PENGARUH ISLAM DAN BUDAYA KEJAWEN TERHADAP PERILAKU SPIRITUAL MASYARAKAT DESA KADILANGU KECAMATAN KANGKUNG KABUPATEN KENDAL
PENGARUH
ISLAM DAN BUDAYA KEJAWEN TERHADAP PERILAKU SPIRITUAL MASYARAKAT DESA KADILANGU
KECAMATAN KANGKUNG KABUPATEN KENDAL
ARTIKEL
Guna
Memenuhi: Tugas Akhir
Mata
Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Sri Suhandjati Sukri, M. Hum
Disusun
Oleh:
Tsalis
Ifatul Barroh
STUDI
AGAMA AGAMA
USHULUDDIN
DAN HUMANIORA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN HUMANIORA
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT beserta sholawat serta salam bagi junjungan kita Nabi
Muhammad SAW dalam penulisan artikel ini tentu banyak mengalami kesulitan dan
rintangan. Tetapi berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
ketekunan dan kesabaran hingga akhirnya terwujud juga penulisan artikel ini
dalam bentuk sederhana.
Ucapan terimakasih yang tidak dapat
terlupakan, penulis sampaikan kepada pihak yang telah membantu dalam penulisan
artikel ini. Hanya kepada Allah SWT juga yang dapat panjatkan dan juga
membangun moral dan materi yang mendukung sehingga hal yang selesainya
penulisan artikel ini dan semoga Allah SWT selalu mempermudah dalam segala hal
yang baik.
Akhirnya kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan agar dapat memperbaiki kesalahan yang terdapat
dalam penulisan artikel ini, karena sejatinya manusia tidak pernah jauh dari
kesalahan.
ABSTRACK
Religion
and culture are two elements that are important for the comunity, as both have
their respestive rolis in shaping the behavior and mindset of the people.
Meeting
between religions and culture sometimes causes the pros and consfor society,
moment like this figure is society that must serve to neutralize comunity
disputes.
In
writting this essay, the author will discuss the existing problem in detail.
Keywords: Religion,
Culture, Comunity
LATAR BELAKANG
Masyarakat Jawa telah mengembangkan sebuah budaya
litter dan religius jauh sebelum Islam. Tercatat, peradaban telah muncul untuk
pertama kalinya pada abad ke-14. Peradaban yang lebih tua ini di ilhami oleh
gagasan Hindu serta Budha. Gagasan tersebut meninggalkan beragam warisan berupa
seni, arsitektur, literatur, dan pemikiran, yang sampai saat ini masih membuat
masyarakat Jawa dan kalangan luar terpesona.
Dari sekian banyak tradisi dan budaya masyarakat yang
ada di Indonesia, ada sebagiannya yang masih dijunjung tinggi dan dilestarikan
oleh masyarakat secara turun temurun dari generasi ke generasi. Terkadang
diantara tradisi dan kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, ada
yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Keyakinan masyarakat perihal agama
nenek moyang dan tradisi leluhur yang percaya akan hal-hal yang berbau mistis
dan mitos menjadi tantangan besar bagi para penyiar agama Islam, ditambah lagi
dengan adanya akulturasi budaya. Keduanya masih menjadi masalah dalam pandangan
agama Islam.
Selain budaya, agama juga memiliki kontribusi yang
sangat penting untyk masyarakat, karena fungsi agama antara lain sebagai
pedoman hidup, pengajaran, tatanan sosial dalam masyarakat, pembelajaran, dan
mempererat tali persaudaraan.[1]
Selain dari fungsi keempat tersebut,
agama juga berfungsi melakukan perubahan
terhadap pola pikir dan keyakinan masyarakat. Dengan kata lain, agama merupakan
suatu sarana baru untuk mengajak masyarakat lama masuk kedalam bentuk kehidupan
masyarakat yang baru. Dalam hal ini tentu saja akan terjadi gesekan nilai-nilai
budaya dan adat setempat, padahal budaya itu sudah eksis dimasyarakat. Setelah
agama dan budaya berada dalam wadah yang sama yaitu di ruang lingkup
masyarakat, maka konsekuensinya adalah akan terpinggirkan salah satunya, atau
akan ada pengaruh antar keduanya.[2]
Dari pandangan diatas, dapat di definisikan bahwa
keberadaan agama dan budaya dalam suatu komunitas masyarakat memiliki peran
yang sangat penting. Baim budaya maupun agama, kebudayaan memiliki peran
masing-masing dalam membentuk suatu tatanan hidup serta pola pikir masyarakat.
Dapat di artikan keduanya bisa membentuk suatu karakter dalam komunitas suatu
masyarakat di wilayah. Tetapi pertemuan antara keduanya, tidak menutup
kemungkinan akan menimbulkan persaingan dalam mengambil obyek yaitu masyarakat.
Hal ini bisa terjadi karena kedua unsur tersebut, agama maupun budaya memiliki
peran serta fungsi yang berbeda bagi masyarakat.
Perilaku spiritual masyarakat Kadilangu sangat
berakaitan dengan rutinitas harian mereka. Perilaku ini berupa ritual-ritual
keagamaan yang masih di anggap sakral, sehingga harus dilakukan secara terus
menerus. Selain itu, perilaku spiritual yang dilakukan oleh masyarakat ada yang
berhubungan dengan keyakinan dan mata pencaharian mereka sehari-hari dalam
tradisi bertani. Jadi anggapan meereka jika ritual-ritual dalam tradisi bertani
ini dihentikan, maka akan mengganggu ekosistem pertanian dan mata pencaharian
mereka.
Adapun persoalan yang mendorong manusia melaksanakan
aktivitas ritual keagamaan adalah karena adanya emosi dan getaran jiwa yang
sangat mendalam, hal ini disebabkan oleh rasa takut terhadap sesuatu yamh
bersifat mistis atau keramat. Selain takut, alasan lain yang membuat masyarakat
Desa Kadilangu melakukan ritual keagamaan adalah hanya harapan-harapan terhadap
sesuatu. Sementar itu, pada masyarakat yang masih dalam pada masa trnsisi dari
tradisi lama menuju tradisi baru yang asing, sering kali terjadi dualisme
ekspresi yang tampak berlawanan. Dualisme itu dapat disaksikan dalam kehidupan
masyarakat Desa Kadilangu di suatu sisi mereka ada yang mengakui kebenaran
ajaran islam dan mengamalkannya, disisi lain mereka tetap mempercayai hal-hal
yang berhubungan dengan tradisi warisan kebudayaan Hindu Budha.[3]
Ada beberapa faktor yang meyebabkan sebagian
masyarakat Desa Kadilangu kesulitan untuk meninggalkan ritual keagamaan,
diantaranya: pertama, karena dalam kepercayaan dan keyakinan, mereka masih
menyimpan unsur-unsur ajaran keagamaan terdahulu seperti, animisme, dinamisme,
dan ajaran Hindu Budha. Kedua, karena pengetahuan masyarakat yang minim,
sehingga kebanyakan dari masyarakatnya cenderung bersifat ikut-ikutan dalam
mengikuti pembaharuan. Ketiga, karena masyarakatnya sudah terbiasa melakukan
ritual keagamaan, bahkan ritualnya sudah berlangsung secara turun temurun dari
generasi ke generasi. Mereka meyakini, jika ritual tersebut ditinggalkan akan
timbul malapetaka atau musibah yang mereka dapatkan. Keempat, karena agama
Islam masuk melalui tradisi mata pencaharian masyarakat, ajarannya pun sifatnya
toleransi. Kelima, masih ada sebagian tetua adat yang melaksanakan ritual
tersebut, tetua adat ini memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat.
Adanya dua unsur budaya dalam satu wilayah yang
memberikan pengaruh besar terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat yang
tinggal di wilayah tersebut. Pada masyarakat Desa Kadilangu, Agama Islam dan
Budaya Jawa sangat berpengaruh pada perilaku spiritual mereka. Namun, jika
kedua unsur tersebut saling bertemu dan berakulturasi, maka akan menimbulkan
budaya baru di masyarakat, dan dampak dari akulturasi tersebut terdapat
perilaku spiritual masyarakat.
ISLAM DAN BUDAYA JAWA
A. Seputar
Budaya Jawa
1. Pengertian
Budaya
Telah dikemukakan oleh para ahli, bahwa budaya
memiliki beberapa arti. Merujuk pada asalnya, budaya berasal dari bahasa
sansekerta yaitu kata Buddayah yang berarti akal, sehingga budaya hanya dapat
dicapai dengan kemampuan akal yang tinggi tingkatannya, kemampuan tersebut
hanya dimiliki oleh manusia.[4]
Dalam bahasa Yunani, budaya hanya dikenal dengan istilah culture, yang berasal
dari kata colore yang berarti mengolah dan mengerjakan. Jadi kebudayaan
merupakan suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh masyarakat dalam suatu wilayah
secara terus menerus.[5]
Istilah budaya mempunyai beragam arti dikalangan para
sarjana sosiologi, pengertian budaya ialah cara berpikir seseorang atau
sekelompok orang dalam menerapkan cara hidup secara bermasyarakat, yang
dikembangkan secara terus menerus serta penerapannya diwariskan secara turun
temurun dari setiap generasi ke generasi.[6]
Budaya dengan manusia merupakan dua unsur yang
berkaitan. Kontribusi manusia masyarakat sangatlah ditentukan oleh kebudayaan.
Kebudayaan menempati posisi sentral dalam menyeluruh tatanan hidup manusia.
Tanpa kebudayaan merupakan makhluk yang tak berdaya, kebudayaan merupakan
ukuran bagi tingkah laku dan kehidupan manusia. Karena dengan kebudayaan
manusia bisa dinilai ruang duniaya, lingkungan, masyarakat, dan nilai-nilai
yang menjadi dasar setiap langkah yang akan dilakukan.[7]
Pada umumnya jiwa kebudayaan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: pertama, jiwa kebudayaan yang sifatnya abstrak, kedua, jiwa kebudayaan
yang penjelmaannya kongkrit, jiwa kebudayaan ini bisa membentuk ide-ide
tersebut diwujudkan dengan tingkah laku atau perbuatan yang di aplikasikan
dalam kehidupan, semua itu bersiafat material. Cara berpikir dan cara merasa
yang sama antar sekelompok manusia adalah hasil dari hidup bersama dan bekerja
sama dlam lingkungan yang sama dalam kurun waktu yang lama, kemudian kelompok
itulah yang membentuk masyarakat. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri,
dan setiap kebudayaan tentu ada masyarakatnya.[8]
Bila masyarakatnya berbeda, maka berbeda pula kebudayaan. Begitu pula keragaman
kebudayaan yang ada di Indonesia, dikarenakan perbedaan masyarakatnya.
2. Kebudayaan
Jawa
Dalam beberapa
sumber sejarah, disebutkan bahwa masyarakat Jawa sebelum datangnya agama Hindu
dan Budha telah menjadi masyarakat yang tersusun secara teratur, sederhana, dan
bersahaja. Sebagai masyarakat yang sederhana, sistem religi yang dianut adalah
animisme dan dinamisme. Pada masa ini kebudayaan pada masyarakat dikenal dengan
istilah budaya kejawen. Sistem ini menjadi inti kebudayaan masyarakat Jawa yang
mewarnai seliruh aktivitas kehidupannya. Cara berpikir masyarakat padamasa itu
masih dikuasai oleh perasaan yang lekat pada kebudayaan dan agama. Kepercayaan
kepada roh dan makhluk halus serta cerita-cerita mistis selalu meliputi seluruh
aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu, pikiran dan perilaku keseharian
masyarakat Jawa pada masa itu senantiasa tertuju pada suatu tujuan yaitu,
bagaimana mendapatkan bantuan dari roh-roh yang baik dan terhindar dari pengaruh roh-roh jahat
yang bersifat mengganggu. Masyarakat jawa pada periode ini sangatlah memegang
teguh kebersamaan dan kekeluargaan antar sesamanya, bahkan mereka sudah
mengenal penghormatan kepada yang lebih tua.[9]
Dari sebagian
masyarakat yang tinggal di pulau jawa, masyarakat Jawa Tengah masih sangat
kental dengan istilah mistis dan mitos, karena keyakinan dan mistisme
(kebatinan) sudah menjadi jalan pencarian masyarakat Jawa Tengah untuk mencapai
tujuan hidup, terkait dengan disiplin diri dan pemantapan batin. Dari keyakinan
dan mistisme menghasilkan sebuah praktik mistik. Praktik tersebut, diyakini oleh
sebagian masyarakat bisa membebaskan diri dari tuntutan sosial serta dapat
menciptakan sebuah dunia tersendiri yang tampaknya mengandung nilai dan ajaran
kehidupan dialam nyata.[10]
Masyarakat jawa
mempunyai kepribadian yang sangat ramah dalam menerima segala sesuatu yang
baru, hal ini diwujudkan oleh kebudayaan mereka yang sangat sinkretis, setiap
agama yang muncul dan masuk selalu diterima dengan sikap terbuka tanpa
memperhatikan aspek benar dan salahnya.
Sejak saat itu
muncul lah akulturasi budaya lama dengan budaya-budaya baru di Jawa dan
kebudayaan Hindu Budha, kini kebudayaan Jawa, Hindu Budha dan islam. Corak
kebudayaan ini terletak di lingkungan istana. Seperti juga di masa kedatangan
Hindu Budha, para penyebar agama Islam pun mulai menyiarkan agama Islam melalui
berbagai cara, dari melalui perdagangan, perkawinan, kesenian dan lain-lain.[11]
B. Islam
di Jawa
1. Masuknya
Islam di Tanah Jawa
Kepulauan Indonesia, sejak masa prasejarah telah
dikenal memilki kekayaan yang melimpah, berupa hasil bumi dan kekayaan alam.
Sejak awal abad masehi telah tercipta rute-rute pelayaran yang menghubungkan
kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Indonesia
menjadi penghubung jalur perdagangan yang dugunakan para pedagang yang
berlayar, Indonesia pun menjadi salah satu negara yang penting bagi para
pedagang, khususnya pedagang dari Cina dan India.
Pedagang muslim asal arab, Persia, dan India sudah ada
yang sampai di kepulauan Indonesia sejak abad ke-7 M. Ketika Islam pertama kali
berkembang di Timur Tengah, Malaka sudah menjadi pusat utama lalu lintas
perdagangan dan pelayaran. Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting
bagi para pedagang yang keluar masuk melalui jalur tersebut, disinilah muncul
pertukaran kebudayaan antar pedagang, termasuk kebudayaan dan ajaran agama
Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, dan lain-lain.[12]
2. Dakwah
dan Ajaran Islam di Jawa
Dalam sejarah
penyebaran agama Islam setelah keluar dari jazirah Arab, kemudian Islam
berinteraksi dan bergulat dengan lingkungan sosial budaya yang baru. Ajaran
Islam terbagi menjadi dua model dakwah yaitu, kompromi dan non kompromi. Dakwah
model kompromi adalah ajakan untuk memeluk agama Islam dengan cara menemukan
atau memadukan Islam dengan ajaran atau tradisi budaya yang sudah ada, meskipun
berbeda, tempat berlawanan antar keduanya, cara ini sangat efektif dan mudah di
terima oleh masyarakat, karena tidak adanya paksan dan tanpa menghilangkan
budaya masyarakat yang sudah ada. Sedangkan model non kompromi adalah suatu
ajakan yang menekankan dan mempertahankan keutuhan dan kemurnian syari’ah,
sehingga dalam penerapannya mempunyai pandangan yang agak kaku dalam menghadapi
budaya, ajaran, dan lingkungan sosial setempat yang berbeda dengan tempat asal
kelahiran Islam.[13]
Gerakan dakwah
yang bersifat kompromi dapat dilihat dengan perkembangan Islam di Jawa, dalam
perkembangan dakwahnya, gerakan dakwah yang bersifat kompromi mengalami proses
yang cukup unik dan berliku. Hal ini karena dakwahnya yang menyesuaikan dengan
tradisi Budaya Hindu Budha yang telah mengakar kuat dalam masyarakat, baik
dikalangan priyayi yang berpusat di istana maupun dikalangan rakyat , keduanya
masih berpegang pada ajaran Anamisme dan Dinamisme. Dengan adanya pengaruh yang
kuat dari agama Hindu Budha, maka tidak ada jalan lain untuk mengajak dan
memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat Jawa selain dengan pendekatan
secara kompromi dan penuh toleransi. Demikianlah terjadi dalam sejarah
pengislaman tanah Jawa yang di pelopori oleh para wali.[14]
Setelah Islam masuk dan
diterima oleh masyarakat Jawa, para penyiar agama Islam (walisongo) mulai
memperkenalkan dan mengajarkan agama Islam melalui metode-metode yang telah
ada, yaitu menggabungkan ajaran Islam dengan tradisi yang telah berkembang di
masyarakat, seperti kesenian, musik, wayang, dan lain-lain. Dalam membawakan
tradisi kesenian yang ada di masyarakat, walisongo perlahan-lahan memulai
menanamkan ketauhidan dan ajaran-ajaran Islam melalui seni wayang, dengan
merubah nama tokoh-tokohnya serta alur ceritanya kedalam sejarah-sejarah agama
Islam. Dengan cara inilah masyarakat Jawa mulai mengenal agama Islam.
PERILAKU
SPIRITUAL MASYARAKAT DESA KADILANGU KECAMATAN KANGKUNG KABUPATEN KENDAL
1. Kondisi
Keagamaan dan Budaya Desa Kadilangu
Dalam kehidupan manusia, agama memiliki peran yang
sangat penting dalam pelestarian dan perkembangan masyarakat dari masa ke masa.
Karena fungsi agama sangatlah besar, bahkan jika telaah lebih jauh kebelakang
dari segi etnigrafik, tidak ada satu kelompok manusia di dunia ini yang tidak memiliki
kpercayaan atau agama. Demikian juga dengan masyarakat di Desa Kadilangu, agama
dan kepercayaan dari masa ke masa tetap hidup sebagai pedoman dan pegangan dari
masyarakat.
Masyarakat Desa Kadilangu mayoritas beragama Islam,
bahkan jika di kalkulasikan berdasarkan data monografi Desa keseluruhan
masyarakat beragama Islam. Meskipun demikian, sebagian dari mereka masih ada
yang belum menjalankan syariat agama Islam. Namun, mereka sangat menghargai
muslim yang taat dan selalu membantu serta menyuksesan program yang berkaitan
dengan aktivitas keagamaan, seperti membangun masjid, langgar (musholla),
madrasah, pengajian, dan lain-lain. dengan demikian dapat dikatakan bahwa
dinamika keagamaan di Desa Kadilangu sangat nampak gairahnya, yang dapat
dilihat dari sarana dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang selalu
dilaksanakan.
1. Jumlah
tempat ibadah
Di Desa Kadilangu terdapat beberapa tempat ibadah
diantaranya, 2 masjid dan 10 musholla (langgar). Semua tempat itu sering
digunakan untuk rutinitas ibadah dan rutinitas sosial kegamaan.
2. Jumlah
sarana prasarana pendidikan agama Islam
Salah satu strategi Umat Muslim dalam melaksanakan
aktivitas dakwahnya dilakukan dengan membangun sarana pendidikan Islam, baik
formal ataupun non formal. Adapun sarana pendidikan yang ada di Desa Kadilangu
antara Lain: TPA, Madrasah Diniyah, Majlis Tak’lim dan lain-lain.
3. Aktivitas
keagamaan
Aktivitas keagamaan yang dilakukan masyarakat di Desa
Kadilangu hampir sama dengan aktivitasnya yang di lakukan oleh Desa-desa
lainnya, berupa pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, pembacaan tahlil, peringatan
hari besar Islam, seperti maulid Nabi Muhammad SAW, isro’ mi’roj, serta
tausiyah-tausiyah keagamaan yang bisa dibawakan oleh kyai-kyai dengan diiringi
kesenian Islam, seperti wayang, hadroh, marawis, dan lain-lain.
Dalam masyarakat di Desa Kadilangu, perwujudan dan
penggambaran budaya sangat nampak pada masing-masing struktur sosial masyarakat
tersebut, semua utu terwujud dengan adanya beberapa ritual keagamaan. Terkadang
ritual tersebut berkaitan dengan kepercayaan dan mitos masyarakat setempat,
misalnya ritual yang berkaitan dengan usaha pelestarian dalam siklus pertanian,
yang dalam melakukan ritual tersebut tujuannya adlh untuk menghasilkan hasil
panen yang memuaskan. Selain itu, bukti nyata yang ditunjukkan dari perilaku
masyarakat dalam menjalankan adat istiadat di daerah tersebut, dari
masing-masing struktur sosial ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya, namun
tujuan yang ingin dicapai tetaplah sama.
Kondisi masyarakat di Desa Kadilangu, jika dilihat
dari sistem sosial kebudayaan sangat akulturatif, begitu pula dengan sosial
keagamaannya begitu sinkretis. Kondisi sosial masyarakat Jawa terdiri dari tiga
sub kebudayaan, yang masing-masing terdiri atas struktur sosial yang
berlandaskan atas dasar agama. Struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan,
santri, dan priyayi.[15]
Adanya keriga struktur sosial yang berlainan ini menunjukkan dibalik mayoritas
penduduk Desa Kadilangu yang beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi
dalam sistem kepercayaan nilai, dan adat istiadat yang berkaitan dengan
masing-masing struktur sosial tersebut.
Dengan adanyatiga latar belakang sejarah kebudayaan
yang berbeda dan dibarengi oleh lingkungan yang berbeda pula maka terwujudlah
tiga struktur sosial kemasyarakatan, diantaranya adalah Abangan (kejawen),
santri (putihan), dan priyayi (golongan ningrat).
Bagi masyrakat Desa Kadilangu pada umumnya, istilah
abangan sudah sering di dengar, karena Islam abangan adalah salah satu varian
masyarakat yang sudah berkembang dipulau Jawa, termasuk di Desa Kadilangu,
istilah abangan memiliki arti tersendiri, yaitu sebutan untuk umat Muslim atau
masyarakat Islam yang mengaku beragama Islam, namun belum sepenuhnya
menjalankan syariat agama Islam secara benar dan teratur. Umat Islam ini masih
memegang erat tradisi leluhur mereka, yaitu sebuah tradisi yang berasal dari
kebudayaan nenek moyang terdahulu sebelum masuknya agama Islam.[16]
Dalam tradisi masyarakat abangan, mereka masih sering
melakukan kebiasaan-kebisaan lama, melakukan upacara ritual yang biasa disebut
nyajeni saat ini biasa dikenal (slametan).[17]
Kepercayaan mereka yang kompleks dan rumit terhadap makhluk halus dan
dewa-dewi, masih berlanjut secara turun temurun menjadi sebuah tradisi. Karena
kebiasaan yang sering dilakukan terebut membuat mereka kesulitan dalam
meninggalkannya. Meskipun agama Islam sudah mulai masuk serta sudah diyakini,
mereka masih tidak nisa lepas sepenuhnya dari kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Jadi, dapat dikatakan bahwa abangan merupakan sekelompok masyarakat yang
tinggal di Desa Kadilangu, beragama Islam, namun masih melakukan ritual
keagamaan yang secara turun temurun dilakukan oleh leluhur mereka, meskipun
tradisi itu diluar dari ajaran Islam yang mereka anut.
Adapun pengertia santri adalah seseorang atau
sekelompok orang yang beragama Islam, yang memegang teguh ajaran Islam serta
taat dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Dalam istilah masyarakat Desa
Kadilangu, santri diartikan sebagai orang yang sangat dalam pemahaman agamanya,
selalu menjalankan perintah agama serta menjauhi larangan agama. Jenis golongan
ini termasuk kedalam golongan
orang-orang yang soleh. Oleh karena itu, peribadatan pokok seperti sembahyang
merupakan sesuatu yang terbilang wajib yang harus mereka lakukan tanpa
terkecuali.[18]
Tradisi keagamaan santri, sama dengan masyarakat Islam
pada umumnya, selalu menjalankan aturan-aturan yang ada dalam ajaran Islam.
Dalam ajaran Islam ada suatu istilah yang menjelaskan tentang suatu ungkapan
menjadipegangan mereka yaitu “menjalankan segala perintah Allah SWT dan
menjauhi segala larangan-NYA”. Hampir keseluruhan masyarakat Desa Kadilangu
memeluk agama Islam mereka menjalankan apa yang telah di perintahkan oleh agama
Islam, melaksanakan sholat, membayar zakat, berpuasa, bahkan melaksanakan dan memeriahkan
hari besar Islam seperti Isro’ Mi’roj, maulid Nabi Muhammad SAW dan lain-lain.
semua itu mereka lakukan atas dasar kepercayaan pada agama yang mereka anut
yaitu agam Islam.
Kaum priyayi merupakan kelompok orang yang terdiri
dari pegawai negeri kaum terpelajar, dan golongan ningrat. Priyayi menurut
istilah aslinya menunjukkan kepada orang yang bisa menyelusuri asal usul
keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa. Semenjak bangsa Belanda
menjajah tanah Jaw, mereka memperkerjakan kaum priyayi di pemerintahan sebagai
intrumen administrasi pemerintahan.[19]
Namun, semua pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan perspektif
masyarakat di Desa Kadilangu tentang priyayi. Oleh masyarakat Desa Kadilangu
priyayi diartikan sebagai orang yang memiliki jabatan di pemerintahan dan tidak
mesti keturunan ningrat ataupun bangsawa, meskipun hanya keturunan masyarakat
petani biasa jika pekerjaannya disebuah lembaga pemerintahan, masyarakat pun
akan menyebutnya dengan sebutan priyayi.[20]
Ada beberapa hal yang yang membedakan priyayi dengan
santri dan abangan, jika santri dan abangan ruang lingkupnya mengenai
kepercayaan dan kebudayaan, sedangkan priyayi masuk dalam kategori struktur
sosial masyarakat atau tingkatan masyarakat bukan golongan masyarakat dalam
ruang lingkup kepercayaan dan kebudayaan.
Dari semua struktur sosial dan kebudayaan yang ada di
Desa Kadilangu, pada awalnya memang masih mengelompokkan golongan sosial
kemasyarakatan, namun dengan berjalannya waktu, seiring dengan mulai munculnya
kesadaran masyarakat akan pengetahuan dan pendidikan, maka secara
perlahan-lahan golongan sosial masyarakat tersebut mulai hilang dan semua
masyarakat melebur menjadi satu dan tidak ada lagi perbedaan dan penggolongan
masyarakat. Tidak hanya santri yang aktif dan menjalankan perintah agama Islam,
tetapi abangan juga melakukan rutinitas keagamaan Islam dengan rutin, dan bukan
hanya abangan yang lalai dalam melanggar aturan-aturan agama Islam, terkadang
santri pun lalai dalam melakukan rutinitas keagamaan , jadi sulit untuk membedakannya
karena semuanya sudah melebur menjadi satu.
2. Perilaku
Spiritual Masyarakat Desa Kadilangu
Masyarakat Desa Kadilangu sangat kental dengan budaya
dan tradisi adat mereka, meskipun mayoritas masyarakat beragama Islam, namun
mereka masih memegang teguh pada istiadat dan tradisi setempat. Di Desa
Kadilangu ajaran agama Islam sudah melekat pada kehidupan mereka, tetapi tetap
saja kepercayaan mereka terhadap tradisi leluhur tidak hilang, bahkan masih
tetap ada serta masih dilaksanakan. Meskipun tradisi dan kebiasaan mereka
bertentangan dengan ajaran Islam, namun kebiasaan itu tetap bisa mereka
laksanakan, kerena masyarakat beranggapan, jika sesuatu sering dilakukan secara
terus menerus dalam kurun waktu yang lama dan tiba-tiba tidak dilakukan atau
terhenti, maka mereka merasa takut ada sesuatu yang nantinya akan menimpa
mereka. Inilah alasan mereka, sehingga mereka kesulitan untuk meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun tersebut.
Pandangan masyarakat Desa Kadilangu memang masih
berakar jauh kemasa lalu, yaitu mereka sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya
agama-agama di Indonesia. Namun Tuhan dan ajaran yang dimaksud masih bersifat
animisme dan dinamisme. Semua agama yang datang diterima dengan baik oleh
masyarakat Desa Kadilangu, karena mereka beranggapan bahwa semua agama itu
baik. Ungkapan inilah yang kemudian menimbulkan sebuah sinkretisme dikalangan
masyarakat Desa Kadilangu. Agama baru telah masuk dikehidupan mereka, akan
tetapi pandangan mereka terhadap sesuatu yang gaib tidak hilang, bahkan masih
melekat kuat. Kepercayaan tersebut menimbulkan perilaku spiritual dalam ruang
lingkup masyarakat. Semuanya atas dasar kepercayaan terhadap segala sesuatu
yang mereka anggap memiliki kekuatan di luar batasan kemampuan manusia. Seperti
kepercayaan terhadap roh-roh, benda-benda pusaka, dan lain-lain. dari
kepercayaan tersebut timbulah suatu kebiasaan dalam melakukan perilaku
spiritual berupa rituak-ritual adat.
Gambaran tentang perilaku spiritual masyarakat Desa
Kadilangu, berupa ritual-ritual keagamaan yang terwujud dalam rutinitas harian
masyarakat dalam bertani. Saat bertani, masyarakat masih memegang teguh
kebiasaan- kebiasaan yang ada berupa tradisi nyajeni, tradisi nyunyuk, tradisi
ngalemi, dn lain-lain. Perilaku spiritual masyarakat dalam agama Islam yang
mereka lakukan adalah melakukan pendekatan diri kepada Allah SWT di suatu
tempat dalam kurun waktu yang lama, padahal tujuannya adalah untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT dan membersihkan diri dari sifat-sifat dunia.
3. Akulturasi
Budaya Jawa dengan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Masyarakat Desa
Kadilangu
Budaya jawa sudah ada jauh sebelum agama Hindu Budha
bahkan Islam ada di Tanah Jawa. Budaya jawa yang sudah berlangsung secara turun
temurun, berasal dari nenek moyang masyarakat Jawa terdahulu dan terus
berlanjut sampai sekarang. Istilah budaya Jawa dikenal dengan istilah kejawen.
Budaya Jawa ini tidak berasal dari agama Hindu Budha dan ajaran Islam, tetapi
berasal jauh sebelum masuknya Hindu Budha dan Islam. Dalam ajaran kejawen,
kepercayaan tertuju pada sesuatu yang bersifat mistis dan dunia ghaib, serta
sebagai suatu bentuk keyakinan , kepercayaan tersebut masih tetap utuh dan
dipertahankan sampai saat ini.
Contoh tradisi budaya Jawa yang sudah berakulturasi dengan
agama Islam adalah Tradisi bertani. Kerena di Desa kadilangu mayorutas
masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, maka penyebaran agama
Islam disesuaikan dengan adat istiadat dan tradisi masyarakat tersebut, karena
dalam bertani di Desa Kadilangu, banyak sekali prosesi ritualnya seperti
Tradisi Ngalungi (kaputan), Tradisi Wiwitan (Nanem), tradisi Nyebar
(pembibitan), tradisi Wiwitan (Nggarap), Tradisi Ngalungi (Pasca Nanem),
Tradisi Ngalemi (Sajeni) dan Tradisi Nyunyuk (Panenan).
Ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat Desa
Kadilangu dengan muda, padahal masyarakat sudah memegang teguh budaya yang ada.
Caranya dengan mengakulturasi budaya yang ada dengan agama Islam. Dengan
menyusupkan ajaran Islam kedalam Budaya atau adat istiadat masyarakat setempat
secara perlahan-lahan. Jika langsung bertajuk kepada pembaharuan, maka akan di
tolak mentah-mentah oleh masyarakat Desa Kadilangu, tetapi jika proses
pengislamannya dilakukan dengan menggabungkan atau menyusupkan budaya yang ada,
maka masyarakat tidak akan tahu dan akan langsung menerima dengan baik,
sehingga terbukti bahwa cara ini, sangat berpengaruh pada masyarakat Desa
Kadilangu. Pengislaman yang dilakukan oleh penyiar Islam terdahulu menggunakan
metode ini. Mereka menyiarkan agama Islam melalui tradisi keseharian masyarakat
yaitu bertani. Dalam rentetan tradisi pertanian, tokoh ulama Islam menyisipkan
niat, ketauhidan, keyakinan dan aqidah ajaran Islam dalam pelaksanaannya.
Hasilnya pengislaman bisa dilakukan dengan mudah tanpa harus merusak budaya
atau tradisi yang sudah ada.
Dalam hal ini, masyarakat masih tetap menjalankan
budaya dan tradisi yang ada, tetapi niat dan keyakinannya sudah dalam pengaruh
ajaran agama Islam dan pelaksanaannya menggunakan syariat dan prinsip-prinsip
agama Islam.
Tradisi pertanian ini berasal dari ajaran Hindu Budha.
Tradisi bertani dalam pelaksanannya sangatlah rumit harus melakukan banyak hal,
dan jika di kalkulasi, keuangan masyarakat yang dipakai dalam bertani berkurang
hanya untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain yang harus dipenuhi, dan tidak ada
sangkut pautnya dengn pertanian.
Kedatangan ajaran Islam membuat masyarakat sadar dan
berfikir, pada awalnya, masyarakat percaya pada sesuatu yang ghaib dan
melakukan ritual dengan memberi sajen, dengan tujuan, bisa membantu mereka
untuk mendapatkan hasil panen yang bagus serta melimpah. Saat ajaran Islam
mulai mereka kenal, perlahan-lahan masyarakat mulai mengubah pola pikir mereka
menjadi logis dan berakal. Hasil panen yang baik dan bagus dihasilkan bukan
karena sajenan dan ritual-ritual mistik yang dilakukan, melainkan karena bibit
yang bagus, cuaca yang mendukung, serta keuletan petani dalam mengurusi
tanamannya tersebut. Awalnya mereka membuang-buang harta untuk mempersiapkan
sesembahan dalam ritual, perlahan-lahan mereka mulai meninggalkannya.
Selain itu, tradisi tumpengan yang awalnya digunakan
untuk sesembahan kepada makhluk ghaib, dengan memberikan kemakmuran dalam
menjalankan hidup dan hasil panen yang melimpah, maka setelah masuknya Islam,
tradisi itu perlahan-lahan mulai diubah menjadi tradisi kondangan, yang
memiliki tujuan untuk berbagi dengan sesama dan mempererat tali silaturahim
antar tetangga sekitar, bukan menghambur-hamburkan sesuatu yang hasilnya tidak
bisa dipastikan kebenarannya.
Setelah Islam menjadi agama yang di padukan dengan
tradisi yang ada, maka masyarakat mulai bisa mendapatkan pengetahuan dan ilmu
agama Islam, dimulai dari pengetahuan sosial, agama, dan lain-lain. dari sini,
masyarakat Desa Kadilangu mulai berfikir dan memilih, mana sesuatu yang
dianggap benar dan mana yang dianggap tidak sesuai, bahkan bisa merugikan
mereka.
Dengan demikian akulturasi budaya jawa dan agama Islam
di Desa Kadilangu memberikan dampak yang positif dan memberikan pandangan baru
kepada masyarakat akan sesuatu yang sifatnya baru, dalam berperilaku, mereka
benar-benar mengerti dan paham terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh tokoh
Islam, meskipun memegang etguh tradisi yang ada, niat mereka sudah berubah dan
digantikan dengan niat yang baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
agama Islam dan budaya kejawen mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
perilaku spiritual masyarakat Desa Kadilangu Kecamatan kangkung Kabupaten
Kendal selaknya dapat dibuktikan dengan:
1. Baik
budaya maupun agama, keduanya memiliki peran masing-masing dalam membentuk
suatu tatanan hidup serta pola pikir masyarakat. Dapat diartikan keduanya bisa
membentuk suatu karakter dalam komunitas masyarakat di suatu wilayah.
2. Akulturasi
budaya Jawa dan agama Islam menghasilkan suatu pembaharuandalam masyarakat.
Dari segi keyakian, ajaran sampai perilaku masyarakat.
Pencampuran keduanya memberikan pengaruh terhadap pola
pikir masyarakat. Karakteristik dan perilaku spiritual masyarakat, bukan hanya
terbentuk dari agama dan budaya yang ada saja, melainkan berasal dari
tokoh-tokoh masyarakat. Keputusan yang diambil oleh tokoh tersebut dalam
menentukan suatu hal akan memberikan dampak yang signifikan kepada pola pikir
dan perilaku masyarakat.
Islamisasi di suatu daerah bukan hanya melalui
perdagangan, perkawinan, dan dakwah saja, tetapi Islamisasi bisa dilakukan
melalui tradisi dan kebiasaan masyarakat yang ada, seperti Islamisasi di Desa
Kadilangu yang dilakukan melalui tradisi pertanian.
B. DAFTAR
PUSTAKA
Geertz,
Clifford, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan
Oleh Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981)
Gazalba,
Drs, Sidi, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1976)
Herustanto,
Budiono, Simbolis dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha
Widia, 2000)
Hidayah,
Irfanul, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya
Lokal”, dalam Jurnal Religi, Vol. 2, no. 2, Juli 2003
Hadi,
Sutrisno, Metodologi Research, Jilid 2, (Yogyakarta, Djambatan, 1979)
KhalilM.
Fil. I, Ahmad, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi jawa, (UIN
Malang Press, 2008)
Meinarno,
Eko A, Widianto Bambang, Halida Rizka, Manusia dalam Kebudayaan dan
Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika,
2011)
Suhandjati,
Sri. Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalitas Kearifan Lokal, Semarang:
Karya Abadi Jaya. 2015
[1] Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses
Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, vol 2, no 2, juli
2003, hal. 137
[2] Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses
Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, vol 2, no
2, Juli 2003, hal 138
[3] Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi
Jawa, (UIN Malang Press, 2008), Hal. 272.
[4] Eko A, Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam
Kebudayaan dan Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba
Humanika, 2011) Hal. 88
[5] Eko A, Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam
Kebudayaan dan Masyarakat Pandangan Abtropologi dan Sosiologi, (Jakarta,
Salemba Humanika, 2011) Hal. 90
[6] Eko A, Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam
Kebudayaan Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta,
Salemba Humanika, 2011) Hal. 93
[7] Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta:
PT. Hanindita Graha Widia, 2000), hal. 7
[8] Drs. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologis dan
Sosiografi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 24
[9] Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi
Jawa, (UIN Malang Press, 2008), hal. 132-133
[10] Ahmad Khalil, M, Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan
Tradisi Jawa, (UIN Malang Press, 2008), hal. 158
[11] Ahmad Khalil, M, Fil. I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi
Jawa, (UIN Malang Press, 2008), hal. 146
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2000), hal. 192
[13] Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Kawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi
Jawa, (UIN Malang Press, 2008), hal. 14
[14] Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi
Jawa, (UIN Malang Press, 2008, hal. 14-15
[15] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
Diterjemahkan oleh Aswab Mahasin (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981), hal.
VII
[16] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan
Oleh Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981). Hal. X
[17] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, diterjemahkan Oleh Aswab Mahasin (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya,
1981). Hal. 6
[18] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan
Oleh Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981). Hal. 173
[19] Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan
Oleh Aswab Mahasin (Jakarta, PT. Dusun Pustaka Jaya, 1981) hal. 308
[20] Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalitas Kearifan Lokal (Semarang: CV, Karya Abadi Jaya,
2015), Hal 33
Komentar
Posting Komentar