PENGARUH ISLAM DAN BUDAYA KEJAWEN TERHADAP PERILAKU SPIRITUAL MASYARAKAT DESA KADILANGU KECAMATAN KANGKUNG KABUPATEN KENDAL

PENGARUH ISLAM DAN BUDAYA KEJAWEN TERHADAP PERILAKU SPIRITUAL MASYARAKAT DESA KADILANGU KECAMATAN KANGKUNG KABUPATEN KENDAL

ARTIKEL

Guna Memenuhi: Tugas Akhir

Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Sri Suhandjati Sukri, M. Hum

 

 

logo uin.png

 

 

 

Disusun Oleh:

Tsalis Ifatul Barroh 

STUDI AGAMA AGAMA

USHULUDDIN DAN HUMANIORA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

 

 

 

KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah SWT beserta sholawat serta salam bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW dalam penulisan artikel ini tentu banyak mengalami kesulitan dan rintangan. Tetapi berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan ketekunan dan kesabaran hingga akhirnya terwujud juga penulisan artikel ini dalam bentuk sederhana.

            Ucapan terimakasih yang tidak dapat terlupakan, penulis sampaikan kepada pihak yang telah membantu dalam penulisan artikel ini. Hanya kepada Allah SWT juga yang dapat panjatkan dan juga membangun moral dan materi yang mendukung sehingga hal yang selesainya penulisan artikel ini dan semoga Allah SWT selalu mempermudah dalam segala hal yang baik.

            Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan agar dapat memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam penulisan artikel ini, karena sejatinya manusia tidak pernah jauh dari kesalahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ABSTRACK

            Religion and culture are two elements that are important for the comunity, as both have their respestive rolis in shaping the behavior and mindset of the people.

            Meeting between religions and culture sometimes causes the pros and consfor society, moment like this figure is society that must serve to neutralize comunity disputes.

            In writting this essay, the author will discuss the existing problem in detail.

Keywords: Religion, Culture, Comunity

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LATAR BELAKANG

Masyarakat Jawa telah mengembangkan sebuah budaya litter dan religius jauh sebelum Islam. Tercatat, peradaban telah muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-14. Peradaban yang lebih tua ini di ilhami oleh gagasan Hindu serta Budha. Gagasan tersebut meninggalkan beragam warisan berupa seni, arsitektur, literatur, dan pemikiran, yang sampai saat ini masih membuat masyarakat Jawa dan kalangan luar terpesona.

Dari sekian banyak tradisi dan budaya masyarakat yang ada di Indonesia, ada sebagiannya yang masih dijunjung tinggi dan dilestarikan oleh masyarakat secara turun temurun dari generasi ke generasi. Terkadang diantara tradisi dan kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, ada yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Keyakinan masyarakat perihal agama nenek moyang dan tradisi leluhur yang percaya akan hal-hal yang berbau mistis dan mitos menjadi tantangan besar bagi para penyiar agama Islam, ditambah lagi dengan adanya akulturasi budaya. Keduanya masih menjadi masalah dalam pandangan agama Islam.

Selain budaya, agama juga memiliki kontribusi yang sangat penting untyk masyarakat, karena fungsi agama antara lain sebagai pedoman hidup, pengajaran, tatanan sosial dalam masyarakat, pembelajaran, dan mempererat tali persaudaraan.[1] Selain  dari fungsi keempat tersebut, agama juga berfungsi melakukan  perubahan terhadap pola pikir dan keyakinan masyarakat. Dengan kata lain, agama merupakan suatu sarana baru untuk mengajak masyarakat lama masuk kedalam bentuk kehidupan masyarakat yang baru. Dalam hal ini tentu saja akan terjadi gesekan nilai-nilai budaya dan adat setempat, padahal budaya itu sudah eksis dimasyarakat. Setelah agama dan budaya berada dalam wadah yang sama yaitu di ruang lingkup masyarakat, maka konsekuensinya adalah akan terpinggirkan salah satunya, atau akan ada pengaruh antar keduanya.[2]

Dari pandangan diatas, dapat di definisikan bahwa keberadaan agama dan budaya dalam suatu komunitas masyarakat memiliki peran yang sangat penting. Baim budaya maupun agama, kebudayaan memiliki peran masing-masing dalam membentuk suatu tatanan hidup serta pola pikir masyarakat. Dapat di artikan keduanya bisa membentuk suatu karakter dalam komunitas suatu masyarakat di wilayah. Tetapi pertemuan antara keduanya, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan persaingan dalam mengambil obyek yaitu masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena kedua unsur tersebut, agama maupun budaya memiliki peran serta fungsi yang berbeda bagi masyarakat.

