KEBUDAYAAN JAWA MITONI YANG DIPERCAYAI MASYARAKAT DESA KUBANGWUNGU KECAMATAN KETANGGUNGAN KABUPATEN BREBES
Nama : jiddan zulfa maulana
Fakultas/jurusan
: ushuludin dan humanitarian/studi agama agama
Kelas : SAA B2
Email :
Jiddanzulfa1802@gmail.com
KEBUDAYAAN JAWA MITONI YANG DIPERCAYAI MASYARAKAT DESA
KUBANGWUNGU KECAMATAN KETANGGUNGAN KABUPATEN BREBES
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan
karakteristik tradisi mitoni yang terdapat di Jawa Tengah sebagai salah satu
jenis sastra lisan. Karakteristik dalam tradisi mitoni yang ada di Jawa Tengah
tersebut dapat diuraikan dan dianalisis dengan teori sastra lisan Ruth Finnegan
yang berkaitan dengan komponen dalam sebuah pertunjukan sastra lisan. Kajian
ini diharapkan dapat membuat karakterisasi budaya dan mengangkat kembali
tradisi mitoni yang selama ini mungkin semakin terasingkan oleh masyarakatnya
sendiri sebagai salah satu dampak dari globalisasi dan modernisasi. Hal yang
dikaji dalam penelitian ini adalah komponen-komponen dalam tradisi mitoni berupa:
penutur, properti, partisipan, dan bacaan atau doa. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan
observasi dan wawancara sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif
sintesis.
Kata kunci: karakteristik mitoni, tradisi mitoni di
Jawa Tengah, komponen sastra lisan
I.
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk,
memiliki banyak suku, ras, budaya serta kepercayaan. Hal-hal tersebut saling
mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat seperti halnya sifat tradisi Indonesia
penuh diliputi oleh mitos dan upacara yang mempengaruhi dalam ajaran agama yang
dipeluk oleh masyarakat.
Seperti halnya suku-suku lain
di Indonesia, suku Jawa memiliki budaya yang khas serta masih terikat dan patuh
kepada suatu tradisi atau adat yang diwariskan leluhurnya.[1]Masyarakat Jawa
memiliki ragam adat istiadat yang masih dilestarikan hingga kini. Adat istiadat
tersebut masih sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.[2] Berbagai
upacara adat yang memiliki makna bermacam-macam, sebahagiannya diisi dengan
selamatan. Masyarakat Jawa mengenal berbagai jenis selamatan, antara lain
mitoni, babaran, sepasaran, selapanan, turun tanah, sunatan,perkawinan, dan
kematian.[3] Saya disini akan menjelaskan tradisi mitoni yang dipercayai
masyarakat Desa Kubangwungu Kabupaten Brebes
Dibeberapa wilayah di Indonesia, proses kehamilan
mendapat perhatian tersendiri bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat Jawa.
Berbagai harapan muncul terhadap bayi yang ada dalam kandungan, yang nantinya
diharapkan mampu menjadi generasi yang berguna bagi keluarga, bangsa, negara
serta agamanya.Di samping itu, memiliki anak juga merupakan karunia yang
dipercayakan Allah swt. kepada hamba-Nya karena dengan lahirnya seorang anak
maka sepasang suami istri akan merasa mendapatkan kesempurnaan hidup. Dengan
demikian bagi masyarakat Jawa selamatan kehamilan merupakan hal penting sebagai
wujud memohon keselamatan pada Maha Pencipta.[4]
Seperti halnya di daerah Kabupaten Brebes, yang masih mempercayai dan
melaksanakan upacara tebus weteng. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai
tebus weteng atau kebuk atau biasa dikenal dengan mitoni.Tebus weteng atau
kebuk atau biasa dikenal dengan mitoni adalah upacara yang merupakan permohonan
doa kepada Allah SWT untuk jabang bayi yang ada dalam perut ibu karena saat itu
telah di tentukan nasib jabang bayi di kemudian hari oleh Allah SWT.[1]
Pada upacara selametan kehamilan,
ada simbol simbol yang terdapat dalam upacara mitoni, seperti ibu yang
hamil dimandikan dengan berganti kain sampai 7 kali. Nama-nama kain
batik yang digunakan selama siraman, mengandung
harapan agar anak kelak menjadi orang mulya, seperti kain batik corak Sido Luhur (menjadi orang yang dimulyakan), Sidomukti (menjadi
orang terhormat), Sidomulya (menjadi orang yang bermartabat) dan Sidoasih
(menjadi orang yang disayang/disukai). Dalam upacara siraman 7 bulanan itu juga
ada lukisan Kamajaya dan Ratih, yang diukirkan pada kelapa gading yang muda (warna kulitnya
kuning). Hal ini memuat harapan, agar anak
yang ada dalam kandungan, kalau laki laki kelak berparas tampan
seperti dewa Kamajaya. Sedangkan
kalau perempuan berparas cantik seperti
Dewi Ratih.[5]
Apabila tidak dilakukan dikhawatirkan akan membawa petaka bagi calon ibu
dan jabang bayi, karena tujuan dari upacara tebus weteng ini adalah untuk
menghindari petaka. Apalagi upacara ini sudah dilangsungkan oleh masyarakat
suku Jawa secara turun menurun tentunya apabila tidak dilakukan sama saja
dengan tidak mengakui budaya sendiri, dan tidak menghayati kepercayaan
kepercayaan leluhur. Hal ini akan berdampak buruk bagi mereka yang
mengabaikannya.
II. Pembahasan
Dalam
upacara mitoni atau masyarakat Brebes menyebutnya dengan upacara tebus weteng,
di atas ambeng di tancapkan rangkaian daun pisang yang berbentuk lingkaran dan
dihiasi bunga melati sementara tengahnya yang di tempeli kertas di beri gambar
wayang janaka (atau wayang laki-laki) dan wayang srikandi (atau wayang
perempuan). Tujuannya agar doa yang di panjatkan sampai ditujukan untuk jabang
bayi dalam kandungan agar berwajah cantik atau tampan.
Ambeng adalah sajian bebarapa makanan untuk keperluan upacara syukuran
dalam masyarakat, yaitu sejumlah makanan berupa nasi putih atau nasi kuning
yang di tata bersama lauk pauk seperti telur asin makanan khas daerah Brebes,
ikan bandeng yang di acar atau daging, ikan asin, tahu, tempe, sayur-sayuran,
dan yang paling khas adalah kluban.
Kluban adalah makanan tradisional yang lazim disediakan dalam upacara
syukuran di masyarakat brebes yang merupakan masyarakat agraris. Terbuat dari
sayur-sayuran yang justru sering tumbuh secara liar di sekitar lingkungan kami
seperti kangkung, daun turi, tronggong (bunga turi), semanggen (semanggi)
kadang di campur pare yang diiris tipis-tipis. Sayuran tersebut di masak hingga
matang sementara parutan kelapa yang sudah diambil santannya dimasak dengan
sedikit air, garam, dan cabe untuk memberi rasa pedas. Disajikan dalam pincukan
daun pisang dan diberi timun dan beberapa potong kacang panjang mentah.
Tidak kalah unik adalah dibuatnya rujak yang menjadi kekhasan upacara
tebus weteng. Di buat dari beberapa macam buah. Antara lain mangga muda,
delima, jambu air, dan nanas. Semua bahan di potong kecil-kecil dan di campur.
Tak kalah unik adalah kedua orang tua jabang bayi harus membeli masing-masing
semangkok rujak dengan harga yang semahal-mahalnya pada yang membuat rujak itu.
Rujak termahal yang kami beli dan tujuannya lebih unik yaitu biar jabang bayi
nanti kalau besar bisa laku mahal. Selain itu, jika rujak yang dibuat rasanya pedas maka jabang bayi akan lahir
laki-laki. Jika rujak yang dibuat rasanya biasa saja maka jabang bayi akan
lahir perempuan.
Segala ubo rampe upacara 7 bulan di siapkan. Tetangga banyak datang membantu menyediakan segala keperluan
upacara berupa bahan makanan untuk syukuran dan berkat yang akan di bagikan
bagi mereka yang akan datang mendoakan keselamatan dan keberkahan yang di
tujukan kepada jabang bayi yang ada dalam perut sang ibu. Mereka juga membantu
untuk memasak dan membuat suatu keperluan upacara yang berisi beberapa makanan
khas yang di sediakan dalam ambeng.
Mitoni
merupakan salah satu selamatan kehamilan yang ada dalam tradisi Jawa yang
dilaksanakan pada kehamilan pertama ketika kandungan berusia tujuh bulan yang
bertujuan untuk menuangkan rasa syukur dan
meminta keselamatan kepada Allah swt. Mitoni yang
dilaksanakan di Desa Kubangwungu Kabupaten Brebes telah dikemas menjadi sebuah
tradisi yang Islami dengan memasukkan unsur-unsur Islam yang berupa pembacaan
ayat-ayat al-Qur’an dan menghilangkan berbagai prosesi ritualnya. Tokoh NU
memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang baik karna didalamnya mengandung
makna kebaikan pula untuk ibu dan juga anak yang akan lahir nantinya. Sedangkan
tokoh Muhammadiyah memandangnya sebagai bid’ah dan haram. Bid’ah dalam
pandangan Muhammadiyah sendiri semuanya sesat.
Mitoni berasal dari kata tingkebdalam bahasa Jawa yang artinya tutup
atau sudah genap,[6]maksudnya agar si ibu yang sedang mengandung tidak bekerja berat lagi karena bayi yang dikandungnya sudah semakin besar, hal
ini untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.[7]Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tingkebdiartikan sebagai upacara selamatan tujuh bulan untuk
wanita yang sedang hamil.[8]Tingkeban disebut juga dengan mitoni. Mitoni
berasal dari kata pitu dalam bahasa Jawa yang artinya tujuh[9] karena tradisi
ini dilaksanakan pada saat kehamilan berusia tujuh bulan.Ketika kehamilan
memasuki usia tujuh bulan, masyarakat suku Jawa menyebutnya ‚wes mbobot‛ (sudah
berbobot atau sudah berkualitas). Karena pada usia itu, bentuk bayi dalam kandungan
sudah sempurna atau sudah waktunya, dengan kata lain sudah dianggap wajar jika
bayi lahir.[10]
Mitoni merupakan tradisi yang diselenggarakan pada saat kandungan
seorang ibu menginjak usia tujuh bulan dan pada kehamilan pertama. Pada usia ini,
umumnya janin yang ada di dalam kandungan sudah hampir sempurna. Rasa antusias
sekaligus cemas dirasakan calon orangtua menjelang hari persalinan tiba. Untuk
itulah, tradisi mitonidiadakan dengan tujuan menghanturkan doa dan harapan
demikeselamatan dan kebaikan sang ibu dan calon bayi.Acara mitoni ini hanya
dilaksanakan ketika seorang wanita mengandung anak pertama. Artinya untuk
kandungan anak-anak berikutnya tidak lagi dilaksanakan tingkeban. Tradisi
tingkeban ini biasanya dilaksanakan di rumah yang memiliki hajat dan dihadiri
oleh anggota keluarga, tetanggadekat dan termasuk juga kenalanyang tinggal
tidak jauh.[11]
A. Tata cara pelaksanaan mitoni didesa kubangwungu
Kabupaten brebes
Upacara mitoni dilaksanakan dengan beberapa ritual yang perlu dilakukan
secara berurutan. Sebagai berikut:
1. Diadakan pada tanggal ganjil
yaitu
pada tanggal 3,5,7,9,11,13,15.Namun tidak boleh melewati tanggal 15
2. Dilakukan malam hari
Acara
syukuran biasanya dilakukan ba’da Isya, satu persatu undangan datang, dan acara segera mulai.
3. Dipimpin oleh lebai
Upacara
ini di pimpin oleh salah satu alim ulama di desa tersebut, dan pemimpin doa oleh bapak Lebai.
4. Ceramah dari ulama
Ulama
akan memberikan sedikit penjelasan untuk
apa perlunya digelar upacara 7 bulanan. Yaitu permohonan agar nasib yang
di tentukan pada jabang bayi saat itu mandapatkan segala kebaikan. Di jelaskan
pada usia 4 bulan telah ditiupkan roh dalam diri jabang bayi dan usia 7 bulan
di tentukan nasib jabang bayi dikemudian hari. Pada saat di tentukan nasib
kemudian hari jabang bayi ada baiknya di panjatkan doa agar dikaruniai nasib
baik selama di dunia dan akherat.
5. Prosesi pemandian
Prosesi pemandian biasanya dilakukan di suatu
tempat yang sudah disediakan atau cukup di kamar mandi saja. Ibu jabang bayi
dimandikan dalam posisi duduk. Ibu jabang bayi dimandikan dengan air yang sudah
diberi doa oleh alim ulama atau tetua desa. Saat memandikan, dukun bayi
membacakan mantra.
6. Sungkeman
Sungkeman yakni prosesi meminta maaf dan
meminta restu untuk keselamatan dan kelancaran persalinan dengan cara mencium
tangan sambil berlutut.49 Calon ibu dan ayah melakukan sungkeman kepada kedua
orangtua dari pihak pria dan kedua orangtua dari pihak wanita.
7. Siraman
Siraman ini bertujuan untuk menyucikan
secara lahir dan batin sang ibu dan calon bayi. Dengan balutan kain batik, sang
ibu akan duduk dan dimandikan dengan sekar setaman. Sekar setaman yaitu air
suci yang diambil dari 7 mata air (sumur pitu) dan telah ditaburi dengan aneka
bunga seperti kantil, mawar, kenanga, dan daun pandan wangi.
8.
Brojolan Telur Ayam Kampung
Brojolan telur ayam kampung maksudnya
adalah memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami
melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol
pengharapan agar bayi lahir dengan lancar tanpa adanya halangan.[12]
9. Menutuskan lilitan janur kuning
Kain batik
yang dikenakan oleh calon ibu dilingkarkan janur kuning dan diputus oleh calon
ayah. Hal ini mengandung makna untukmemutuskan segala bencana yang menghadang
kelahiran bayi sehingga kelahiran berjalan dengan lancar.[13]
10. Slametan dan tahlilan
Selametan
adalah sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. ... Selametan
adalah suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau
tetangga . Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan
duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi
tumpeng dengan lauk pauk.
11. Pemotongan tumpeng
Upacara
potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan
atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
B. Fungsi tradisi mitoni
Fungsi tradisi mitoni tersebut antara lain:
1.
Mendoakan jabang bayi
Bagi pasangan suami istri yang hampir
tiba waktunya untuk melahirkan si buah hati, pasti berkeinginan untuk
mendo’akan si bayi agar kelak menjadi seseorang seperti yang orang tua
harapkan. Dalam Islam sendiri, terdapat beberapa sunah yang baik untuk
dilakukan ketika si buah hati baru lahir.
2.
Sebagai tolak bala
Tak ada
orang yang menginginkan musibah datang menimpa dirinya. Sayangnya musibah bisa
datang kapan dan dimana saja tanpa terduga.Hal tersebut tentu atas kehendak
Allah SWT. Meski kita tak bisa menolak apapun yang telah ditetapkan oleh Allah,
sebagai umat muslim kita dianjurkan untuk berdoa dan memohon keselamatan dari
segala musibah.Salah satu caranya ialah dengan melantunkan doa tolak bala
3.
Ajang silaturahim masyarakat sekitar
Upacara mitoni merupakan salah satu ajang untuk
mempererat tali silaturahmi masyarakat di desa kubangwungu. Pola perilaku dan
relasi dalam kehidupan masyarakat desa seperti ini seringkali disebut dengan
istilah tradisi atau adat istiadat.
4.
Memperkuat ukhuwan islamiah
Upacara mitoni juga sebagai alat untuk memperkuat
ukhuwah islamiah antara masyarakat desa kubangwungu.
5.
Melestarikan tradisi nenek moyang
Upacara mitoni adalah warisan budaya tradisi nenek
moyang kita yang harus kita lestarikan
6.
Mengandung sistem proyeksi
Upacara mitoni kental dengan budaya jawa dan islam
7.
Untuk pengesahan kebudayaan
Upacara mitoni juga sebagai warisan budaya dan
disahkan
Tradisi mitoni di desa kubangwungu
menggunakan berkat sebagai properti dan semua partisipan mendapatkan berkat
setelah tradisi mitoni ini berlangsung. Berkat itu sendiri adalah makanan yang
diberikan oleh tuan rumah kepada para hadirin. Berkat ini sendiri memiliki
makna berkah, artinya tuan rumah dan para hadirin diharapkan mendapatkan
barokah dari acara mitoni tersebut. Berkat itu sendiri terdiri atas nasi,bubur
procot, bubur cadil,rujak, kembang boreh, es dawet, kluban. Makna dari makanan
yang terdapat di dalam berkat adalah sebagai berikut.
1. Nasi
Nasi sebagai
simbol sedekah sekaligus doa agar si anak kelak lahir dengan keadaan selamat.
Dasarnya adalah hadis yang berbunyi assadaqatu daf ‘ul bala Nasi juga menjadi
simbol dan cermin bahwa masyarakat daerah brebes adalah masyarakat agraris.
2. Bubur person
Bubur procot, sebagai simbol merocot yang
artinya lahir dengan lancar tanpa perlu operasi caesar, atau dalam keadaan
normal.
3. Bubur cadil
Semua bahan
yang untuk membuat bubur candil merupakan sumber energi yang tinggi. Semua itu
sangat dibutuhkan wanita yang sedang hamil. Dengan mengkonsumsi bubur candil
ini, yang sedang hamil tercukupi asupan makanan sumber energi untuk persiapan
melahirkan.
4. Rujak
Berbicara soal
rujak, makanan ini memang sangat identik dengan ibu hamil. Menurut penelitian,
selama periode trimester pertama, ibu hamil cenderung mengalami masa-masa
“ngidam” makanan tertentu. Terutama makanan yang memiliki cita rasa manis,
asam, dan asin seperti rujak. Keinginan untuk menyantap makanan manis bisa jadi
dikarenakan kadar gula di dalam tubuh menurun.
5. Kembang boreh
Kembang
boreh sebagai simbol agar si jabang bayi kelak namanya akan harum dan dapat
mengharumkan nama orang tua sekaligus sebagai penolak bala terhadap gangguan
jin dan setan.
6. Es dawet
Es dawet berfungsi sebagai minuman khas orang jawa
untuk melestarikan tradisi daerah tersebut.
7. Kluban
Kluban adalah kuliner tradisional yang kerap disajikan saat upacara
adat, lebaran maupun pesta rakyat.
III. Penutup
KESIMPULAN
Tebus weteng atau kebuk atau
biasa dikenal dengan mitoni adalah upacara yang merupakan permohonan doa kepada
Allah SWT untuk jabang bayi yang ada dalam perut ibu karena saat itu telah di
tentukan nasib jabang bayi di kemudian hari oleh Allah SWT. Dan agar selalu
diberi keselamatan bagi jabang bayi dan ibunya. Dalam acara ini disediakan
berbagai makanan dan jajanan khas daerah Brebes. Acara tebus weteng
dilaksanakan saat bayi dalam kandungan berumur 7 bulan.
Mitoni atau Tebus weteng adalah suatu adat Jawa yang dijalankan secara
turun menurun. iraman dari kata siram artinya mandi.Tebus weteng mempunyai
tujuan untuk mensucikan lahir batin tidak hanya bagi calon ibu tetapi juga bayi
dalam kandungan,selain itu mitoni dilangsungkan agar bayi dalam kandungan lahir
dengan sehat.
Upacara mitoni atau tebus weteng
merupakan upacara yang baik dilaksanakan dan juga patut dilestarikan. Selain
itu dengan adanya doa-doa yang dipanjatkan maka akan semakin mendekatkan diri
kepada Tuhan. Adanya upacara ini memanggil seluruh warga adalah supaya tali
silaturahmi antar warga tetap terjaga dengan baik.
Adanya bermacam sayur-sayuran yang
dibuat dalam kluban berlambang kesederhanaan dan rasa persatuan dan gotong
royong yang masih kental dalam masyarakat desa
yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Banyak macam sayuran dan
jajanan yang disajikan melambangkan beragam kebiasaan masyarakat yang tetap
bergotong royong.
Apabila tidak dilakukan dikhawatirkan akan membawa petaka bagi calon ibu
dan jabang bayi, karena tujuan dari upacara tebus weteng ini adalah untuk
menghindari petaka. Apalagi upacara ini sudah dilangsungkan oleh masyarakat
suku Jawa secara turun menurun tentunya apabila tidak dilakukan sama saja
dengan tidak mengakui budaya sendiri, dan tidak menghayati kepercayaan
kepercayaan leluhur. Hal ini akan berdampak buruk bagi mereka yang
mengabaikannya.
Daftar pustaka
Amin,Masyhur.
1996.NU & Ijtihad Politik Kenegarannya. Yogyakarta:
al-Amin.
Anshory,
Nasruddin, Sudarsono. 2008.Kearifan Lingkungan dalam
Perspektif
Budaya Jawa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Antonius,Bungaran.
2016.Tradisi, Agama, dan Akseptasi Modernisasi
Pada
Masyarakat Pedesaan Jawa. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ardiansyah.
2012. Setiap Bid’ah Sesat ?. Medan : IAIN Press.
Ardiansyah,
M Amar Adly, dan Afifah Rangkuti. 2013.Laporan penelitian: Kecenderungan
Penelitian Skripsi Mahasiswa Jurusan Perbandingan Hukum dan Mazhab Fakultas
Syari’ah IAIN SU: Studi Terhadap Naskah Skripsi Mahasiswa Dari Tahun 2008-2012.
Medan: T.P.
1 Bungaran Antonius, Tradisi, Agama, dan Akseptasi Modernisasi Pada
Masyarakat
Pedesaan Jawa (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2016), h. 45.
2 Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya (Jakarta :
Cerdas Interaktif
(Penebar Swadaya Grup), 2013), h. 47.
3 Nasruddin Anshory dan Sudarsono, Kearifan Lingkungan
dalam Perspektif Budaya
Jawa (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.
178.4 R. Gunasasmita, Kitab Primbon Jawa
Serbaguna (Yogyakarta : Penerbit Narasi,
2009),
h. 765Ibid,
h.244
6Sutrisno Sastro Utomo, Kamus Lengkap Jawa-Indonesia
(Yogyakarta : Kanisius,
2007), h. 97
7Dewi Astuti dan Risma Rismawati. Adat Istiadat
Masyarakat Jawa Barat(T.t. PT.
Sarana Panca Karya Nusa, T.th) h. 38
8Retnoning Tyas, Kamus Genggam Bahasa Indonesia
(Yogyakarta : Frasa Lingua,
2016), h. 133
9Sutrisno Sastro Utomo, Kamus Lengkap Jawa-Indonesia,
h..6810Ismaini, ‚Tradisi Nujuh Bulanan Pada Masyarakat Jawa : Di Kelurahan Sei
Mati
Kecamatan Medan Labuhan Menurut Perspektif Hukum Islam‛
(Skripsi S.HI, IAIN Sumatera
Utara Medan, 2004) h. 36
11Elvi Susanti, ‚Komunikasi Ritual Tradisi Tujuh
Bulanan : Studi Etnografi Bagi Etnis Jawa Di Desa Pengarungan Kecamatan
Torgamba Kabupaten Labuhan Batu Selatan‛, Jom
FISIP 2. 2 (Oktober 2015) h.. 4
[3]
12 Thomas Wiyasa
Bratawijaya,Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa,Jakarta:Pradnya
Paramita,1977,hlm 118.
13 R. Gunasasmita, ‚Kitab Primbon Jawa Serbaguna‛
(Yogyakarta : apaenerbit Narasi,
2009) h. 79
Komentar
Posting Komentar