegas oleh
hadist Nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yakni ”Jika aku memerintahkan
sesuatu maka lakukanlah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
Sudah jelas baik ayat maupun hadist tidak ada
yang mengatakan bahwa yang tidak dilakukan oleh Nabi Saw harus ditinggalkan.
Sedangkan berdasarkan sejarah pada masa
penyebaran agama islam di Nusantara para wali hanya ingin meluruskan
budaya/tradisi agama-pra islam dengan cara yang fleksibal agar dapat dengan
mudah menyebarluaskan dakwah Islam dan menyeru masyarakat untuk masuk agama
Islam.
Budaya/tradisi umat pra-Islam ketika ada orang
yang meninggal dunia adalah berkumpul di rumah duka pada malam hari untuk
berjudi, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya. Lambat laun seiring dengan Islam
yang mulai menyentuh mereka, acara tersebut diisi dengan nilai-nilai keislaman
yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga
duka, serta masyarakat secara umum. Dari sinilah
tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat seperti yang diamalkan
masyarakat hingga saat ini.
Tradisi kumpul-kumpul yang dilakukan oleh
masyarakat pra-Islam dahulu tidak dirusak dan dibubarkan begitu saja. Karena
jika demikian, akan sangat sulit untuk menyebarluaskan agama Islam di tengah
masyarakat-masyarakat non-muslim karena budaya/tradisi tersebut sudah mendarah
daging dalam kultur masyarakat jawa pada saat itu.
Adapun tujuan acara tahlilan juga untuk
menghadiahkan pahalanya kepada si mayit, agar dapat meringankan bebannya di
alam kubur, tetapi hal ini juga masih menimbulkan pro dan kontra mengenai
tujuan tersebut.
Dimana pihak yang tidak menyetujui
pelaksanaan tahlilan beranggapan bahwa pelaksanaan tahlilan dengan menujukan
pahalanya kepada si mayit itu tidak akan sampai, karena hanya 3 perkara yang
mengalirkan pahala disaat seseorang telah meninggal dunia, diantaranya :
Sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak-anak yang saleh/salehah.
Tetapi dilain pihak, yaitu pihak yang menyetujui dan melaksanakan acara
tahlilan, mereka juga memiliki alasan mengenai tujuan baik yang menujukan
pahala untuk meringankan beban orang yang telah meninggal tersebut berdasarkan
hadist yang mereka ketahui.
Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang
dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya
bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
lainnya;
“Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa
Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak
dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya.
Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara
kalian. (H.R. Abu Dawud, dll)”
Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti
Imam Syafi’i yang mengatakan,
“Bahwa, disunahkan membacakan ayat-ayat al-Qur’an
kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.”
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya
menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi
orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya
diiringi berdo’a untuk mayit.
Islam dan Budaya Jawa dalam Kajian
Begitu juga Imam al-Qurthubi
memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita
tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw pernah
membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda
“Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini
menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi kemudian
berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu
bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan
teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lain-lainnya juga dapat
memberikan bermanfaat bagi si mayit.
Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan:
“Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan
menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada
mayit tersebut.”
Entah mana pendapat yang lebih kuat diantara
perbedaan pandangan antara 2 hal tersebut, kita hanya perlu saling menghormati
semua pendapat dan menerima perbedaan dengan baik.
Tanpa harus mencaci pendapat
orang lain yang tidak sejalan dengan kita itu akan jauh lebih baik, menciptakan
perdamaian dibalik sebuah perbedaan pasti akan terasa indah dan saling
menghargai berbagai pendapat akan menumbuhkan rasa damai serta jauh dari kata pertentangan.
Salah Satu Faktor Yang Menyebabkan Perbedaan Pemahaman Acara Tahlilan
Organisasi Muhammadiyah dan NU
Organisai Muhammadiyah sejak semula menempatkan
diri sebagai salah satu organisasi keagamaan islam yang berkhidmat
menyebarluaskan agama islam sebagaimana Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Organisasi muhammadiyah dalam menetapkan tuntunan yang berhubungan
dengan masalah agama baik bagi kehidupan perseorangan atau bagi kehidupan
bermasyarakat adalah berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan bilamana ada
suatu persoalan yang belum ada tuntunannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul,
maka dilakukan ijtihad. Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan berfikir
dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam, berdasarkan wahyu dengan pendekatan
tertentu. Dalam hal ini organisasi Muhammadiyah berpendirian bahwa pintu
ijtihad senantiasa terbuka.
Organisasi Nahdhotul Ulama adalah organisasi keagamaan yang mengakui
sebagai penganut mazhab Ahlu al-sunnah wa al-jama’ah, yaitu suatu mazhab tidak
hanya membahas mengenai aqidah, tetapi mengenai fiqih dan akhlaq atau tasawuf.
Dalam hal aqidah mengikuti mazhab yang dipelopori oleh Imam Al-Asy’ari dan Imam
Al- Maturidi, dalam bidang fiqih mengikuti salah satu mazhab yaitu Imam
Syafi’i.
Organisasi Nahdhotul Ulama’ dalam menentukan
suatu hukum, lebih dahulu mencari dan menggali pendapat Ulama, terutama yang
bermazhab Ulama Syafi’i, baru setelah itu Al-Quran dan Al-Sunnah, artinya dalam
menyikapi suatu masalah keagamaan, organisasi Nahdhotul Ulama dapat dikatakan
menangguhkan penilaian (pendekatan normatif, yaitu yang langsung mendasar pada
Al-Qur’an dan Al-Sunnah).
Clifford Geertz menganalisa pertentangan doktrin organisasi Muhammadiyah
dan organisasi Nahdhotul Ulama membagi menjadi lima pasang yang saling bertolak
belakang. Lima pasang pertentangan yang diajukan oleh Clifford Geertz sebagai
berikut:
1. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung kurang
menaruh perhatian (tetepi masih memperhatikan juga) terhadap kemurnian Islam
mereka dan lebih memiliki kelonggaran untuk membolehkan upacara-upacara non
Islam, paling sedikitnya bersedia memberikan suatu tempat kecil dalam
lingkungan keagamaan. Kelompok Muhammadiyah cenderung tetap menuntut Islam yang
sudah dimurnikan dari tiap anasir keagamaan lain.
2.
Kelompok Nadhotul Ulama cenderung untuk membenarkan praktek dengan kebiasaan
dan berdasarkan mazhab yang terperinci dalam kitab-kitab ulasan keagamaan yang
tradisional. Kelompok Muhammadiyah cenderung untuk membenarkan hal itu atas
dasar nilai pragmatisnya dalam kehidupan masa kini dan dengan penunjukan umum
kepada Al-Quran dan Hadist yang ditafsirkan secara jelas.
3. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung
menitikberatkan hubungan dengan Tuhan di mana penerimaan rahmat dan berkat
sebagai hasil kemurahan-Nya dan sebagai ganjaran untuk keteguhan dan suatu
pengertian bahwa peruntungan seseorang seluruhnya ditetapkan oleh kehendak
Tuhan merupakan ciri-ciri pokoknya. Kelompok Muhammadiyah cenderung
menitikberatkan hubungan dengan nama kerja keras dan penentuan nasib sendiri
jadi titikberatnya.
4. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung untuk
memegangi konsep ‘totalistk’ mengenai pegangan agama dalam kehidupan, di mana
segi usaha manusia cenderung menerima makna keagamaan dan di mana batas antara
apa yang bersifat keagamaan dan sekuler, cenderung kabur. Kelompok Muhammadiyah
memegang pengertian yang sempit tentang agama di mana hanya aspek-aspek
tertentu yang jelas batasnya yang dianggap suci dan di mana batas antara apa
yang agama dan apa yang sekuler cenderung cukup tajam.
5. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung untuk
memberi tekanan pada aspek penyempurnaan langsung agama, untuk memberi tekanan
pada pengalaman keagamaan. Kelomok Muhammadiyah cenderung memberikan tekanan
pada aspek instrumental agama dan sangat memperhatikan tingkah laku keagamaan.
Organisasi Muhammadiyah memandang persoalan keagamaan yang tercampuri
dengan tradisi atau budaya dari luar agama Islam dipandang menyalahi hukum
Islam, oleh karena itu harus dibersihkan atau direformasikan (tajdid)
sebagaimana ciri dari perjuangan dakwah organisasi Muhammadiyah. Adapun
beberapa kegiatan keagamaan yang dikategorikan oleh organisasi Muhammadiyah
sebagai tradisi budaya dan bukan suatu ajaran dari agama Islam diantara ialah
tahlilan, khaul dan berzanzi.
Dari kegiatan keagamaan tersebut, tahlilan nampaknya cukup mendapat
perhatian serius dari organisasi Muhammadiyah. Hal tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa tahlilan merupakan suatu aktivitas keagamaan yang paling sering
dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi suatu peristiwa yang dianggap
penting. Salah satunya adalah menyikapi peristiwa kematian seseorang.
Penentangan organisasi Muhammadiyah mengenai
tahlilan bukan terletak pada pelarangan membaca kalimat thoyyibah, akan tetapi
hal-hal yang menyertainnya.
Adapun tekad mendirikan organisasi Muhammadiyah adalah keinginann untuk
berjuang menegakkan dan menyiarkan agama islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan
as-Sunnah terutama dalam bidang tauhid dan ibadah yang dinilai oleh K.H. Ahmad
Dahlan telah banyak tercampuri ajaran dari luar ajaran islam, sehingga harus
dibersihkan agar umat islam dapat menanamkan jiwa dan amalan agama yang bersih dan lurus sebagaimana ditentukan
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tradisi Tahlilan
Pandangan organisasi Nahdhotul Ulama terhadap
tahlilan sangat bertolak belakang dengan pandangan organisasi Muhammadiyah.
Dikembangkannya tahlilan sebagai salah satu metode dakwah Nahdhotul Ulama, pada
dasarya tidak terlepas dari paradigma
yang dipakai para ulama Nahdhotul ulama yaitu “memelihara warisan yang lama
yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik” (al-muhafadhatu alal-qadimis
shalih ma’al-akhdzi bil jadidil-ashlah). Diambilnya paradigma tersebut terkait
erat dengan kondisi masyarakat islam pada waktu itu, terutama masyarakat
pedesaan yang sangat erat antara agama dan budaya.
Dalam perkembangannya, organisasi Nahdhatul Ulama cenderung lebih
menitikberatkan pada masalah-masalah yang banyak diilhami oleh budaya atau
tradisi yang keberadaannya jelas-jelas diakui oleh organisasi Nahdhatul Ulama.
K.H.
A.
Muchith Muzadi dalam bukunya yang berjudul “NU
dan Fiqih Kontekstual” mengatakan sebagai berikut:
1. Agama islam bukan
kebudayaan, tetapi islam tidak menghapus dan menolak kebudayaan, kecuali yang
tidak sejalan, tidak sesuai, merugikan atau bertentangan
dengan islam.
2. Budaya lama yang baik, dipelihara dan
dikembangkan, sedang budaya baru yang lebih baik dicari dan dipergunakan.
Salah satu tradisi lama yang dipandang baik oleh
oganisasi Nahdhotul Ulama adalah tahlilan, istighatsah, dan lain sebagainya,
yang semua itu kemudian diperkuat oleh penegasan secara terbuka sebagai
identitas warga Nahdhotul Ulama. Tahlilan bukanlah agama, tetapi budaya yang
baik dan patut dilestarikan
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kehadiran Islam ke Nusantara tidak lepas
dengan nuansa di mana Islam itu lahir. Sungguhpun demikian, ia mampu
beradaptasi dengan kebudayaan lokal di mana Islam itu datang. Proses
persenyawaan keislaman dengan kenusantaraan menjadikan Islam yang ada di Nusantara
ini mudah diterima oleh masyarakat, tidak ada resistensi, justru yang ada
adalah penyambutan.
Sungguhpun
ada modifikasi, itu tidak lebih pada injeksi nilai-nilai keislaman dalam
tradisi yang telah ada. Demikian juga dengan event tahlilan, yang sarat akan
nuansa simpati dan empati masyarakat terhadap keluarga yang ditinggalkan si
mayit, menurut masyarakat di desa kampung ndoro kabupaten Demak, sangat perlu
dilestarikan.
Acara
tahlilan serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya sudah menjadi budaya/tradisi
masyarakat jawa yang sudah medarah daging dalam kehidupan masyarakat, meskipun
banyak menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak mengenai hukum pelaksanaan
tahlilan, boleh atau tidaknya pelaksaan acara tersebut, tidaklah bisa
melunturkan budaya/tradisi tahlilan di tengah-tengah kebiasaan masyarakat.
Dikarenakan
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak lama dan merupakan kegiatan
yang bermanfaat karena didalam pelaksanaan acara tahlilan terdapat bacaan
dzikir, ayat-ayat Al-Qur’an, pembacaan do’a-do’a dan lain sebagainya, yang
dimaksudkan pahalanya ditujukan untuk orang yang telah meninggal dan diharapkan
dapat meringankan beban mereka di alam kuburnya. Dalam penyedian/pemberian
makanan juga bertujuan untuk shodakoh yang diharapkan pahalanya juga bisa
sampai kepada orang yang telah meninggal tersebut.
Percaya
atau tidak dan baik buruknya budaya/tradisi tahlilan, tentu mereka yang
memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda mengenai hukum pelaksanaan
tahlilan serta apapun yang terdapat didalam acara tersebut, dilandasi oleh
pengetahuan mereka mengenai agama dan tradisi berdasarkan dalil-dalil serta
hadist yang mereka ketahui dan pelajari, tentu mereka memiki alasan
masing-masing dalam menyatakan hukum budaya/tradisi tahlilan. Selagi kegiatan itu
tidak merugikan pihak lain dan dapat memberikan manfaat, lebih baik kita saling
menghormati serta menghargai segala pendapat dari pihak manapun. Karena sebesar
apapun pertentangan antara pihak yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan
tahlilan, tidak akan bisa merubah budaya/tradisi tersebut.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
dan Terjemahannya,
Departemen Agama RI, 2011.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, al-Mathalib
al-‘Aliyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/
1989 M.
Al-Harrani, Ibnu Taimiyyah Majmu’ Fatawa,
Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H/
1984.
Al-Khadimi, Abu Sa’id, Bariqah Mahmudiyah fi
Syarh Thariqah
Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/
1989 M.
Al-Nisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj
al-Qusyairi, Shahih Muslim.
Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1409 H/ 1989 M.
Azra, Azyumardi, Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal, Bandung:
Mizan, 2004.
________, Jaringan
Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 2002.
Dhaif, Syauqi, Al-Mu’jam al-Wasith. Kairo:
Maktabah Shurouq al-Dauliyyah,
1432 H/ 2011 M.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed), Menjadi Indonesia; 13 Abad
Eksistensi
Islam di Bumi Nusantara,
Bandung: Mizan, 2006.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 2011.
________, Psikologi Kematian, Bandung: Mizan,
2006.
________, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi,
Jakarta: Paramadina, 2003.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia,
Yogayakarta: 1997.
Pranowo, Bambang, Islam Faktual; Antara Tradisi dan Relasi Kuasa.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1999.
Suripto, Ida Bedande Adi, Nilai-nilai Hindu dalam Budaya Jawa; Serpihan yang
Tertinggal, Yogyakarta: Warna Grafika, 2009.
________, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
________, Pergulatan
Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara,
2001.
Woordwark, Mark. R, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
Yogyakarta: Lkis, 2006.
Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 26 Tahun
2008.
http://www.m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,46661-lang,id-c,buku-t
Komentar
Posting Komentar