Perilaku spiritual masyarakat Kadilangu sangat berakaitan dengan rutinitas harian mereka. Perilaku ini berupa ritual-ritual keagamaan yang masih di anggap sakral, sehingga harus dilakukan secara terus menerus. Selain itu, perilaku spiritual yang dilakukan oleh masyarakat ada yang berhubungan dengan keyakinan dan mata pencaharian mereka sehari-hari dalam tradisi bertani. Jadi anggapan meereka jika ritual-ritual dalam tradisi bertani ini dihentikan, maka akan mengganggu ekosistem pertanian dan mata pencaharian mereka.

Adapun persoalan yang mendorong manusia melaksanakan aktivitas ritual keagamaan adalah karena adanya emosi dan getaran jiwa yang sangat mendalam, hal ini disebabkan oleh rasa takut terhadap sesuatu yamh bersifat mistis atau keramat. Selain takut, alasan lain yang membuat masyarakat Desa Kadilangu melakukan ritual keagamaan adalah hanya harapan-harapan terhadap sesuatu. Sementar itu, pada masyarakat yang masih dalam pada masa trnsisi dari tradisi lama menuju tradisi baru yang asing, sering kali terjadi dualisme ekspresi yang tampak berlawanan. Dualisme itu dapat disaksikan dalam kehidupan masyarakat Desa Kadilangu di suatu sisi mereka ada yang mengakui kebenaran ajaran islam dan mengamalkannya, disisi lain mereka tetap mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tradisi warisan kebudayaan Hindu Budha.[3]

Ada beberapa faktor yang meyebabkan sebagian masyarakat Desa Kadilangu kesulitan untuk meninggalkan ritual keagamaan, diantaranya: pertama, karena dalam kepercayaan dan keyakinan, mereka masih menyimpan unsur-unsur ajaran keagamaan terdahulu seperti, animisme, dinamisme, dan ajaran Hindu Budha. Kedua, karena pengetahuan masyarakat yang minim, sehingga kebanyakan dari masyarakatnya cenderung bersifat ikut-ikutan dalam mengikuti pembaharuan. Ketiga, karena masyarakatnya sudah terbiasa melakukan ritual keagamaan, bahkan ritualnya sudah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi. Mereka meyakini, jika ritual tersebut ditinggalkan akan timbul malapetaka atau musibah yang mereka dapatkan. Keempat, karena agama Islam masuk melalui tradisi mata pencaharian masyarakat, ajarannya pun sifatnya toleransi. Kelima, masih ada sebagian tetua adat yang melaksanakan ritual tersebut, tetua adat ini memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat.

Adanya dua unsur budaya dalam satu wilayah yang memberikan pengaruh besar terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Pada masyarakat Desa Kadilangu, Agama Islam dan Budaya Jawa sangat berpengaruh pada perilaku spiritual mereka. Namun, jika kedua unsur tersebut saling bertemu dan berakulturasi, maka akan menimbulkan budaya baru di masyarakat, dan dampak dari akulturasi tersebut terdapat perilaku spiritual masyarakat.

ISLAM DAN BUDAYA JAWA

A.    Seputar Budaya Jawa

1.     Pengertian Budaya

Telah dikemukakan oleh para ahli, bahwa budaya memiliki beberapa arti. Merujuk pada asalnya, budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu kata Buddayah yang berarti akal, sehingga budaya hanya dapat dicapai dengan kemampuan akal yang tinggi tingkatannya, kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh manusia.[4] Dalam bahasa Yunani, budaya hanya dikenal dengan istilah culture, yang berasal dari kata colore yang berarti mengolah dan mengerjakan. Jadi kebudayaan merupakan suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh masyarakat dalam suatu wilayah secara terus menerus.[5]

Istilah budaya mempunyai beragam arti dikalangan para sarjana sosiologi, pengertian budaya ialah cara berpikir seseorang atau sekelompok orang dalam menerapkan cara hidup secara bermasyarakat, yang dikembangkan secara terus menerus serta penerapannya diwariskan secara turun temurun dari setiap generasi ke generasi.[6]

Budaya dengan manusia merupakan dua unsur yang berkaitan. Kontribusi manusia masyarakat sangatlah ditentukan oleh kebudayaan. Kebudayaan menempati posisi sentral dalam menyeluruh tatanan hidup manusia. Tanpa kebudayaan merupakan makhluk yang tak berdaya, kebudayaan merupakan ukuran bagi tingkah laku dan kehidupan manusia. Karena dengan kebudayaan manusia bisa dinilai ruang duniaya, lingkungan, masyarakat, dan nilai-nilai yang menjadi dasar setiap langkah yang akan dilakukan.[7]

Pada umumnya jiwa kebudayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, jiwa kebudayaan yang sifatnya abstrak, kedua, jiwa kebudayaan yang penjelmaannya kongkrit, jiwa kebudayaan ini bisa membentuk ide-ide tersebut diwujudkan dengan tingkah laku atau perbuatan yang di aplikasikan dalam kehidupan, semua itu bersiafat material. Cara berpikir dan cara merasa yang sama antar sekelompok manusia adalah hasil dari hidup bersama dan bekerja sama dlam lingkungan yang sama dalam kurun waktu yang lama, kemudian kelompok itulah yang membentuk masyarakat. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri, dan setiap kebudayaan tentu ada masyarakatnya.[8] Bila masyarakatnya berbeda, maka berbeda pula kebudayaan. Begitu pula keragaman kebudayaan yang ada di Indonesia, dikarenakan perbedaan masyarakatnya.

2.     Kebudayaan Jawa

Dalam beberapa sumber sejarah, disebutkan bahwa masyarakat Jawa sebelum datangnya agama Hindu dan Budha telah menjadi masyarakat yang tersusun secara teratur, sederhana, dan bersahaja. Sebagai masyarakat yang sederhana, sistem religi yang dianut adalah animisme dan dinamisme. Pada masa ini kebudayaan pada masyarakat dikenal dengan istilah budaya kejawen. Sistem ini menjadi inti kebudayaan masyarakat Jawa yang mewarnai seliruh aktivitas kehidupannya. Cara berpikir masyarakat padamasa itu masih dikuasai oleh perasaan yang lekat pada kebudayaan dan agama. Kepercayaan kepada roh dan makhluk halus serta cerita-cerita mistis selalu meliputi seluruh aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu, pikiran dan perilaku keseharian masyarakat Jawa pada masa itu senantiasa tertuju pada suatu tujuan yaitu, bagaimana mendapatkan bantuan dari roh-roh yang baik  dan terhindar dari pengaruh roh-roh jahat yang bersifat mengganggu. Masyarakat jawa pada periode ini sangatlah memegang teguh kebersamaan dan kekeluargaan antar sesamanya, bahkan mereka sudah mengenal penghormatan kepada yang lebih tua.[9]

Dari sebagian masyarakat yang tinggal di pulau jawa, masyarakat Jawa Tengah masih sangat kental dengan istilah mistis dan mitos, karena keyakinan dan mistisme (kebatinan) sudah menjadi jalan pencarian masyarakat Jawa Tengah untuk mencapai tujuan hidup, terkait dengan disiplin diri dan pemantapan batin. Dari keyakinan dan mistisme menghasilkan sebuah praktik mistik. Praktik tersebut, diyakini oleh sebagian masyarakat bisa membebaskan diri dari tuntutan sosial serta dapat menciptakan sebuah dunia tersendiri yang tampaknya mengandung nilai dan ajaran kehidupan dialam nyata.[10]

Masyarakat jawa mempunyai kepribadian yang sangat ramah dalam menerima segala sesuatu yang baru, hal ini diwujudkan oleh kebudayaan mereka yang sangat sinkretis, setiap agama yang muncul dan masuk selalu diterima dengan sikap terbuka tanpa memperhatikan aspek benar dan salahnya.

Sejak saat itu muncul lah akulturasi budaya lama dengan budaya-budaya baru di Jawa dan kebudayaan Hindu Budha, kini kebudayaan Jawa, Hindu Budha dan islam. Corak kebudayaan ini terletak di lingkungan istana. Seperti juga di masa kedatangan Hindu Budha, para penyebar agama Islam pun mulai menyiarkan agama Islam melalui berbagai cara, dari melalui perdagangan, perkawinan, kesenian dan lain-lain.[11]

 

B.    Islam di Jawa

1.     Masuknya Islam di Tanah Jawa

Kepulauan Indonesia, sejak masa prasejarah telah dikenal memilki kekayaan yang melimpah, berupa hasil bumi dan kekayaan alam. Sejak awal abad masehi telah tercipta rute-rute pelayaran yang menghubungkan kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Indonesia menjadi penghubung jalur perdagangan yang dugunakan para pedagang yang berlayar, Indonesia pun menjadi salah satu negara yang penting bagi para pedagang, khususnya pedagang dari Cina dan India.

Pedagang muslim asal arab, Persia, dan India sudah ada yang sampai di kepulauan Indonesia sejak abad ke-7 M. Ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah, Malaka sudah menjadi pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting bagi para pedagang yang keluar masuk melalui jalur tersebut, disinilah muncul pertukaran kebudayaan antar pedagang, termasuk kebudayaan dan ajaran agama Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, dan lain-lain.[12]

2.     Dakwah dan Ajaran Islam di Jawa

Dalam sejarah penyebaran agama Islam setelah keluar dari jazirah Arab, kemudian Islam berinteraksi dan bergulat dengan lingkungan sosial budaya yang baru. Ajaran Islam terbagi menjadi dua model dakwah yaitu, kompromi dan non kompromi. Dakwah model kompromi adalah ajakan untuk memeluk agama Islam dengan cara menemukan atau memadukan Islam dengan ajaran atau tradisi budaya yang sudah ada, meskipun berbeda, tempat berlawanan antar keduanya, cara ini sangat efektif dan mudah di terima oleh masyarakat, karena tidak adanya paksan dan tanpa menghilangkan budaya masyarakat yang sudah ada. Sedangkan model non kompromi adalah suatu ajakan yang menekankan dan mempertahankan keutuhan dan kemurnian syari’ah, sehingga dalam penerapannya mempunyai pandangan yang agak kaku dalam menghadapi budaya, ajaran, dan lingkungan sosial setempat yang berbeda dengan tempat asal kelahiran Islam.[13]

Gerakan dakwah yang bersifat kompromi dapat dilihat dengan perkembangan Islam di Jawa, dalam perkembangan dakwahnya, gerakan dakwah yang bersifat kompromi mengalami proses yang cukup unik dan berliku. Hal ini karena dakwahnya yang menyesuaikan dengan tradisi Budaya Hindu Budha yang telah mengakar kuat dalam masyarakat, baik dikalangan priyayi yang berpusat di istana maupun dikalangan rakyat , keduanya masih berpegang pada ajaran Anamisme dan Dinamisme. Dengan adanya pengaruh yang kuat dari agama Hindu Budha, maka tidak ada jalan lain untuk mengajak dan memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat Jawa selain dengan pendekatan secara kompromi dan penuh toleransi. Demikianlah terjadi dalam sejarah pengislaman tanah Jawa yang di pelopori oleh para wali.[14]

Setelah Islam masuk dan diterima oleh masyarakat Jawa, para penyiar agama Islam (walisongo) mulai memperkenalkan dan mengajarkan agama Islam melalui metode-metode yang telah ada, yaitu menggabungkan ajaran Islam dengan tradisi yang telah berkembang di masyarakat, seperti kesenian, musik, wayang, dan lain-lain. Dalam membawakan tradisi kesenian yang ada di masyarakat, walisongo perlahan-lahan memulai menanamkan ketauhidan dan ajaran-ajaran Islam melalui seni wayang, dengan merubah nama tokoh-tokohnya serta alur ceritanya kedalam sejarah-sejarah agama Islam. Dengan cara inilah masyarakat Jawa mulai mengenal agama Islam.

PERILAKU SPIRITUAL MASYARAKAT DESA KADILANGU KECAMATAN KANGKUNG KABUPATEN KENDAL

 

1.     Kondisi Keagamaan dan Budaya Desa Kadilangu

Dalam kehidupan manusia, agama memiliki peran yang sangat penting dalam pelestarian dan perkembangan masyarakat dari masa ke masa. Karena fungsi agama sangatlah besar, bahkan jika telaah lebih jauh kebelakang dari segi etnigrafik, tidak ada satu kelompok manusia di dunia ini yang tidak memiliki kpercayaan atau agama. Demikian juga dengan masyarakat di Desa Kadilangu, agama dan kepercayaan dari masa ke masa tetap hidup sebagai pedoman dan pegangan dari masyarakat.

Masyarakat Desa Kadilangu mayoritas beragama Islam, bahkan jika di kalkulasikan berdasarkan data monografi Desa keseluruhan masyarakat beragama Islam. Meskipun demikian, sebagian dari mereka masih ada yang belum menjalankan syariat agama Islam. Namun, mereka sangat menghargai muslim yang taat dan selalu membantu serta menyuksesan program yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan, seperti membangun masjid, langgar (musholla), madrasah, pengajian, dan lain-lain. dengan demikian dapat dikatakan bahwa dinamika keagamaan di Desa Kadilangu sangat nampak gairahnya, yang dapat dilihat dari sarana dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang selalu dilaksanakan.

1.     Jumlah tempat ibadah

Di Desa Kadilangu terdapat beberapa tempat ibadah diantaranya, 2 masjid dan 10 musholla (langgar). Semua tempat itu sering digunakan untuk rutinitas ibadah dan rutinitas sosial kegamaan.

2.     Jumlah sarana prasarana pendidikan agama Islam

Salah satu strategi Umat Muslim dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya dilakukan dengan membangun sarana pendidikan Islam, baik formal ataupun non formal. Adapun sarana pendidikan yang ada di Desa Kadilangu antara Lain: TPA, Madrasah Diniyah, Majlis Tak’lim dan lain-lain.

3.     Aktivitas keagamaan

Aktivitas keagamaan yang dilakukan masyarakat di Desa Kadilangu hampir sama dengan aktivitasnya yang di lakukan oleh Desa-desa lainnya, berupa pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, pembacaan tahlil, peringatan hari besar Islam, seperti maulid Nabi Muhammad SAW, isro’ mi’roj, serta tausiyah-tausiyah keagamaan yang bisa dibawakan oleh kyai-kyai dengan diiringi kesenian Islam, seperti wayang, hadroh, marawis, dan lain-lain.

Dalam masyarakat di Desa Kadilangu, perwujudan dan penggambaran budaya sangat nampak pada masing-masing struktur sosial masyarakat tersebut, semua utu terwujud dengan adanya beberapa ritual keagamaan. Terkadang ritual tersebut berkaitan dengan kepercayaan dan mitos masyarakat setempat, misalnya ritual yang berkaitan dengan usaha pelestarian dalam siklus pertanian, yang dalam melakukan ritual tersebut tujuannya adlh untuk menghasilkan hasil panen yang memuaskan. Selain itu, bukti nyata yang ditunjukkan dari perilaku masyarakat dalam menjalankan adat istiadat di daerah tersebut, dari masing-masing struktur sosial ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya, namun tujuan yang ingin dicapai tetaplah sama.

Kondisi masyarakat di Desa Kadilangu, jika dilihat dari sistem sosial kebudayaan sangat akulturatif, begitu pula dengan sosial keagamaannya begitu sinkretis. Kondisi sosial masyarakat Jawa terdiri dari tiga sub kebudayaan, yang masing-masing terdiri atas struktur sosial yang berlandaskan atas dasar agama. Struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan, santri, dan priyayi.[15] Adanya keriga struktur sosial yang berlainan ini menunjukkan dibalik mayoritas penduduk Desa Kadilangu yang beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan nilai, dan adat istiadat yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut.

Dengan adanyatiga latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda dan dibarengi oleh lingkungan yang berbeda pula maka terwujudlah tiga struktur sosial kemasyarakatan, diantaranya adalah Abangan (kejawen), santri (putihan), dan priyayi (golongan ningrat).

Bagi masyrakat Desa Kadilangu pada umumnya, istilah abangan sudah sering di dengar, karena Islam abangan adalah salah satu varian masyarakat yang sudah berkembang dipulau Jawa, termasuk di Desa Kadilangu, istilah abangan memiliki arti tersendiri, yaitu sebutan untuk umat Muslim atau masyarakat Islam yang mengaku beragama Islam, namun belum sepenuhnya menjalankan syariat agama Islam secara benar dan teratur. Umat Islam ini masih memegang erat tradisi leluhur mereka, yaitu sebuah tradisi yang berasal dari kebudayaan nenek moyang terdahulu sebelum masuknya agama Islam.[16]

Dalam tradisi masyarakat abangan, mereka masih sering melakukan kebiasaan-kebisaan lama, melakukan upacara ritual yang biasa disebut nyajeni saat ini biasa dikenal (slametan).[17] Kepercayaan mereka yang kompleks dan rumit terhadap makhluk halus dan dewa-dewi, masih berlanjut secara turun temurun menjadi sebuah tradisi. Karena kebiasaan yang sering dilakukan terebut membuat mereka kesulitan dalam meninggalkannya. Meskipun agama Islam sudah mulai masuk serta sudah diyakini, mereka masih tidak nisa lepas sepenuhnya dari kebiasaan-kebiasaan tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa abangan merupakan sekelompok masyarakat yang tinggal di Desa Kadilangu, beragama Islam, namun masih melakukan ritual keagamaan yang secara turun temurun dilakukan oleh leluhur mereka, meskipun tradisi itu diluar dari ajaran Islam yang mereka anut.

Adapun pengertia santri adalah seseorang atau sekelompok orang yang beragama Islam, yang memegang teguh ajaran Islam serta taat dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Dalam istilah masyarakat Desa Kadilangu, santri diartikan sebagai orang yang sangat dalam pemahaman agamanya, selalu menjalankan perintah agama serta menjauhi larangan agama. Jenis golongan ini termasuk  kedalam golongan orang-orang yang soleh. Oleh karena itu, peribadatan pokok seperti sembahyang merupakan sesuatu yang terbilang wajib yang harus mereka lakukan tanpa terkecuali.[18]

Tradisi keagamaan santri, sama dengan masyarakat Islam pada umumnya, selalu menjalankan aturan-aturan yang ada dalam ajaran Islam. Dalam ajaran Islam ada suatu istilah yang menjelaskan tentang suatu ungkapan menjadipegangan mereka yaitu “menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-NYA”. Hampir keseluruhan masyarakat Desa Kadilangu memeluk agama Islam mereka menjalankan apa yang telah di perintahkan oleh agama Islam, melaksanakan sholat, membayar zakat, berpuasa, bahkan melaksanakan dan memeriahkan hari besar Islam seperti Isro’ Mi’roj, maulid Nabi Muhammad SAW dan lain-lain. semua itu mereka lakukan atas dasar kepercayaan pada agama yang mereka anut yaitu agam Islam.

Kaum priyayi merupakan kelompok orang yang terdiri dari pegawai negeri kaum terpelajar, dan golongan ningrat. Priyayi menurut istilah aslinya menunjukkan kepada orang yang bisa menyelusuri asal usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa. Semenjak bangsa Belanda menjajah tanah Jaw, mereka memperkerjakan kaum priyayi di pemerintahan sebagai intrumen administrasi pemerintahan.[19] Namun, semua pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan perspektif masyarakat di Desa Kadilangu tentang priyayi. Oleh masyarakat Desa Kadilangu priyayi diartikan sebagai orang yang memiliki jabatan di pemerintahan dan tidak mesti keturunan ningrat ataupun bangsawa, meskipun hanya keturunan masyarakat petani biasa jika pekerjaannya disebuah lembaga pemerintahan, masyarakat pun akan menyebutnya dengan sebutan priyayi.[20]

Ada beberapa hal yang yang membedakan priyayi dengan santri dan abangan, jika santri dan abangan ruang lingkupnya mengenai kepercayaan dan kebudayaan, sedangkan priyayi masuk dalam kategori struktur sosial masyarakat atau tingkatan masyarakat bukan golongan masyarakat dalam ruang lingkup kepercayaan dan kebudayaan.

Dari semua struktur sosial dan kebudayaan yang ada di Desa Kadilangu, pada awalnya memang masih mengelompokkan golongan sosial kemasyarakatan, namun dengan berjalannya waktu, seiring dengan mulai munculnya kesadaran masyarakat akan pengetahuan dan pendidikan, maka secara perlahan-lahan golongan sosial masyarakat tersebut mulai hilang dan semua masyarakat melebur menjadi satu dan tidak ada lagi perbedaan dan penggolongan masyarakat. Tidak hanya santri yang aktif dan menjalankan perintah agama Islam, tetapi abangan juga melakukan rutinitas keagamaan Islam dengan rutin, dan bukan hanya abangan yang lalai dalam melanggar aturan-aturan agama Islam, terkadang santri pun lalai dalam melakukan rutinitas keagamaan , jadi sulit untuk membedakannya karena semuanya sudah melebur menjadi satu.

2.     Perilaku Spiritual Masyarakat Desa Kadilangu

Masyarakat Desa Kadilangu sangat kental dengan budaya dan tradisi adat mereka, meskipun mayoritas masyarakat beragama Islam, namun mereka masih memegang teguh pada istiadat dan tradisi setempat. Di Desa Kadilangu ajaran agama Islam sudah melekat pada kehidupan mereka, tetapi tetap saja kepercayaan mereka terhadap tradisi leluhur tidak hilang, bahkan masih tetap ada serta masih dilaksanakan. Meskipun tradisi dan kebiasaan mereka bertentangan dengan ajaran Islam, namun kebiasaan itu tetap bisa mereka laksanakan, kerena masyarakat beranggapan, jika sesuatu sering dilakukan secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama dan tiba-tiba tidak dilakukan atau terhenti, maka mereka merasa takut ada sesuatu yang nantinya akan menimpa mereka. Inilah alasan mereka, sehingga mereka kesulitan untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun tersebut.

Pandangan masyarakat Desa Kadilangu memang masih berakar jauh kemasa lalu, yaitu mereka sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama di Indonesia. Namun Tuhan dan ajaran yang dimaksud masih bersifat animisme dan dinamisme. Semua agama yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Desa Kadilangu, karena mereka beranggapan bahwa semua agama itu baik. Ungkapan inilah yang kemudian menimbulkan sebuah sinkretisme dikalangan masyarakat Desa Kadilangu. Agama baru telah masuk dikehidupan mereka, akan tetapi pandangan mereka terhadap sesuatu yang gaib tidak hilang, bahkan masih melekat kuat. Kepercayaan tersebut menimbulkan perilaku spiritual dalam ruang lingkup masyarakat. Semuanya atas dasar kepercayaan terhadap segala sesuatu yang mereka anggap memiliki kekuatan di luar batasan kemampuan manusia. Seperti kepercayaan terhadap roh-roh, benda-benda pusaka, dan lain-lain. dari kepercayaan tersebut timbulah suatu kebiasaan dalam melakukan perilaku spiritual berupa rituak-ritual adat.

Gambaran tentang perilaku spiritual masyarakat Desa Kadilangu, berupa ritual-ritual keagamaan yang terwujud dalam rutinitas harian masyarakat dalam bertani. Saat bertani, masyarakat masih memegang teguh kebiasaan- kebiasaan yang ada berupa tradisi nyajeni, tradisi nyunyuk, tradisi ngalemi, dn lain-lain. Perilaku spiritual masyarakat dalam agama Islam yang mereka lakukan adalah melakukan pendekatan diri kepada Allah SWT di suatu tempat dalam kurun waktu yang lama, padahal tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan membersihkan diri dari sifat-sifat dunia.

3.     Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Masyarakat Desa Kadilangu

Budaya jawa sudah ada jauh sebelum agama Hindu Budha bahkan Islam ada di Tanah Jawa. Budaya jawa yang sudah berlangsung secara turun temurun, berasal dari nenek moyang masyarakat Jawa terdahulu dan terus berlanjut sampai sekarang. Istilah budaya Jawa dikenal dengan istilah kejawen. Budaya Jawa ini tidak berasal dari agama Hindu Budha dan ajaran Islam, tetapi berasal jauh sebelum masuknya Hindu Budha dan Islam. Dalam ajaran kejawen, kepercayaan tertuju pada sesuatu yang bersifat mistis dan dunia ghaib, serta sebagai suatu bentuk keyakinan , kepercayaan tersebut masih tetap utuh dan dipertahankan sampai saat ini.

Contoh tradisi budaya Jawa yang sudah berakulturasi dengan agama Islam adalah Tradisi bertani. Kerena di Desa kadilangu mayorutas masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, maka penyebaran agama Islam disesuaikan dengan adat istiadat dan tradisi masyarakat tersebut, karena dalam bertani di Desa Kadilangu, banyak sekali prosesi ritualnya seperti Tradisi Ngalungi (kaputan), Tradisi Wiwitan (Nanem), tradisi Nyebar (pembibitan), tradisi Wiwitan (Nggarap), Tradisi Ngalungi (Pasca Nanem), Tradisi Ngalemi (Sajeni) dan Tradisi Nyunyuk (Panenan).

Ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat Desa Kadilangu dengan muda, padahal masyarakat sudah memegang teguh budaya yang ada. Caranya dengan mengakulturasi budaya yang ada dengan agama Islam. Dengan menyusupkan ajaran Islam kedalam Budaya atau adat istiadat masyarakat setempat secara perlahan-lahan. Jika langsung bertajuk kepada pembaharuan, maka akan di tolak mentah-mentah oleh masyarakat Desa Kadilangu, tetapi jika proses pengislamannya dilakukan dengan menggabungkan atau menyusupkan budaya yang ada, maka masyarakat tidak akan tahu dan akan langsung menerima dengan baik, sehingga terbukti bahwa cara ini, sangat berpengaruh pada masyarakat Desa Kadilangu. Pengislaman yang dilakukan oleh penyiar Islam terdahulu menggunakan metode ini. Mereka menyiarkan agama Islam melalui tradisi keseharian masyarakat yaitu bertani. Dalam rentetan tradisi pertanian, tokoh ulama Islam menyisipkan niat, ketauhidan, keyakinan dan aqidah ajaran Islam dalam pelaksanaannya. Hasilnya pengislaman bisa dilakukan dengan mudah tanpa harus merusak budaya atau tradisi yang sudah ada.

Dalam hal ini, masyarakat masih tetap menjalankan budaya dan tradisi yang ada, tetapi niat dan keyakinannya sudah dalam pengaruh ajaran agama Islam dan pelaksanaannya menggunakan syariat dan prinsip-prinsip agama Islam.

Tradisi pertanian ini berasal dari ajaran Hindu Budha. Tradisi bertani dalam pelaksanannya sangatlah rumit harus melakukan banyak hal, dan jika di kalkulasi, keuangan masyarakat yang dipakai dalam bertani berkurang hanya untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain yang harus dipenuhi, dan tidak ada sangkut pautnya dengn pertanian.

Kedatangan ajaran Islam membuat masyarakat sadar dan berfikir, pada awalnya, masyarakat percaya pada sesuatu yang ghaib dan melakukan ritual dengan memberi sajen, dengan tujuan, bisa membantu mereka untuk mendapatkan hasil panen yang bagus serta melimpah. Saat ajaran Islam mulai mereka kenal, perlahan-lahan masyarakat mulai mengubah pola pikir mereka menjadi logis dan berakal. Hasil panen yang baik dan bagus dihasilkan bukan karena sajenan dan ritual-ritual mistik yang dilakukan, melainkan karena bibit yang bagus, cuaca yang mendukung, serta keuletan petani dalam mengurusi tanamannya tersebut. Awalnya mereka membuang-buang harta untuk mempersiapkan sesembahan dalam ritual, perlahan-lahan mereka mulai meninggalkannya.

Selain itu, tradisi tumpengan yang awalnya digunakan untuk sesembahan kepada makhluk ghaib, dengan memberikan kemakmuran dalam menjalankan hidup dan hasil panen yang melimpah, maka setelah masuknya Islam, tradisi itu perlahan-lahan mulai diubah menjadi tradisi kondangan, yang memiliki tujuan untuk berbagi dengan sesama dan mempererat tali silaturahim antar tetangga sekitar, bukan menghambur-hamburkan sesuatu yang hasilnya tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Setelah Islam menjadi agama yang di padukan dengan tradisi yang ada, maka masyarakat mulai bisa mendapatkan pengetahuan dan ilmu agama Islam, dimulai dari pengetahuan sosial, agama, dan lain-lain. dari sini, masyarakat Desa Kadilangu mulai berfikir dan memilih, mana sesuatu yang dianggap benar dan mana yang dianggap tidak sesuai, bahkan bisa merugikan mereka.

Dengan demikian akulturasi budaya jawa dan agama Islam di Desa Kadilangu memberikan dampak yang positif dan memberikan pandangan baru kepada masyarakat akan sesuatu yang sifatnya baru, dalam berperilaku, mereka benar-benar mengerti dan paham terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh tokoh Islam, meskipun memegang etguh tradisi yang ada, niat mereka sudah berubah dan digantikan dengan niat yang baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A.    KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa agama Islam dan budaya kejawen mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku spiritual masyarakat Desa Kadilangu Kecamatan kangkung Kabupaten Kendal selaknya dapat dibuktikan dengan:

1.     Baik budaya maupun agama, keduanya memiliki peran masing-masing dalam membentuk suatu tatanan hidup serta pola pikir masyarakat. Dapat diartikan keduanya bisa membentuk suatu karakter dalam komunitas masyarakat di suatu wilayah.

2.     Akulturasi budaya Jawa dan agama Islam menghasilkan suatu pembaharuandalam masyarakat. Dari segi keyakian, ajaran sampai perilaku masyarakat.

Pencampuran keduanya memberikan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Karakteristik dan perilaku spiritual masyarakat, bukan hanya terbentuk dari agama dan budaya yang ada saja, melainkan berasal dari tokoh-tokoh masyarakat. Keputusan yang diambil oleh tokoh tersebut dalam menentukan suatu hal akan memberikan dampak yang signifikan kepada pola pikir dan perilaku masyarakat.

Islamisasi di suatu daerah bukan hanya melalui perdagangan, perkawinan, dan dakwah saja, tetapi Islamisasi bisa dilakukan melalui tradisi dan kebiasaan masyarakat yang ada, seperti Islamisasi di Desa Kadilangu yang dilakukan melalui tradisi pertanian.

B.    DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan Oleh Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981)

Gazalba, Drs, Sidi, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)

Herustanto, Budiono, Simbolis dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia, 2000)

Hidayah, Irfanul, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, Vol. 2, no. 2, Juli 2003

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid 2, (Yogyakarta, Djambatan, 1979)

KhalilM. Fil. I, Ahmad, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi jawa, (UIN Malang Press, 2008)

Meinarno, Eko A, Widianto Bambang, Halida Rizka, Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011)

Suhandjati, Sri. Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalitas Kearifan Lokal, Semarang: Karya Abadi Jaya. 2015



[1] Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, vol 2, no 2, juli 2003, hal. 137

[2] Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, vol 2, no 2, Juli 2003, hal 138

[3] Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang Press, 2008), Hal. 272.

[4] Eko A, Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011) Hal. 88

[5] Eko A, Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat Pandangan Abtropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011) Hal. 90

[6] Eko A, Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam Kebudayaan Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011) Hal. 93

[7] Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia, 2000), hal. 7

[8] Drs. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologis dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 24

[9] Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang Press, 2008), hal. 132-133

[10] Ahmad Khalil, M, Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang Press, 2008), hal. 158

[11] Ahmad Khalil, M, Fil. I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang Press, 2008), hal. 146

[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 192

[13] Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Kawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang Press, 2008), hal. 14

[14] Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang Press, 2008, hal. 14-15

[15] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Diterjemahkan oleh Aswab Mahasin (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981), hal. VII

[16] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan Oleh Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981). Hal. X

[17] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan Oleh Aswab Mahasin (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981). Hal. 6

[18] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan Oleh Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981). Hal. 173

[19] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan Oleh Aswab Mahasin (Jakarta, PT. Dusun Pustaka Jaya, 1981) hal. 308

[20] Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalitas Kearifan  Lokal (Semarang: CV, Karya Abadi Jaya, 2015), Hal 33


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM

PELESTARIAN BUDAYA JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI