RELASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL TENTANG TRADISI SEDEKAH BUMI DI DESA JAPAH KECAMATAN JAPAH KABUPATEN BLORA

RELASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL TENTANG TRADISI SEDEKAH BUMI DI DESA JAPAH KECAMATAN JAPAH KABUPATEN BLORA

 

Yesi Arum Sari (1904036038)

Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Humaniora

UIN Walisongo Semarang

 

 

Abstrak

Sedekah Bumi (Nyandran) merupakan sebuah tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat Japah, Blora. Penelitian ini mendeskripsikan sedekah bumi menggunakan metode etnografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedekah bumi dilaksanakan setelah Masyarakat Blora panen hasil bumi secara serentak. Tujuan diadakannya sedekah bumi yaitu pertama untuk mengungkapkan rasa syukurkepada Allah SWT atas nikmat yang diberikan kepada masyarakat dengan adanya hasil panen yang melimpah. Kedua, untuk menghormati para leluhur yang telah berjasa dalam membuka lahan (babat alas) sebagai tempat huni masyarakat sekaligus tempat untuk mencari kehidupan. Ketiga, adanya pelaksanaan sedekah bumi dapat memperkuat solidaritas antar masyarakat satu dengan lainnya, Keempat dilestarikannya budaya-budaya asli daerah. Manfaat yang selama ini diperoleh masyarakat Blora dengan diadakannya tradisi Sedekah Bumi masyarakat merasakan rasa lebih dekat dengan Sang Pencipta, jauh dari gangguan (bala) dan penyakit, hasil panen lebih baik.

Kata kunci : Ritual, Sedekah bumi

 

      I.      PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Islam dan budaya memiliki relasi yang tak terpisahkan, dalam islam sendiri ada nilai universal absolut sepanjang zaman. Namun demikian, Islam sebagai dogma tidak kaku dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika menghadapi masyarakat yang dijumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi. Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.

Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup didalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi kebudayaan perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final,universal,abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular,relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan dapat tempat. Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan spirit nash al-Qur’an dan Sunnah.

 Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Tradisi dan budaya jawa hingga akhir-akhir ini masih menominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia dan termasuk di Desa Japah Kecamatan Japah Kabupaten Blora. Dalam konteks ini yang menjadi nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia. Begitu pula istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.

 Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan Indonesia, melainkan juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek keagamaan. Masyarakat jawa memiliki tradisi dan budaya yang sangat variatif dan banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindu dan Budha yang terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawa, meskipun terkadang tradisi dan budaya Jawa bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memegang ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah nama budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Fenomena ini terus berjalan hingga sekarang.

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang ditakdirkan untuk patuh pada peraturan alam dan terkait pada interaksi alam dan lingkungan sosial budayanya dimanapun manusia tesebut berada. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika dalam kehidupan manusia terdapat lingkaran kehidupan yang saling keterkaitan antara manusia dengan alam atau lingkungan dimana manusia tersebut berada.

         Lingkungan digambarkan sebagai media yang digunakan manusia untuk bertahan hidup. Manusia mencari penghidupannya dilingkungan yang telah disediakan oleh Allah SWT, lingkungan atau dapat disebut dengan alam tempat manusia hidup mempunyai kekhasan tersendiri, yaitu mempunyai fungsi kompleks dan rill untuk manusia. Selain manusia memanfaatkan fasilitas (alam) yang telah Allah SWT berikan, Maka hendaklah manusia memberikan timbal balik atas apa yang diperolehnya berupa tindakan positif terhadap alam dan lingkungan sebagai tempat manusia mencari penghidupan.

 Manusia dapat melakukan sebuah tindakan sebagai wujud dari balas budi atau timbal balik yang positif pada lingkungan (alam) tempat manusia mencari penghidupan. Sebagaimana yang menjadi konsep budaya manusia yang terdiri dari gagasan, aktivitas, tindakan, juga wujud (sebagai benda). Manusia mengaktualisasikan rasa syukurnya melalui gagasan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan atau aktivitas. Hal ini yang menjadi dasar masyarakat Japah, Blora mengaktualisasikan rasa syukurnya atas semua yang diberikan atau dikaruniakan Allah swt. melalui sebuah budaya sebagai cipta karya masyarakat sendiri, yaitu sedekah bumi yang kemudian diartikan sebagai sebuah akulturasi masyarakat untuk melaksanakan sedekah bumi

Kemudian, bagaimana pandangan Islam tentang budaya yang telah mentradisi didalam masyarakat sebagai wujud atau cara masyarakat untuk mengaktualisasikan rasa syukurnya kepada Allah swt. Tradisi tersebut juga merupakan bentuk rasa sayang serta hormat kepada alam dan leluhur yang telah berjasa pada kehidupan masyarakat Japah, Blora yang teraktualisasi dalam tradisi sedekah bumi. Hal tersebut tentu tidak menjadi masalah apabila dalam pelaksanaan sedekah bumi tidak dianggap berlebihan, dan pelaku sedekah bumi tidak menyimpang dari syariat Islam

Tentu manusia merupakan makhluk tempatnya lupa dan salah, sehingga perlu adanya sebuah tanda atau pengingat bagi manusia untuk senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah swt. merupakan pengingat bagi masyarakat untuk senantiasa bersyukur kepada Allah swt atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Selain itu, agar supaya masyarakat menghormati jasa-jasa leluhur yang berjasa membuka lahan (babat alam) tempat tinggal masyarakat, serta sebagai pengingat untuk senantiasa menjaga lingkungan (alam) sebagai tempat masyarakat mencari penghidupan. Sesungguhnya Allah swt sangat luas pengetahuan-Nya, sebagaimana yang telah difirmankan Allah swt:

“Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat). Sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka) (QS. Al A’raf: 7). [1]

 

   II.      PEMBAHASAN

Pengertian Islam dan Budaya

Secara bahasa islam berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “salima” yang mempunyai arti “selamat”. Dari kata “salima” tersebut terbentuk kata “aslama” yang memiliki arti “menyerah, tunduk, patuh, dan taat”. Kata “aslama” menjadi pokok kata Islam, mengandung segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang melakukan “aslama” atau masuk Islam dinamakan muslim. Berarti orang itu telah menyatakan dirinya taat, meyerahkan diri, dan patuh kepada Allah dengan melakukan “alama” maka orang terjamin  keselamatannya di dunia dan di akhirat.Selanjutnya dalam uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tuduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah swt.

Islam dari segi istilah banyak para ahli yang mendefinisikannya di antaranya Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) agama yang ajaran-ajarannya diwayuhkan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad sebagai utusanya. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenal berbagai segi dari kehidupan manusia. Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian dan dua ajaran pokoknya yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata bahwa adama Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi Allah, sebagai mana tersebut dalam al-Qur’an melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya pada undang-undang Allah swt.

Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu, golongan tertentu, atau negeri tertentu. Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Allah swt. Hal itu dapat dipahami dari petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan Allah. Selanjutnya, dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus oleh Allah kepada berbagai kelompok manusia dan berbagai bangsa yang ada di dunia ini. Islam adalah agama Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Isa, Nabi Muhammad saw.

Menurut kamus besar Indonesia, budaya didefinisikan sebagai pikiran, akal budi, adat-istiadat sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar di ubah. Sedangkan, kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat-istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang [2]digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya

Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah laku dan tindakan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa komponen wujud terbentuk dari tiga aspek yaitu ide, gagasan, dan tingkah laku. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian. Ketujuh unsur ini saling berkolaborasi dalam penyusunan terbentuknya komponen isi

Budaya, menurut Farr dan Ball adalah pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat, yang berkaitan dengan perilaku mereka. Selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya adalah hasil kegiatan dan penciptaan akal budi manusia, misalnya kesenian, kepercayaan dan adat istiadat. Dari pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa budaya akan selalu berkaitan dengan cara hidup sekelompok masyarakat, termasuk cara anggota masyarakat budaya itu berkomunikasi atau bertutur. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Goodenough bahwa budaya adalah hal-hal yang perlu diketahui dan dipercayai oleh seseorang agar ia dapat bertingkah laku dengan cara yang bertrima dalam kelompok masyarakatnya

Horton menjelaskan bahwa budaya menentukan standar perilaku, karena budaya adalah sistem norma yang mengatur cara-cara merasa dan bertindak yang diketahui dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Penerapan norma-norma tersebut telah menjadi kebiasaan bagi anggotanya karena dilaksanakan berulang-ulang, dan norma-norma tersebut menjadi lazim bagi mereka. Dari norma-norma yang dimiliki itu, kemudian kelompok masyarakat dapat mengetahui bentuk peruilaku dan tindak tutur yang menunjukkan budaya kesopanan, hal yang baik dan yang tidak berhubungan dengan kebiasaan, demikian pula dalam hal strategi bertutur karena cara hidup (ways of living) sekelompok masyarakat akan selalu berdampingan dengan cara bertindak tutur atau berkomunikasi masyarakat yang bersangkutan

 

Islam dan Budaya Jawa dalam Kajian

  Islam dan budaya Jawa memiliki hubungan yang sangat kental dimana telah banyak dikaji oleh para pakar antropologi dan studi keislaman. Kebudayaan dari mereka berpendapat bahwa dalam berbicara tentang Islam Jawa, perlu kiranya mengenal karya sepektakuler Clifford Geertz, “The Religion of Jawa” yang telah diterjemahkan oleh Aswab Mahasin kedalam bahasa Indonesia menjadi “Ambangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa”. Karya Geertz tersebut merupakan embrio dari pemikiran setelahnya tentang Islam di Indonesia.[3]

Geertz menulis karyanya pada awal tahun 1960-an Meski karya Geertz itu terlihat tua dan telah banyak mendapat kritik dan berbagai kalangan, tetapi karya Geerrtz sampai sekarang tetap menjadi kajian yang dapat membuat para pakar dalam memulai penelitian tentang Islam Indonesia lebih khusus Islam di Jawa. Yang menjadi menarik dari karya Geertz ini tidak hanya terletak pada kecermelangan Geertz menyajikan data empiris mengenai keberagaman masyarakat Jawa. Namun, juga karena keahlian Geertz dalam memandang masyarakat Jawa dan membaginya ke dalam beberapa varian.

Greetz memandang bahwa Islamisasi di Jawa, yang dimulai pada abad ke tiga belas, adalah parsial dan variabel. Muslim yang taat, yang disebut santri. Terpusat dipesisir utara, di daerah-daerah pedean dimana terdapat sekolah-sekolah tradisional Islam, dan dikalangan para pedagang di perkotaan. Yang disebut dengan abangan adalah mayoritas petani, yang meski secara nominal adalah Islami, tetapi terkait dalam animisme Jawa dan tradisi nenek moyang. Golongan tradisional, terpandang terutama di perkotaan, meski secara nominal muslim, memperaktekan bentuk mistisime yang berasal dari Hindu-Buddha sebelum Islam masuk di Jawa. Golongang bangsaan yang kemudian menjadi birokratini, dan orang-orang yang mengadopsi gaya hidup mereka, disebut priyayi.

Berangkat dari varian tersebut, memperlihatkan bahwa Islam yang di peluk orang Jawa adalah artifisial (buatan). Islam Jawa sejatinya adalah Islam yang di lumiri dari praktik-praktik sinkretisme. Pengaruh Islam di Jawa tidak terlalu besar. Islam hanya menyentuh kulit luar budaya Animisme, Hindu dan Budha yang telah mendarah daging yang hampir seluruh masyarakat Jawa. Sinkretisme tersebut pada citra dari masing-masing struktur sosial di tiga varian (abangan, santri, dan priyayi) ritus yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menghalau makhluk halus jahat yang dianggap dari penyebab dari tidak teraturan dan kesengsaraan dalam masyarakat, agar ekuilibrium (keseimbangan) dalam masyarakat dapat dicapai kembali (varian abangan), penekanan pada tindakan-tindakan keagamaan sebagaimana digariskan dalam Islam (varian santri), dan suatu kompleks keagamaan yang menekankan pada pentingnya hakekat halus sebagai lawan dari kasar (kasar dianggap sebagai ciri utama kaum abangan), yang perwujudannya tampak dalam berbagai sistem sosial yang berkaitan dengan etika, tari-tarian, berbagai bentuk kesenian, bahasa dan pakaian (varian priyayi)

Orang Jawa memiliki ritus-ritus tertentu sebagai wadah dari mistisisme yang dilakukannya. Ritus-ritus yang paling permukaan dan umum tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan masyarakat adalah tradisi slametan dan sedekah bumi. Ada beberapa bentuk upacara slametan antara lain slametan kelahiran, slametan khitanan dan perkawinan, slametan kematian, slametan berdasarkan penanggalan, slametan desa dan slametan sela. Sampai disini, tampak sekali ingin mengatakan bahwa Islam Jawa adalah jenis lain dari Islam, meskipun mereka tidak melaksanakan ritus-ritus dari kalangan Islam normatif.

 

Tradisi Sedekah Bumi

Sedekah bumi merupakan sebuah budaya yang telah menjadi tradisi masyarakat Japah, Blora. Tradisi sedekah bumi di Japah, Blora dilaksanakan pada bulan-bulan panen hasil bumi yaitu panen padi, jagung, dan lain sebagainya secara serentak. Masyarakat Japah, Blora yang mayoritas merupakan masyarakat muslim telah memberikan memberikan kesepakatan adanya pelestarian budaya sedekah bumi untuk diadakan tiap tahun. Bahkan pemerintah setempat juga mendukung pelaksanaan sedekah bumi di daerah tersebut. Selain dukungan moral, perintah setempat juga memberikan dukungan materi.

Masyarakat terlihat sangat antusias dalam melaksanakan tradisi sedekah bumi, baik dari kalangan anak-anak, dewasa, dan tua. Semua masyarakat ikut andil dalam pelaksanaan sedekah bumi. Hal tersebut terlihat dari kerelaan masyarakat setempat untuk menyedekahkan hasil panen buminya yang berupa padi (beras), jagung, sayur-sayuran, dan buah-buahan untuk pelaksanaan sedekah bumi. Hasil panen yang telah dikumpulkan kemudian dihias, dan masyarakat sering menyebutnya “gunungan”. Tinggi dari “gunungan” tersebut kurang lebih satu sampai satu setengah meter. Untuk mengangkat “gunungan” tersebut di butuhkan lima sampai tujuh orang. Kemudian gunungan tersebut dibawa ketempat dekat pemakaman leluhur yang dihormati masyarakat setempat.

Pinisepuh yang memimpin pelaksanaan sedekah bumi juga menginstruksikan kepada masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan sedekah bumi dengan baik dan tertib hingga selesai. Sebagai penghormatan masyarakat kepada leluhur yang telah wafat, maka pinisepuh memimpin doa bersama untuk almarhum dan almarhumah leluhur di makam. Makam leluhur yang terkenal dan sering dikunjungi dalam pelaksanaan sedekah bumi yaitu makam “Mbah Mursodo” dan “Mbah Mursa’id”. Pinisepuh juga melakukan ritual seperti menyiram air diatas makam leluhur, menabur bunga, dan wangi-wangian “kemenyan”, menaruh telur ayam, kemudian melantunkan doa kembali.

Setelah berdoa bersama, beberapa tokoh masyarakat memberikan sebutan sekaligus menjelaskan maksud dan tujuan dilaksanakannya sedekah bumi tersebut. Setelah itu, semua masyarakat yang mengikuti prosesi sesekah bumi  makan bersama di tempat terebut. Terdapat sekitar sepuluh “ambeng” yang diletakkan dalam “tampah” atau tempat makanan dari rajutan bambu[4]. Semua masyarakat terlihat rukun satu sama lain, sehingga solidaritas masyarakat terjalin sangat erat. Makanan yang ada di tempat dianggap masyarakat sebagai makanan yang mengandung banyak berkah dari Allah swt.

Pelaksanaan di Japah, Blora juga disertai dengan penampilan seni budaya yang ada, seperti pagelaran tabuh gamelan, seni tari (tayuban), dan pagelaran wayang. Kesenian budaya daerah ditampilkan langsung oleh masyarakat setempat. Meskipun pelaksanaannya dari pagi hingga malam, Masyarakat masih sangat berantusias mengikuti pagelaran seni budaya tersebut

Seperti yang dijelaskan diatas bahwa masyarakat Japah, Blora adalah mayoritas beragama Islam, sehingga dalam pelaksanaan sedekah bumi juga terlihat bernuansa Islami. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya berdoa bersama, membaca tahlil, dan ceramah agama yang dilaksanakan di malam harinya.

Pandangan Masyarakat Tentang Sedekah Bumi

Pelaksanaan sedekah bumi di Japah, Blora juga disertai dengan penampilan seni budaya daerah yang ada, seperti pagelaran tubuh gamelan, seni tari (tayuban), dan pagelaran wayang. Kesenian budaya daerah ditampilkan langsung oleh masyarakat setempat. Meskipun pelaksanaannya dari pagi hingga malam, masyarakat masih sangat berantusias mengukuti pagelaran seni budaya tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa masyarakat Japah, Blora adalah mayoritas agama Islam. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya berdoa bersama, membaca tahlil, dan ceramah Pelaksanakan sedekah bumi oleh masyarakat Japah, Blora tidak hanya sekedar dilaksanakan, namun juga memiliki tujuan. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari beberapa informan menyatakan bahwa tujuan dari sedekah bumi yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat merupakan ungkapan rasa syukur atas rahmat, dan limpahan rezeki yang Allah swt berikan.

Masyarakat Japah, Blora beranggapan bahwa agama Islam merupakan agama yang sangat toleran terhadap semua kebaikan yang menjadi tradisi masyarakat. Sehingga masyarakat tidak berkeinginan untuk meninggalkan apa yang telah menjadi tradisi lama masyarakat. Diantara tradisi yang masih dilakukan adalah mengunjungi makam leluhur yang telah berjasa membuka lahan tempat tinggal masyarakat (babat alas desa), melestarikan apa yang menjadi kesenian budaya daerah, bersilaturahmi dengan sesama masyarakat di tempat yang dianggap bersejarah, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, agar masyarakat tidak meninggalkan ajaran agama Islam, maka dalam pelaksanaan sedekah bumi disisipi beberapa kegiatan yang bermuansa Islami

Dalam pelaksanaan sedekah bumi selain melibatkan kalangan tua juga melibatkan anak-anak, remaja, dan dewasa. Tujuan dari hal tersebut yaitu agar supaya budaya sedekah bumi tidak menjadi luntur atau ditinggalkan oleh generasi muda selanjutnya. Pinisepuh sebagai tokoh masyarakat memberikan pengetahuan tentang sedekah bumi baik dari segi pelaksanaannya dan juga nilai-nilai yang terkandung didalamnya kepada para generasi muda[5][6]

Adapun tujuan pelaksanaan sedekah bumi oleh masyarakat Japah, Blora adalah untuk mengingat para leluhur yang telah meninggal dunia, jasa-jasa leluhur dalam usahanya melakukan pembukaan lahan (babat alas) yang sampai sekarang ditempati masyarakat untuk membangun rumah tinggal dan mencari kehidupan. Penghormatan tersebut dalam prosesi sedekah bumi dilakukan dengan membawa berbagai macam hasil bumi ke tempat dekat pemakaman leluhur. Selain itu, masyarakat juga melaksanakan ziarah kubur dan pembacaan doa bersama untuk para leluhur yang telah meninggal dunia

Pandangan Islam Terhadap Tradisi Jawa Sedekah Bumi

Berdasarkan kacamata agama yang diyakini masyarakat Japah, Blora bahwa tradisi yang berulang-ulang kali dilakukan hingga menjadi sebuah rutinitas merupakan sebuah simbolis ketaatan beragama. Dalam sebuah peribadatan sering masyarakat menggunakan sebuah tradisi, salah satunya yaitu sedekah bumi sebagai sarana untuk mengungkapkan semua rasa syukur, senang dan duka atas roda kehidupan yang dijalani

Penjelasan diatas merupakan sebuah esensi dari kebudayakan yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat. Sehingga pembahasan terkait tradisi sedekah bumi sesuai dengan sebuah teori fungsional dalam kebudayaan. Dalam artian bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem makna-makna simbolis (symbolic system of meanungs) yang sebagian diantaranya memberikan pandangan pada suatu hal yang menjadi kenyataan dan menjadi keyakinan masyarakat. Kemudian sebagian yang lainnya menjadi beberapa harapan normatif bagi masyarakat

Selain itu, A.L Kroeber dan C. Kluckholhn (1952) juga merumuskan bahwa kebudayaan masyarakat merupakan pola nilai-nilai, ide, dan sistem simbolik yang membentuk sekaligus menjadi sebuah arahan perilaku masyarakat. Dengan demikian, tradisi dalam sebuah kebudayaan pada masyarakat merupakan simbolisasi untuk menjadi sarana terbentuknya perilaku masyarakat sesuai dengan norma yang sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri

Kemudian bagaimana pandangan Islam sendiri terhadap keberadaan budaya yang telah menjadi sebuah tradisi masyarakat. Pada hakikatnya keberadaan sebuah budaya tidak terlepas membicarakan tentang simbolisme, begitu pula dalam menyikapi al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber atau pedoman dalam Islam. Ahli syariat mengatakan bahwa sebagian besar yang ada didalam budaya Islam yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat kebanyakan berupa simbolik dan sulit untuk dipahami. Penjelasan tersebut telah memperkuat bahwa keberadaan tradisi sedekah bumi yang dilakukan secara simbolik juga dapat mempunyai makna atau tujuan sendiri bukan semata-mata untuk ingkar atau tidak taat beragama. Hanya saja disini terdapat adaptasi antara tradisi yang sudah mapan dan melekat pada masyarakat dengan ajaran baru yang harus diterima masyarakat juga. Sehingga tidak jarang umat Islam selalu diberikan sebuah nasehat untuk selalu berpikir dalam memahami segala fenomena yang diperlihatkan dalam realita sosial, supaya tidak terjadinya salah pemahaman.[7]

Menelusuri sejarah awal masuknya agama Islam di Jawa dan penyebaran ajaran agama Islam mempunyai karakteristik tersendiri. Para tokoh sering menyebut karakteristik ajaran agama Islam di Jawa lebih sufistik dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Dalam proses penyebarannya, Islam merupakan agama yang mampu berbaur dengan budaya lokal Jawa, meskipun biasanya masih tampak aspek sinkretisnya. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika terdapat masyarakat asli Jawa seperti Japah, Blora masih mempertahankan tradisi Jawa aslinya dan kemudian di akulturasikan dengan unsur nilai-nilai Islam

Berkaitan dengan pandangan dan sikap agama terhadap sebuah tradisi, dapat dikaitkan pula dengan penjelasan kaidah dari Imam Syafi’i yang disebutkan bahwa menghormati pemikiran yang terlahir di lingkup masyarakat seperti pemikiran Imam Mujtahid dan menjadi panutan masyarakat itu lebih baik daripada memperdebatkan sunnah yang masih ikhtilah. Terkait dengan hal demikian, maksud dari penjelasan tersebut yaitu sesama umat muslim hendaknya menjunjung tinggi kehidupan yang harmonisasi daripada harus membuat persoalan yang dapat mencerai beraikan umat, asalkan kesemuanya itu tidak melampaui batas dari ajaran-ajaran Islam.[8]

Sedekah Bumi Sebagai Konvensi Tradisi Jawa dan Islam

Konvensi antara tradisi Jawa yaitu sedekah bumi dengan Islam merupakan wujud dari sebuah konvensi sosial umat berdasarkan adanya pengalaman-pengalaman dalam siklus kehidupan sosial yang telah terjadi. Dalam hal tersebut tidak dapat dipungkiri apabila terjadi penyesuaian antara tradisi lama yang merupakan peninggalan masyarakat dimasa lampau dengan suatu hal yang baru, seperti norma-norma agama yang masuk dan diyakini serta dianut masyarakat setelah tradisi lama ada.

Tokoh masyarakat Japah, Blora merupakan panutan masyarakat dalam mengadakan rancangan kegiatan sosial, baik kegiatan yang berkenan dengan upacara ada, kegiatan perkumpulan masyarakat dan lain sebagainya. Namun, dalam hal sebuah perencanaan kegiatan yang dilakukan oleh para tokoh menyesuaikan dengan apa yang menjadi kehendak masyarakat setempat. Seperti dalam pelaksanaan tradisi Jawa sedekah bumi dikonvensi atau dimufakatkan dengan cara dikolaborasikan dengan unsur nilai-nilai Islam yang pada saat itu berkembang di masyarakat

Adapun sebuah konvensi tradisi Jawa dan Islam yang kemudian terbentuk sebuah perwujudan tradisi sedekah bumi, tidak terlepas dari dorongan atau motivasi masyarakat Japah, Blora untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Adapun alasan masyarakat ikut berpartisipasi dalam tradisi sedekah bumi, selain terdorong oleh sistem kemufakatan kegiatan bersama yang ada dalam masyarakat juga karena dorongan tiap individu untuk mengikuti rangkaian psikologi kompleks. Dengan mengikuti kegiatan yang bernuansa spiritual seperti sedekah bumi, Masyarakat dapat memenuhi ketercapaian rasa kepatuhan kepada Allah SWT, ketercapaian rasa syukur,ketenangan yang mendalam karenalebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Hal ini merupakan suatu fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat Japah, Blora. Kaitannya dengan keikutsertaan masyarakat atau alasan masyarakat ikut aktif dalam kegiatan perspektif sosiologi kontemporer. Sosiologi kontemporer menyebutkan bahwa masyarakat menganut berbagai nilai, semua orientasi yang memberikan pengaruh perilaku dengan mendasarkan pada pemikiran kelompok, di lain hal juga mengakui adanya sebuah dorongan psikologi kepribadian. Maksud dari dorongan psikologi kepribadian tersebut adalah meliputi kebutuhan jiwa yang bersifat kompleks, seperti adanya rasa berkeinginan untuk mendapatkan rasa ketenangan, keselamatan, dan lain sebagainya yang menjadi otoritas pada dirinya sendiri

Berkaitan dengan adanya keinginan untuk mengkonvensikan tradisi Jawa dan unsur-unsur nilai Islami, maka dalam hal tersebut masyarakat melaksanakan tradisi sedekah bumi dengan mengakulturasikan budaya yang dianut masyarakat secara turun temurun dari setiap generasi dengan budaya Islam. Sehingga tampak pada prosesi kegiatan sedekah bumi terdapat budaya Jawa lama yaitu budaya penyajian kemenyan di dekat pemakaman leluhur,tabur bunga, tanam telur di pemakaman, makan bersama di dekat pemakaman, membawa gunungan (makanan hasil bumi), kemudian ditampilkan beberapa kesenian daerah seperti gamelan Jawa, tarian masal (tayuban), wayang kulit, dan lain sebagainya. Sedangkan unsur-unsur Islami yang dilakukan pada prosesi sedekah bumi tersebut yaitu doa bersama di pemakaman (ziarah kubur), membaca tahlil (tahlilan), istighosahan, dan ceramah agama di malam hari

Upacara Adat Sedekah Bumi

Secara etimologi upacara berasal dari bahasa Sansekerta yakni dari kata upa dan care. Upa memiliki arti sekeliling atau menunjuk segala dan care berarti gerak atau aktivitas sekeliling kehidupan umat manusia dalam upaya dan usaha menghubungkan diri dan menyatu dengan Tuhan. Sedangkan secara terminologi upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait pada suatu aturan tertentu yang bersumber dari adat dan agama. Menurut Suyono, upacara adalah sistem aktifitas rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dan berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang terjadi dalam masyarakat.[9][10]

Atau suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku dimasyarakat dalam rangka memperingati peristiwa penting atau lain-lain dengan ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Jadi upacaraa adalah bentuk rangkaian kegiatan dalam hidup bermasyarakat yang tindakannya terkait pada aturan agama maupun adat istiadat dalam bentuk acara makan bersama yang makanannya telah disucikan (diberi do’a) sebagai perwujudan rasa syukur dan trimakasih kepada Tuhan serta didorong oleh hasrat untuk memperoleh ketentraman hati atau mencari keselamatan dengan cara yang telah di tradisikan oleh masyarakat

Sedangkan sedekah bumi biasanya disebut juga dengan selematan bersih desa. Tradisi ini menurut Praktikno dalam penelitiannya. Dimaksudkan untuk memberikan sedekah atau sesaji kepada danyang (Dan Hyung)  sing mbaurekso deso” dsn jugs untuk memberiksn imbal pisungsung yang merupakan sanggan sesanggeman. Disamping itu dimaksudkan pula untuk ngluluri dalam arti menjaga dan memelihara warisan nenek moyang berupa bumi pertanian yang tertata dalam keadaan rapi dan subur, lengkap dengan pengairannya sehingga dapat memberikan penghasilan dan bisa mencakupi kebutuhan hidup masyarakat

Jadi dengan demikian sedekah bumi adalah memberikan sesaji atau sedekah kepada bumi yang telah memberikan penghasilan kepada mereka umumnya bermata pencaharian pertanian dengan harapan agar bumi tetap subur, terjaga dan memberi hasil yang melimpah ruah

 

 

Dampak Tradisi Sedekah Bumi

Pada berkembangnya, Tradisi sedekah bumi mengalami perluasan makna. Bagi mereka yang pulang dari rantauan, sedekah bumi dikaitkan dengan sedekah, beramal kepada para fakir miskin, membangun tempat ibadah, memugar cungkup, dan pagar makam. kegitan tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur yang sudah mendidik, membiayai ketika anak-anak, hingga menjadi orang yang sukses. Bagi perantau yang sukses dan kebetulan diberi rizeki berlimpah, tradisi sedekah bumi dengan beramal merupakan manifesrasi hormat dan penghargaan kepada leluhur

Pelestarian tradisi sedekah bumi merupakan wujud pelestarian budaya adi luhung peninggalan nenek moyang, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi tradisi sedekah bumi yang sangat relevan dengan konteks kekinian. Hal ini karena posisi sedekah bumi tidak hanya sekedar gotong royong membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduru, dan membuat kue apem ketan kolak sebagai unsur utama sesaji. Lebih dari itu sedekah bumi menjelma menjadi ajang silaturahmi, wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan nasionalisme

Saat  pelaksanaan sedekah bumi, kelompok-kelompok keluarga atau trah tertentu, tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, agama, golongan, partai politik, dan sebagainya. Perbedaan itu lebur karena mereka berkumpul menjadi satu, bebrbaur, saling mengasisi, saling menyayangi satu sama lain. Jika spirit sedekah bumi dibawa dalam konteks negara, maka akan menjadi Indonesia yang rukun, ayom, ayem, dan tentram.

   III.    PENUTUP

A.    Kesimpulan

         Sedekah bumi merupakan salah satu jenis tradisi masyarakat yang merupakan hasil konvensi atau kesepakatan bersama masyarakat untuk dipersatukannya (akulturasi) budaya jawa asli dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama Islam. Dalam hal tersebut masyarakat Japah, Blora tidak mempermasalahkan dilaksanakannya pelestarian tradisi sedekah bumi selama tidak menghilangkan nilai-nilai asli dari tujuan diadakannya sedekah bumi dan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan sedekah bumi yang sampai sekarang masih ada dan dilestarikan masyarakat di Japah, Blora

         Tujuan masyarakat dengan diadakannya sedekah bumi yaitu: Pertama, untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah swt atas nikmatnya yang Dia berikan yakni hasil panen yang melimpah. Kedua, untuk menghormati jasa-jasa para leluhur yang telah berjasa membuka lahan (babat alas) sebagai tempat bumi masyarakat sekaligus tempat untuk mencari kehidupan. Ketiga, adanya pelaksanaan sedekah bumi dapat memperkuat solidaritas antar masyarakat satu dengan lainnya. Keempat, terlestarikannya budaya-budaya asli daerah

         Berkaitan dengan pandangan dan sikap Islam terhadap sebuah tradisi, bahwa tujuan Islam adalah mencapai perdamaian antar umat beragama. Sehingga umat Islam dalam mengajarkan ajarannya, hendaknya dapat saling menghormati dan beradaptasi pada sebuah tradisi yang sudah mapan atau mengakar dalam masyarakat, asalkan kesemuanya itu tidak melampaui batas dari ajaran-ajaran Islam

         Kemudian adanya sebuah konvensi tradisi Jawa dan Islam menjadi menarik ketika masyarakta mempunyai tujuan-tujuan lainnya selain masyarakat terdorong olehsebuah sistem kemufakatan kegiatan bersama yang ada dalam masyarakat. Diantara tujuan lain yang menjadi dorongan sendiri bagi masyarakat untuk mengikuti rangkaian kegiatan tradisi sedekah bumi, yaitu masyarakat memiliki kebutuhan psikologi kompleks. Dalam hal tersebut, masyarakat dengan cara mengikuti kegiatan yang bermuansa spiritual seperti sedekah bumi, masyarakat dapat memenuhi ketercapaian rasa kepatuhan kepada Allah swt, ketercapaian rasa syukur, ketenangan yang mendalam karena lebih dapat mendekatkan diri pada Allah swt

 

Daftar Pustaka

Shodiq . 2002. Potret Islam Jawa . Semarang : Pustaka Zaman

Sri, Suhandjati. 2015. Islam Dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Islam dan Budaya Lokal. Semarang : CV. Karya Abadi Jaya

Woodward , Mark R. 1999. Islam Jawa. Yogyakarta: LKSiS

Kuntjaraningrat, Pandangan Islam Terhadap Sedekah Bumi, Budaya Jawa (Yogyakarta: Univ Islam Indonesia)

Kholil, Ahmad. 2011. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Semarang: UIN Walisongo Press)



[1] Abdul Jamil, dkk Islam dan Kebudayaan Jawa, ...hlm. 16

[2] Abdul Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, ( Yogyakarta: Gama Media 2000), hlm. 3

[3] Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Semarang: UIN Walisongo Press, 2008), hlm.30.

[4] Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 2

[5] Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kerifan Lokal, (Semarang.CV Karya Abadi Jaya. 2015), hlm.29

[6] Mujahirin Thohir, Memahami Kebudayaan, (Semarang: Fasindo Press. 2007), hlm. 183

[7] Mark R. Woordwark, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Kebatinan, (Yogyakarta: LkiS, 2006), hlm. 5.

[8] Kuntjaraningrat, Pandangan Islam Terhadap Tradisi Jawa Sedekah Bumi, Budaya Jawa, (Yogyakarta: U 1niv Islam Indonesia 2007), hlm. 9

[9] Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Ombak. 2008), hlm.46

[10] Agus Riyadi, Kontestasi Upacara Kegamaan dan Proses Sosial di Kalangan Muslim Pedesaan, ...hlm. 14


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM

PELESTARIAN BUDAYA JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI