Merevitalisasi upacara budaya jawa islam tentang sedekah bumi di desa bulusari kecamatan sayung

Merevitalisasi  upacara budaya jawa islam tentang sedekah bumi di desa bulusari kecamatan sayung

 

Oleh:

 Muhamad Aji Muzadi

Program studi agama agama B2

Universitas Isalam Negri Walisonggo Semarang

Email : majimuzadi@gmail.com 

Abstrak

               Revitalisasi merupakan sebuah penghidupan dari salah satu  proses cara menghidupkan perbuatan yang sebelumnya hampir punah atau mati. Dalam artikel ini akan membahas salah satu revitalisasi budaya jawa islam yang mana budaya merupakan revitalisasi yang terkait dengan pemikiran dan prasaan manusia. Hal ini di karnakan budaya merupakan hasil kinerja pikiran manusia yang terwujud dalam kehidupan kesehariannya. Sedangkan kehidupan manusia mengalami perubahan dari masa ke masa. Terutama dalam kebudayaan, kehidupan di era globalisasi sekarang banyak orang orang jawa yang telah meninggalkan kebudayaan nya sendiri. Dalam salah sat contoh yaitu budaya jawa islam tentang sedekah bumi di desa bulusari kecamatan sayung, sebagian masyarakat sayung telah melupakan budaya tesebut dimana budaya tersebut merupakan peningalan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu, arti lain dari sedekah bumi yaitu suatu acara adat yang melambangkan rasa syukur manusia terhadap tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rezki melalui Bumi .

 

Kata kuci : merevitalisasi budaya sedekah bumi.

 

Pendahuluan

Kebudayaan adalah warisan nenek moyang yang dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Terdapat suatu mekanisme tertentu untuk mempelajari kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat pendukungnya, antara lain menjunjung tinggi nilai-nilai penting bagi warga masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat. Oleh karena itu suatu masyarakat selalu ingin melakukan revitalisasi terhadap nilai-nilai budaya yang dimiliki, jika nilainilai budaya tersebut terkoyak oleh hadirnya nilai-nilai baru yang dianggap tidak tepat atau merusak tatanan budaya sebelumnya.

Pentingnya revitalisasi budaya lokal disebabkan kehidupan masyarakat yang didasarkan pada kultur masa lampau, kenyataannya lebih baik jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat sekarang yang banyak menyerap budaya luar setiap saat. Memperhatikan hal tersebut, revitalisasi mendesak untuk dilaksanakan. Revitalisasi budaya itu sendiri memiliki banyak pengertian. Kontekstualnya dengan kehidupan sekarang dapat dicari pengertian yang sesuai. Di antaranya, revitalisasi adalah upaya untuk menghidupkan kembali kawasan mati, yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan, dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki oleh sebuah kota baik dari segi sosial-kultural, sosio-ekonomi, segi fisik alam lingkungan, sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya Dalam hal ini revitalisasi budaya berarti usaha menghidupkan kembali suatu budaya dengan berdasarkan pertimbangan dan tujuan tertentu. Kita masih perlu melakukan upaya revitalisasi seni dan budaya. Citra luhur seni dan budaya bangsa memerlukan etos kebangsaan, semangat kebersamaan dan kultur keunggulan sebagai bentuk investasi kultural masa depan. Investasi budaya adalah investasi jangka panjang namun tetap efektif dan prospektif karena disegarkan, yang dimekarkan, yang digetarkan adalah totalitas dari pondasi kemanusiaan yang mencakup pikiran kreatifitas kebanggaan dan martabat bangsa yang kita persembahkan bagi kesejahteraan dan perdamaian dunia.[1]

Jawa  merupakan salah satu pulau di indonesia yang terdapat banyak teradisi dan budaya salah satunya yaitu budaya jawa islam tentang sedekah bumi. Islam mengajarkan untuk mengenal, memahami dan menghargai budaya lokal (Qs: Al Hujurat 13). Tanah jawa di masuki oleh para wali wali yang biasanya di sebut dengan wali songo, para wali tersebut peduli kepada masyrakat di lingkungan nya, bisa memahami spritualitas dan budaya yang berkembang di tengah masyrakat jawa. Karna itu, dalam menyampaikan ajaran islam dilakukan dengan cara persuasif dan mengunakan unsur budaya yang sebelumnya sudah dikenal oleh masyrakat jawa. Ketika para wali masuk di tanah jawa budaya sedekah bumi sudah ada, mereka para wali yang mensyiarkan agama islam tidak menghilangkan budaya tersebut, mereka malah memakai budaya tersebut sebagai salah satu cara untuk mempermudah syiar mereka dengan memasukan ajaran ajaran islam kedalam budaya sedekah bumi, yang sebelumnya masyrakat jawa masih mengenal animisme dan dinamisme.

Adanya sedekah bumi untuk mengigatkan manusia yang telah memanfaatkan fasilitas (alam) yang telah Allah SWT berikan, maka hendaklah manusia memberikan timbal balik atas apa yang diperolehnya berupa tindakan positif terhadap alam dan lingkungan sebagai tempat manusia mencari penghidupan. Perlakuan atau tindakan yang dilakukan manusia berbeda-beda karena pada hakikatnya apa yang menjadi jalan pikiran manusia yang telah melahirkan budaya manusia itu sendiri juga berbeda-beda, Tentu manusia merupakan makhluk tempatnya lupa dan salah, sehingga perlu adanya sebuah tanda atau pengingat bagi manusia untuk senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT. Budaya yang telah menjadi tradisi masyarakat, yaitu sedekah bumi (Nyadran) merupakan pengingat bagi masyarakat untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Selain itu, agar supaya masyarakat menghormati jasa-jasa leluhur yang berjasa membuka lahan (babat alas) tempat tinggal masyarakat, serta sebagai pengingat untuk senantiasa menjaga lingkungan (alam) sebagai tempat masyarakat mencari penghidupan.

 Kini di era globalisasi budaya budaya jawa semakin terkikis karna banyak nya budaya luar yang masuk di negara kita, salah satu wilayah di bulusari sayung yang dulunya selalu mengadakan budaya sedekah bumi, kini tahun nambah tahun banyak masyarakat yang tak peduli demgan budaya tersebut bahkan ada yang sampai lupa. Dari artikel ini penulis ingin mengangkat kembali budaya jawa islam tentang sedekah bumi di desa bulusari sayung demak.

Pembahasan

A.    Perlunya Revitalisasi Budaya Jawa    

Revitalisasi budaya jawa merupakan revitalisasi yang terkait dengan pemikiran dan persamaan manusia. Hal ini dikarnakan budaya merupakan hasil kerja pikiran dan perasaan manusia yang terwujud dalam kehidupan sehari hari. Sedangkan kehidupan manusia mengalami perubahan masa ke masa. Oleh karna itu, bidang kebudayaan seperti ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, politik, kesenian, dan filsafat yang dihasilkan oleh pemikiran pada masa lalu, sehingga ada yang tidak sesuai dengan kebutuhan pada masa sekarang.

Dengan fakta tersebut, maka revitalisasi kearfan lokal yang terkait erat dengan budaya jawa menjadi penting untuk dilakukan di era globalisasi ini. Globalisasi merupakan proses yang mengarah pada kemajuan yang cepat dalam teknologi, komunikasi, trnasformasi dan nformasi yang mengikis budaya jawa.[2]

menyebabkan mbagian dunia yang semula jauh dapat dijangkau dengan mudah. Globalisasi membawa perubahan dalam cara berpikir, bersikap maupun gaya hidup lain, sehingga beresiko Pentingnya revitalisasi budaya lokal disebabkan kehidupan masyarakat yang didasarkan pada kultur masa lampau, kenyataannya lebih baik jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat sekarang yang banyak menyerap budaya luar setiap saat. Memperhatikan hal tersebut, revitalisasi mendesak untuk dilaksanakan. Revitalisasi budaya itu sendiri memiliki banyak pengertian. Kontekstualnya dengan kehidupan sekarang dapat dicari pengertian yang sesuai. Di antaranya, revitalisasi adalah upaya untuk menghidupkan kembali kawasan mati, yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan, dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki oleh sebuah kota baik dari segi sosial-kultural, sosio-ekonomi, segi fisik alam lingkungan, sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya.

Era global yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, telah menimbulkan perubahan di berbagai bidang, termasuk dalam tantangan sosial dan gaya hidup. Salah satu perubahan itu ialah terjadinya erosi dan tatanan tatakrama dan budaya jawa. Struktur masyarakat dan gaya hidup yang semula dilandasi dengan gaya hidup ketimuranyang halus dan santun, berybah menjadi gaysa hidup global yang cenderung kepada kebabasan gaya hidup kebarat-baratan.[3]

Terdapat tiga kelompok di masyrakat jawa dalam menghadapi dampak dari globalisasi terhadap budaya jawa. Kelompok pertama yang menantang masuk nya gaya hidup global yang individualistik dan meterialistis. Hal ini tentu berlawanan engan adt jawa yang santun, dan penuh dengan nilai kekerabatan dan gotong royong. Mereka ini yang kemudian membentuk kelompok yang mengunakan identitas jaw, seperti penggunaan bahasa jawa yang diwarisi dari orang tua tetap di lestarikan, meskipun di antara mereka mengaku tidak mengetahui maksud dari upacara yang di lakukannya. Mereka melakukan upacara tradisi ini karna menghormati orang tua dan nenek moyangnya yang sudah tiada. Sebagian dari kelompok kedua ini, ada yang proaktif untuk memelihara budaya jawa dengan mengadakan kursud MC/pranatacara, membentuk komunitas pecinta wayang (seperti yayasan senawangi), menyelengarakan seminar/penerbitan budaya jawa (seperti lembaga Javanologi).

Kelompok kedua adalah mereka yang mengikuti gaya hidup global, dan memandang budaya jawa adalah feodal karan membuat pembedaan atau strata dalam setatus sosial, baik dalam berbicara maupun bersikap. Menurut mereka di era yang moderen ini sudah tidak perlu lagi tradisi yang menimbulkan pencitraan adanya setatus kelompok yang di pandang lebih tinggi dari yang lain. Kelompok ini sudah mninggalkan tatakrama maupun tradisi jawa seperti ritual dalam kehidupannya.

Kelompok ketiga ialah kelompok yang memedukan antara unsur budaya jawa dengan ajaran agama. Sebagaian dari kelompok ini mengambil tatakrama jawa yang dinilai sesuai dengan ajaran agama yang juga mengajarkan sopan santun dalam berbicara maupun berperilaku. Namun dalam ritual jawa yang terkait dengan siklus kehidupan manusia, ada yang tidak diikutdengan alasan ritual jawa tersebut ytelah bercampur dengan unsur kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Selain itu dari klompok ini ada yang memadukan ritual budaya jawa dengan agama, dengan merujuk pada apa yang sudah dilakukan walisonggo, anatara lain menganti sesaji dengan sedekah (berkat berupa makanan yang diberikan kepada tetangga atau saudara) mantra yang diganti doa  atau kalimat thayibah.

Pembagian kelompok tersebut diatas, dalam realitasnya tidak bisa di tarik garis secara tegas, karna masalah budaya bersifat komporromis dan bisa berubah sesuai dengan perkembangan masyrakat.

Nilai nilai luhur dalam budaya jawa pada era globalisasi ini diperlukan untuk menangkal pengaruh negatif dari globalisasi. Seperti gaya hidup yang bercorak kebarat barattan (weaternisasi) yang sudah masuk di indonesia sejak masa penjajahan belanda. Merujuk tulisan wasino, kebudayaan barat masuk ke tengah masyarakat jawa melalui tiga tahap yakni masa terdinya kontak antara VOC dengan para raja pada abad 17. Yang berdampak pada kerjasama yang saling menguntungkan. Raja berkewajiban menyediakan barang dengan yang laku di pasar dunia kepada VOC dengan imnbalan uwang, perhiasan, dan benda berharga lainnya. Fase ini lebih menguntunkan belanda, karna mereka mendapat konsensi untuk menguasai daerah kerajaan yang diserahkan kepada belanda sebagai imbalan telah membantu  raja atau keluarga kraton. Budaya barat mulai masuk di kalanga kraton, meski masih terbatas.

Tahap kedua, budaya barat masuk melalui para bupati yang mendapat tugas untuk mengumpulkan hasil bumi kepada belanda. Karna itu, pengaruh kebudayan barat tidak hanya melalui raja, tetapi juga melalui para bupati sehinggamenjangkau lapisan atas dikalangan masyrakat jawa.

Tahap ketiga, masuknya budaya barat dan tersebar di kalangan masyarakat jawa melalui berbagai jalan seperti pendidikan, perdaganggan, pemerintahaan, keagamaan, teknologi, ilmu pengetahuaan, dan kesenian. Hal ini terjadi melalui akhir abad 19 ztzu awal abad 20.[4]

Meski demikian, budaya barat juga memiliki dampak positif bagi masyarakat luas, seperti kemajuan di dakam ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menandai tumbuhnya kebudayaan moderen. Peroses perkembanggan nya moderenitas dalam IPTEK tersebut membawa pada moderenisasi dalam berbagi bidang kehidupan. Moderenisasi dalam IPTEK sering disamakan dengan Westernisasi. Padahal keduanya berbeda  karna moderenisasi adalah peroses menuju zaman moderen yang ditandai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Sedangkan westernisasi mengarah kepada hidup yang kebarat baratan, seperti cara berpakain, pergaulan dan makanan.

 

Pengaruh budaya kebarat baratan semakin meluas dengan adanya teknologi informasi yang menyebabkan terjadinya globalisasi. Di era global, kebudayaan dari manca negara masuk ke tengah masyrakat jawa dan mempunyai dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif antara lain terjadinya kemajuan di dunia ilmu pengetahuan yang cepat, karna bisa diakses dai dunia maya. Jaringan kerjasama dalam bidang kehidupan juga dapat direalisir dengan mudah, sehinga terjadi perubahan berpikir pada masyrakat yaitu dari tradisional ke arah rasional. Damapk negatifya antara lain masuknya gaya hidup global yang terpengaruh faham materialismr, yang membuat orang memuja materi dan melupakan kekrabatan. Globalisasi juga menawarkan gaya hidup yang hedonis (mengutamakan kenikmatan) tanpa mengindahkan nilai moral atau ajaran agama[5].

Dengan demikian, budaya jawa yang diakui mempunyai ajaran leluhur yang perlu di revitalisasi, sehingga bisa di gunakan untuk membangun perekonomian maupun bangsa serta jatidiri bangsa.[6]

Jati diri bangasa di negara manapun, di era global ini menghadapi ancaman yaitu semakin terkikisnya nasionalisme. Karna itu, cinta tanah air dan buadaya daerah maupun nasional harus dibina melalui pelestarian nilai nilai luhur yang terdapat dalam budaya lokal atau nasional. Apalagi sebagian besar generasi muda yang asing dengan budaya jawa yang “adil luhung” (indah bernilai tinggi).

Pewarisan nilai leluhur yang terkandung dalam budaya lokal kepada generasi penerus bangsa dapat dilakukan melalui tiga pusat pendidikan yaitu keluarga, sekilah, dan lingkungan masyrarakat.

Dalam serat sasanasunu di sebutkan bahwa penghargaan kepada oranglain itu perlu di dahului denfa tatakrama terhadap diri sendiri, yang keberhasilannya bisa di lihat dari:

1)     Penampilan baik, yang diwujudkan dalam perkataan dan sikap yang santun, pakain rapi dan menjauhkan diri dari sikap yang berlebih lebihan. Di samping itu, juga menjahui perkataan yanh kasar, menyakitkan, menimbulkan permusuhan atau merusak martabat orang lain.

2)     Menjaga keseimbanga urusan dunia dan akhirat, dengan memperlihatkan halal dan haram sesuai syariat. Sehingga tidak terjebak dalam kehidupan yang berlebihan ayau bergelimbing dosa.

3)     Mawas diri untuk memahami jati dirinya sebagi manusi, dan menyadari asal usul serta tujuan hidup nya.

4)     Melaksanakan rukun iman untuk membina hubungan baik kepada Allah dan sesama manusia. Maka akan diperoleh ketenangan, apabila rukun islam dilaksanakan dengan baik, karna memiliki implikasi teologi dan sosial.

 

 

 

B.    Budaya jawa islam tentang sedekah bumi di desa bulusari kecamatan sayung

Sedekah bumi yang sering diberi nama (Nyadran) merupakan sebuah budaya yang telah menjadi tradisi masyarakat bulusari sayung. Tradisi sedekah bumi (Nyadran) di bulusari sayung dilaksanakan pada bulanbulan panen hasil bumi yaitu seperti panen padi, jagung, dan lain sebagainya secara serentak. Masyarakat bulusari sayung yang mayoritas merupakan masyarakat muslim telah memberikan kesepakatan adanya pelestarian budaya sedekah bumi (Nyadran) untuk diadakan tiap tahun. Bahkan, pemerintah setempat juga mendukung pelaksanaan sedekah bumi (Nyadran) di daerah tersebut. Selain dukungan moril, pemerintahan setempat juga memberikan dukungan materi.

Masyarakat terlihat sangat antusias dalam melaksanakan tradisi sedekah bumi, baik dari kalangan anak-anak, dewasa, dan tua. Semua masyarakat ikut andil dalam pelaksanaan (Nyadran). Hal tersebut terlihat dari kerelaan masyarakat setempat untuk menyedekahkan hasil panen buminya yang berupa padi (beras), jagung, sayur-sayuran, dan buah-buahan untuk pelaksanaan sedekah bumi (Nyadran). Hasil panen yang telah dikumpulkan kemudian dihias, dan masyarakat sering menyebutnya “gunungan”. Tinggi dari “gunungan” tersebut kurang lebih satu sampai satu setengah meter[7]. Tak hanya itu, kendaraan hias, tumpeng raksasa, Ogoh-ogoh, Buta, singa depok, kuda lumping dan gamelang tak luput ketinggalan, dan banyak lagi mewarnai perhelatan tersebut. Sebelum karnaval digelar,  biasanya mereka berkumpul di Alun -alun Balai Desa Bulusari sayung demak dan mulai berjalan menuju pemakaman, kebuyutan yang dianggap keramat untuk melakukan Tahlilan dan do’a bersama.

Adapun susunan acara adat yang ada di desa bulusari sayung demak ialah:

1)              Persiapan Upacara dilakukan pagi hari, terdiri atas: Penataan makanan pada dongdang dan penataan tempat upacara.

2)               Pelaksanaan dilakukan mulai pukul 09.00  Pengumpulan masa, Barisan helaran  (jalan satu jalur ) Prosesi pemberangkatan bertempat di halaman balai desa bulusari, diawali dengan membunyikan kentongan besar oleh kepala dusun sebagai informasi kepada masyarakat untuk segera berkumpul karena acara akan segera dimulai. Kemudian diikuti dengan tabuhan kentongan/ kohkol kecil yang ditabuh tiga orang dengan ritmis yang tidak beraturan dimulai dari tempo lambat sampai tempo cepat. Para penari, pemain angklung, pemain kohkol/kentongan, pemain genjring membentuk formasi lingkaran sambil mengelilingi dongdang (tempat usungan tumpeng) dilakukan tiga kali putaran sambil menabuh intrumen masing-masing dengan diiringi vokal

Simbol-simbol yang disajikan dan diperlihatkan dalam ritual dikaitkan dengan mitos tentang dunia, meringkas kualitas kehidupan emosional dengan bertindak atau aktif dalam penyelenggaraannya. Simbol-simbol sacral menghubungkan ontologi, kosmologi dengan estetika dan moralitas. Kekuatan khas simbol-simbol itu berasal dari kemampuan warga masyarakat untuk mengidentifikasikan fakta dengan nilai fundamental untuk sesuatu yang bersifat faktual murni pada muatan normatif yang komprehensif. Simbol-simbol sacral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan yang teratur itu membentuk sebuah sistem religius[8]. Ritual yang sering kita temui dimasyarakat Jawa seperti sedekah bumi kental akan keberadaan simbol yang digunakan dalam pelaksanaanya, seperti tumpeng dan sesajen. Selain itu, ritual dalam tradisi masyarakat Jawa dilakukan untuk berdo’a dan mendapatkan suatu keberkahan, Juga berfungsi untuk menghormati para leluhur yang sudah meninggal.

Selain adat tersebut masyrakat bulusari sayung biasanya juga mengadakan doa bersama dengan di kemas dengan acara seperti majlis akbar mengundang ulama dan kiyai guna mengajak masyrakat berdoa dan bersyukur bersama atas nikmat  dan rizki yang telah diberikan kepada mereka melalui  hasil bumi yang mereka rasakan, para ulama dan kihyai biasanya juga mengajak kita sebagai manusia  utntuk berbuat baik sesama makhluk-makhluk ciptaan tuhan seperti tumbuhan, hewan, lingkungan dan sesama manusia. Dan   banyak nasehat  yang di sampaikan oleh ulama dan kihyai untuk menjadi manusia yang utama. Kita diingatkan untuk jangan berbuat jahat, jangan serakah, orang yang berbuat baik pasti akhirnya akan berjaya.

Dalam acara majlis tesebut tak lupa masyarkat memasak makanan khas jawa untuk dibagikan kepada hadirin yang hadir pada majlis tersebut. Seperti pembuatan apam, tumpeng yang dikasihkan untupeng yang dikasihkan kepada khiyai untuk memotong dan mendoakan nya, dan masih banyak lagi hiasan hiasan acra sedekah bumi.

Ada juga masyarakat desa bulusari sayung mengatakan sedekah bumi terkadang  disebut juga sebagai acara APITAN. Sebab acara sedekah bumi biasanya dilaksanakan pada bulan APIT, yaitu bulan diantara dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha, apit artinya terjepit, terjepit diantara dua hari raya). Sebagaimana halal bihalal yang dilakukan pada bulan Syawal, orang Jawa ada yang menyebutnya sebagai acara Syawalan, demikian pula Sedekah Bumi karena dilaksanakan bulan Hapit, maka disebut APITAN atau HAPITAN.

C.    Terkikisnya  budaya jawa islam tentang upacara sedekah bumu di desa bulusari sayung

Desa bulusarai merupakan salah satu desa yang ada di kecaamataan sayung kabupaten demak, salah satu desa yamg sebelumnya selalu mengadakan acara sedekah bumi. Adanya sedekah bumi masyarakat bulusari mendapatkan pujan dan pujian dari pemerintah setempat, bahkan dulu pernah di kasih semacam penghargan.

Di era moderenisasi sekarang banyak doktrin doktrin dan budaya luar yang masuk di negara kita, kini budaya budaya lokal semakin terkikis karna banayak nya faktor. Faktor faktor Budaya jawa sedekah bumi di desa bulusari yang hampir terkikis, diantaranya ialaha: banyak nya sesepuh sesepuh yang telah meninggal, hilang nya juru masak makanan tradisional, hilangnya pakain pakain adat yang sebelumnya di gunakan, dan banyak masyarakat yang bersifat acuh taacuh (bodo amat).

Dalam demikian hanya beberapa masyarakat jawa yang mengadakan acara sedekah bumi dalam artian mengadakan acara sedekah bumi tetapi tidak sebesar acara tahun tahun sebelumnya.

Salah satu terkikisnya budaya sedekah bumi yaitu hilang nya masyrakat yang ahli dalam bidang: Angklung, vokal, kohkol/kentongan, keprak, genjring, gemyung, kendang, ketuk, goong. Penggunaan Lagu-lagu laras Salendro, Degung dan Madenda. Penggunaan medium gerak (gerakgerak tari Ronggeng Gunung ).

D.    Hal hal yang perlu di revitalisasi

Pemuda merupakan anak yang usia nya menginjak dewasa, kini pemuda zanman sekarang banyak yang tidak peduli dengan kebudayaan nya sendiri, pemuda sekarang mempunyai budaya sendiri dengan mengikuti budaya budaya asing. Dimna budaya mereka yang semakin terkikis, seharusnya, mereka sadar apa yang terjadi di lingkungan nya sendiri. Sudah banyak orang orang sepuh yang meninggal, yang dulunya selalu mengigatkan kepada kita untuk mencintai kebudayaan nenek moyang. Kini yang seharus nya pemuda pemuda yang mengantikan posisi nenek dan kake mereka untuk melestarikan budaya jawa.

Kita sebagai anak muda yang kealak akan mengantikan posisi nenek kake kita yang telah mewariskan kebudayaan nya. Kini saat nya kina mulai mencintai kembali budaya kita dengan belajar apa saja yang terkandung dalam susunan acara adat budaya jawa, seperti memasak makanan tradisional, tumpeng, apem, Dll. Dimna salah satunya terkikis nya budaya jawa sedekah bumi yaitu minim nya masyrakat yang bisa memasak makanan tradisional.

Tarian kahs jawa merupakan tarian yang biasanya di pake ketika adacara budaya sedekah bumi, bilmana kita sebagai pemuda penerus budaya jawa tidak bisa melestarikannnya. Terkikisnya budaya sedekah bumi mungkin salah satunya semakin minim nya orang-orang yang bisa berseni tarian dalam budaya jawa. Itu yang perlu direvitalisasi kembali, untuk bisa melestarikan dn membangkitkan budaya jawa sedekah bumi di desa bulusari sayung demak,

Sikap acuh taacuh merupakan sikap yang tidak baik untuk dimiliki. Dimana kita sebagai pemuda jika sudah tiba waktunya ada acara budaya seperti sedekah bumi, kita tidak perlu menunggu perintah atau ajakan orang klain untuk mengadakan acara. Bilamana kita semua mempunyi sikap acuh taacuh (bodo amat) tanpa mempunyai sikap kepekah’an maka tidak lama kemudian budaya tersebut hilang dengan sendirinya.

 

Kesimpulan

Budaya merupakan salah satu hasil pemikiran manusia yang di lakukan secara temurun yang di cetuskan oleh nenek moyang kita, salah satunya budaya jawa islam tentang sedekah bumi, upacara tersebut di lakukan sebelum islam masuk kejawa, dan kala itu masyarakat jawa masih mempercayai animisme dan dinamisme yaitu masih mempercayai hal hal yang mistis.

Walisongo memasuki tanah jawa dan mengikuti acara adat jawa selah satu contoh acara sedekah bumi, yang didalam nya telah di masuki dengan ajaran ajran islam.

Sedekah bumi salah satu adat jawa yang melambangkan rasa syukur kita atas apa yang di berikan tuhan melalui  bumi dan kita telah memanfaat kannya. Dengan berjalan nya zaman kini upacara adat jawa seperti halnya sedekah bumi kini semakin terkikis dengan mausknya adat adat luar negri yang masuk di negara kita.

Desa bulusari dalam upacara adat sedakah bumi banyak yang perlu di revitalisasi untuk membangkitkan dan menghidupkan kembali upacara adat jawa sedekah bumi, kita sebagai anak muda harus belajar mulai sekarang dengan orang orang sepuh yang berpengalaman dalam upacara adat jawa, banyak nya sesepuh yang sudah meninggal, minimnya orang yang berperan dalam upacara adat jawa seperti hallnya orang yang ahli masak makanan kahs jawa, itu semua merupakan faktor faktot yang mengakibatkan terterkikisnya upaca adat jawa sedekah bumi, hal  tersebutlah yang harus kita revitalisasi lagi.

Sebagai anak muda apalagi anak muda asli jawa, mulai sekarang kita perlu membangkitkan dan menghidupkan kembali upacara adat jawa sedekah bumi dengan belajar kapad orang orang Yang berperan dalam acara tersebut, bahkan kita bisa belajar kepada nenek kake kita yang dulunya juga berperan aktif dalam upacara budaya jawa islam, sedekah bumi.

Daftar pustaka

1.     Geertz, Abangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa, ., 51.

2.     el Harakah Vol.16 No.1 Tahun 2014.

3.     Yudoyono, Susilo Bambang. 2006. “Sambutan Peresmian Pembukaan Pesta Kesenian Bali ke-28”. http://www.presidenri. go.id/index.php/pidato/17/06/2006.

4.     Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 18, No.1, April 2013: 30-38

5.     Akbar S Ahmed, Hastings Donnan, Islam, lobalization and postmodernity, London: Roudledge, 1994.

6.     Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa RevitalisasiKearifan Lokal, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya 2015)

7.     Wasino, Moderenisasi di Jantung Budaya Jawa, Jakarta :penerbit Kompas, 2014

 



[1] Yudoyono, Susilo Bambang. 2006. “Sambutan Peresmian Pembukaan Pesta Kesenian Bali ke-28”. http://www.presidenri. go.id/index.php/pidato/17/06/2006.

[2] Akbar S Ahmed, Hastings Donnan, Islam, lobalization and postmodernity, London: Roudledge, 1994

[3] Suhandjati Sri, Islam dan kebudayaan jawa revitalisasi kearifan lokal, Semarang:2015, hlm134

[4] Wasino, Moderenisasi di Jantung Budaya Jawa, Jakarta :penerbit Kompas, 2014 hlm 4-5

[5] Suhandjati Sri, Islam dan kebudayaan jawa revitalisasi kearifan lokal, Semarang:2015, hlm137-138

[6] Suhandjati Sri, Islam dan kebudayaan jawa revitalisasi kearifan lokal, Semarang:2015, hlm140

[7] el Harakah Vol.16 No.1 Tahun 2014

[8]Geertz, Abangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa, ., 51.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM

PELESTARIAN BUDAYA JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI