HUBUNGAN ISLAM DAN BUDAYA JAWA TENTANG MITOS TOLAK BALAK DALAM TRADISI SAMPUR BAWUR PADA BULAN SURO DI KEC. BANGILAN KAB TUBAN

HUBUNGAN ISLAM DAN BUDAYA JAWA TENTANG MITOS TOLAK BALAK DALAM TRADISI SAMPUR BAWUR PADA BULAN SURO DI KEC. BANGILAN KAB TUBAN

Oleh : Nazilatul Hikmah

Jurusan Studi Agama Agama Fakultas Ushuludin Dan Humaniora

Universitas UIN Walisongo Semarang

e-mail : Nazilatul@gmail.com

 


Abstrak

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Setiap tradisi dalam masyarakat Jawa memiliki arti dan makna filosofis yang mendalam dan luhur, yang mana tradisi ini sudah ada sejak dulu. Tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus dan berasal dari masa lalu. Di dalam tradisi Jawa tersebut khas dengan adanya sesaji yang dibuat berdasarkan kegunaan masing-masing yang mempunyai makna dan tujuan berbeda satu sama lain. 

Dalam adat istiadat  masyarakat Jawa, sesaji atau biasa disebut dengan sajen adalah sajian yang berupa makanan, hewan atau buah-buahan yang dipersembahkan kepada arwah leluhur serta kekuatan gaib yang ada dalam upacara yang diselenggarakan. Sebagian besar masyarakat Muslim Jawa masih melakukan ritual-ritual tersebut khususnya yang beraliran kejawen, banyak nilai-nilai yang terkandung di dalam ritual yang dilakukan oleh masyarakat Muslim Jawa antara lain, nilai sosial kemasyarakatan dalam tradisi seperti itu. Ada nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, bertetangga dan kerukunan antar warga, sekaligus menimbulkan suatu perasaan kuat bahwa semua warga sama derajatnya satu sama yang lain. 

Kata Kunci : tradisi, kejawen

 

Pendahuluan

Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam  melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan pandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok  kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan. Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain (Koentjaraningrat, 1994: 312).

Memang ada beberapa tradisi dan budaya  Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan hingga sekarang.

Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang  bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan.[1]

Setiap kali suatu agama datang pada suatu daerah. Maka mau tidak mau, agar ajaran agama tersebut dapat diterima oleh masyarakatnya secara baik, penyampaian materi dan ajaran agama tersebut haruslah bersifat “membumu”, maksudnya adalah, ajaran agama tersebut harus menyesuaikan diri dengan beberapa aspek lokal, sekiranya tidak bertentangan secara diametric dengan ajaran substantive agama tersebut. Umumnya, para pendakwah islam dapat menyikapi tardisi lokal, yang dipadukan menjadi bagian dari tradisi yang “islami”, karena berpegang pada suatu kaidah ushuliyah(kaidah yang menjadi pertimbangan yang perumusan hukum menjadi hukum fiqih).

Sentuhan-sentuhan islami mewarnai berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, sebagai bukti keberhasilan dakwah islam, yang berwajah rahmatan lil’alamin. Tentu saja, bahwa kemudian, dalam beberapa aspek, terutama dalam konteks teologi dan fiqih normative sering mendatangkan kontroversi bagi sementara kalangan, karena memang sebagian kecil umat islam menghendaki agar islam dihadirkan sebagaimana kehadirannya di timur tengah sekarang, dimana agama islam sudah terpadukan dengan budaya.

Memang agama yang bisa hadir “secara murni” bagi yang penganutnya dipamdang sebagai sebuah kenikmatan . namun, bukan berarti semua jenis kanikmatan. Namun, bukan berarti semua jenis kenikmatan dan kebahagiaan bisa dengan seenaknya direngkuh, dan semua hal yang terlihat bahaya harus segera digusur dari seluruh aspek kehidupan.

Faktor lain yang harus diperhitungkan dalam kerangka  menyikapi budaya yang masuk menjadi bagian  agama adalah, adanya kaidah bahwa suatu budaya dan tradisi yang sudah mengakar dan diteria secara mayoritas dalam suatu kelompok muslim, maka hal tersebut dapat menjadi justifikasi perumusan hukum fiqih.

Oleh sebagian kaum muslim, adat sering diidentikkan dengan ‘urf. ‘urf sendiri maknanya adalah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa islam dalam banyak ajarannya bersifat sangat kooperatif menyikapi fenomena kebudayaan. Adat istiadat sebagai sebuah proses dialektik-sosial dan kreativitas alamiah manusia tidak harus dieleminasi, dibasmi, atau dianggap musuh yang membahayakan, melainkan dipandang sebagai patner dan elemen yang harus diadopsi secara selektif dan proposional. 

Bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbo ritual merupakan ekspresi atau pengejewantahan dari penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak terjangkau sehingga menjadi sangat dekat. 

Dengan simbol-simbol ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat " menyatu dalam dirinya". Simbol-simbol ritual tersebut diantaranya adalah dalam bentuk makanan yang disajikan dalam ritual selamatan, ruwatan dan sebagainya(Marzuki, 2012:3).

Namun, peran agama disini sangat penting antara lain sebagai pedoman hidup maupun sebagai tatanan sosial dalam masyarakat sehingga masyarakat mempunyai pola pikir yang sangat matang untuk menilai suatu tradisi ataupun budaya yang ada disuatu daerah.

Pembahasan

Islam masuk ke Jawa pada waktu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur. Sebelum Islam datang, agama Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah menjadi keyakinan yang dipercaya dikalangan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, setelah Islam datang terjadi pergumulan yang akhirnya muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama, yaitu kelompok yang menerima Islam secara total dan mereka yang menerima Islam, tetapi belum melupakan ajaran kepercayaan lama. Oleh karena itu, mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaa lama.[2]

Dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumber dari ajara Hindu terdapat kepercayaan terhadap para dewa seperti Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa, serta masih banyak lagi. Demikian juga terdapat kepercayaan terhadap kitab-kitab suci, para resi, roh jahat, dll. Pada agama Budha terdapat kepercayaan terhadap empat kasunyatan (kebenaran abadi), yaitu dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan), dan marga (jalan kelepasan). Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha, maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.[3]

Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah sering menjadi tidak murni karena tercampur dengan penuhanan terhadap benda keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Keramat disini bukan sekedar mulia, terhormat, tetapi memiliki daya magis sebagai sesuatu yang sakral bersifat illahiyah. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan. Ada yang disebut azimat, pusaka, dalam bentuk tombak, keris, ikat kepala, cincin, dll. Manusia, hewan, dan tumbuhan tertentu dipandang sebagai suci, keramat, dan bertuah. Begitu juga kuburan apun petilasan, hari-hari tertentu dipandang membawa barokah ataupun kesialan. Barang, benda, atau orang keramat tersebut dipandang sebagai penghubung (wasilah) dengan Allah. Oleh karena itu, bacan doa-doa tertentu berubah menjadi mantra, ayat suci al-Qur’an atau hurut Arab menjadi rujahan yang diyakini memiliki nilai yang sangat berarti, bukan dari makna yang terkandung dalam ayat tersebut melainkan dari daya gaibnya.[4]

Sikap yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan pencampuradukan antara Islam di satu sisi dan dengan kepercayaan lama dipihak lain, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana yang berasal dari tradisi. Namun aspek positifnya, ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Dan sebaliknya, ajaran tersebut telah memudahkan pihak Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa.[5]

Dalam perkembangan Islam di Indonesia, ada dua aliran utama yaitu aliran hikmah dan aliran kejawen. Aliran hikmah berkembangan di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber dari al-Qur’an). Sedangkan aliran kejawen sebetulnya sudah tidak ada lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi Islam.

 

Budaya masyarakat Jawa sebelum Islam datang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan supranatural. Ketika para pengembang Islam di pulau Jawa (walisongo) tidak menolak tradisi Jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagai senjata dakwah agar mudah diterima.[6]

Islam mencoba untuk masuk kedalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami. Dalam proses penyebaran Islam di jawa menggunakan dua pendekatan, yaitu islamisasi kultur jawa dan jawanisasi islam. Islamisasi kultur jawa yaitu proses pemasukan unsur-unsur islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun substansial. Pendekatan yang kedua yaitu jawanisasi Islam. Jawanisasi Islam yaitu pemasukkan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam.

Islam masuk ke Jawa pada waktu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur. Sebelum Islam datang, agama Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah menjadi keyakinan yang dipercaya dikalangan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, setelah Islam datang terjadi pergumulan yang akhirnya muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama, yaitu kelompok yang menerima Islam secara total dan mereka yang menerima Islam, tetapi belum melupakan ajaran kepercayaan lama. Oleh karena itu, mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaa lama. Adanya kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha, maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.

Bulan suro merupakan bulan permulaan dalam kalender jawa. Di bulan ini, berbagai tradisi rakyat yang kental dengan nuansa mistis digelar. Salah satunya tradisi sampu bawur yang berlangsung di desabangilan kecamatan bangilan kabupaten tuban. Sampu bawur merupakan acara adat dimana warga berkumpul dan membawa berbagai jajanan pasar seperti nagasari, apem, gemblong, dan lain sebagainya. Mereka juga membawa rowotan seperti ubi jalar rebus maupun kacang tanah yang direbus.

Secara turun temurun, tradisi sampur bawur dipercaya menjadi sarana tolak balak dan digelar tepat di hari pertama bulan suro. Sampur bawur dimulai dengan berkumpulnya warga desa dengan berbagai makanan yang mereka bawa dari rumah. Dilanjurlan dengan membaca do’a yang dipimpin oleh modin.

Warna warni akulturasi budaya yang kini terjadi, tidak melunturkan tradisi nyadran 'Sampur Bawur' dalam adat masyarakat Tanggung, Kedungjambangan, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.[7]

Hingga saat ini, masyarakat yang tinggal di ujung selatan Bumi Wali, sebutan Kota Tuban itu masih rutin menggelar tradisi Sampur Bawur. Ritual Sampur Bawur biasanya dilaksanakan pada hari Ahad Kliwon sebelum petani menebar bibit padi.

"Tradisi Sampur Bawur merupakan serangkaian upacara sedekah yang dilakukan usai petani Nampek (pengolahan sawah persiapan tebar benih)," terang, tokoh masyarakat setempat, Sumijan (64).

Bapak dua anak itu menuturkan, tradisi Sampur Bawur merupakan kegiatan yang dilakukan untuk bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat terhindarkan dari bala' atau mala petaka. Kegiatan yang diisi dengan membaca ayat-ayat Alquran, zikir, dan do'a itu kemudian ditutup dengan makan bersama.

Data yang berhasil dihimpun blokTuban.com di lokasi Sendang Mbeji, antusias warga yang tinggal di utara bantaran Kali Kening ini terlihat jelas dengan berdesak-desakannya masyarakat di dalam cungkup. Tidak hanya orang tua, ibu-ibu dan anaknya pun turut hadir dalam acara ini.

Di wilayah yang ia pimpin, kata Sunari, ada tiga tradisi yang dilakukan warga di tempat yang sama. Hanya saja nama dan waktu pelaksanaannya yang berbeda.

Menurut orang yang dituakan di Dusun Tanggung itu, memasuki tanam atau usai Nampek ritualnya dinamakan Sampur Bawur. Kemudian setelah tanam padi nanti, dinamakan 'Bucu Kendit'. Dan yang paling akhir usai panen raya, warga setempat menyebutnya Sedekah Bumi. [rof/

Tradisi Sampur Bawur merupakan sebuah upacara yang di lakukan oleh masyarakat dusun Tanggung desa Kedungjambangan setelah para petani didesa tersebut melakukan nampek (pengolahan sawah/pembajakan sawah untuk persiapan tebar benih). Adapun tujuan dari tradisi ini adalah memohon perlindungan kepada Allah SWT dari segala balak (mala petaka) dan juga memohon agar benih yang ditebar bisa tumbuh subur. Tradisi ini biasanya dilaksanakan di Sendang Mbeji pada hari Ahad Kliwon sebelum petani menebar benih di sawah yang sudah dibajak. Sendang Mbeji merupakan sebuah tempat pemandian air hangat yang berada di dusun Tanggung desa Kedungjambangan yang konon katanya merupakan peninggalan dari Raden Said (Sunan Kalijaga).

Dalam tradisi Sampur Bawur biasanya masyarakat setempat di minta untuk membawa nasi (bisa juga tumpeng) beserta lauk pauk yang di letakkan di nampan atau ember (baskom besar). Selain itu ada salah satu makanan yang wajib disertakan dalam tradisi tersebut yaitu Lebruk. Lebruk merupakan jajanan yang berbahan dasar tepung beras dan terigu yang di campur dengan tape singkong, santan, gula dan pengembang kemudian di bentuk kerucut seperti apem atau dibentuk bulat besar biasa setelah itu dikukus atau bisa juga dipanggang. Lebruk dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai wasilah kepada Allah untuk penolak balak, yaitu penyakit bawur (buta). Adapun kegiatan yang ada dalam tradisi Sampur Bawur adalah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, berdzikir dan berdo’a bersama, kemudian ditutup dengan makan bersama semua masyarakat yang hadir dan mengikuti tradisi tersebut.[8]

Lebruk yang memiliki rasa asam manis legit, seolah menjadi makanan wajib setiap ritual 'Sampur Bawur' di Dusun Tanggung, Desa Kedungjambangan, Bangilan, Tuban, Jawa Timur.

Tradisi Sampur Bawur merupakan serangkaian upacara sedekah yang dilakukan usai petani Nampek (pengolahan sawah persiapan tebar benih). Tradisi Sampur Bawur merupakan kegiatan yang dilakukan untuk bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat terhindarkan dari balak atau mala petaka. Kegiatan yang diisi dengan membaca ayat-ayat Alquran, zikir, dan do'a itu kemudian ditutup dengan makan bersama.

Selain wajib ternyata olahan ini, memiliki makna sebagai wujud doa bagi masyarakat baik petani maupun yang berprofesi lainnya. Seperti yang dilakukan warga Tanggung, Kedungjambangan disaat melakukan upacara tahunan tersebut.

Masyarakat meyakini, jajanan berbahan dasar tepung beras dan terigu dicampur dengan tape singkong dapat dijadikan isyarat tolak balak. Hal itu sesuai yang diungkapkan tokoh masyarakat setempat.

"Lebruk di acara Sampur Bawur merupakan bagian yang tidak dipisahkan, dari pendahulu kita itu bisa dikatakan sebuah keharusan," terang Kakek dua cucu itu.

Sumijan menjelentrehkan, makanan khas Tuban ini, biasanya disuguhkan bersama dengan tumpeng yang dibawa warga saat upacara Sampur Bawur berlangsung. Masyarakat meyakini dengan lebruk penyakit bisa 'Bawur' (buta, red) sehingga tidak jadi menyerang warga.

"Lebruk sebagai wasilah, tujuannya tetap minta kepada Allah," tandasnya.

Warga setempat, Senok Wagiem ketika ditemui blokTuban.com mengatakan, dalam pembuatan lebruk ada dua cara. Bisa dilakukan dengan mengukus dan memanggang. Bentuknya pun bervariasi ada yang dibentuk menyerupai apem, kerucut, dan ada yang dibentuk bulat besar mirip dengan pizza.

"Tergantung selera, kalau saya membuat menyerupai apem dengan cara dipanggang," tukas ibu Kepala Dusun Tanggung itu.

Kemudian lanjutnya, sebelum membuat lebruk, hendaknya disiapkan dulu bahannya. Diantaranya yang utama, tepung beras, terigu, tape singkong, santan, gula, dan pengembang. Semua bahan diaduk dengan air kemudian didiamkan selama kurang lebih satu jam sebelum dikukus atau dipanggang.[9]

 

 

Kesimpulan

Tradisi semua itu hanya melambangkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan kenikmatan dalam hidup dan pengamalan terhadap sila sila pancasila. pengamalan sila ke 1, bahwa masyarakat kota Tuban mempercayai bahwa Tuhan itu ada dan yang telah memberikan semua rahmat dan kesehatan sehingga melakukan bentuk rasa syukur. pengamalan sila ke 2, bahwa bumi ini hari selalu kita jaga seperti menjaga laut, tanah yang harus tetap subur, karena manusia harus memiliki adab. pengamalan sila ke 3, masyarakat Tuban telah melestarikan tata nilai tradisional bangsa dan mengangkat kerukunan antar sesama yang menciptakan rasa persatuan satu antar yang lainnya.

Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan ritualistik tertentu. Sedangkan dalam budaya jawa sendiri kental dengan adat ritual-ritual. Secara luwes Islam memberi warna baru dalam pelaksanaan upacara tersebut dengan sebutan kenduren atau slametan. Inti dari kegiatan tersebut yaitu pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin, kaum, lebe, atau kiai.

Bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbo ritual merupakan ekspresi atau pengejewantahan dari penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak terjangkau sehingga menjadi sangat dekat. 

Tradisi Sampur Bawur merupakan serangkaian upacara sedekah yang dilakukan usai petani Nampek (pengolahan sawah persiapan tebar benih). Tradisi Sampur Bawur merupakan kegiatan yang dilakukan untuk bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat terhindarkan dari balak atau mala petaka. Kegiatan yang diisi dengan membaca ayat-ayat Alquran, zikir, dan do'a itu kemudian ditutup dengan makan bersama.

Secara turun temurun, tradisi sampur bawur dipercaya menjadi sarana tolak balak dan digelar tepat di hari pertama bulan suro. Sampur bawur dimulai dengan berkumpulnya warga desa dengan berbagai makanan yang mereka bawa dari rumah.

Referensi

Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Amin, Darori dkk.2000.Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.

Chamami, M.Rikza. 2015. Islam Nusantara Dialog Tradisi dan Agama Faktual.  

Semarang: Pustaka Zaman.

Shodiq.2013. Potret Islam Jawa.Semarang: Pustaka Zaman.

Sutiyono, Agus. 2014. Kearifan Budaya Jawa Pada Ritual Keagamaan. Semarang:

LP2M.

https://budayajawa.id/tradisi-sampur-bawur-tuban/

http://bloktuban.com/2016/12/11/sampur-bawur-tradisi-tuban-yang-tetap-lestari/

https://www.bloranews.com/campur-bawur-di-bulan-suro-tolak-balak-dan-merawat-kearifan-lokal/

http://bloktuban.com/2016/12/12/lebruk-makanan-khas-tradisi-sampur-bawur/



[1] Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

 

[2] Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 43-44.

 

[3] Darori Amin, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 122-123.

 

[4] Darori Amin, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 124-125.

 

[5] Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 45.

 

[6] Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 45-46.

 

[9] http://bloktuban.com/2016/12/12/lebruk-makanan-khas-tradisi-sampur-bawur/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKULTURASI BUDAYA – KESELARASAN DALAM BUDAYA JAWA SESAJEN DI DESA JETAK KECAMATAN WEDARIJAKSA KABUPATEN PATI

AKULTURASI BUDAYA JAWA DENGAN TIONGHOA DALAM MOTIF BATIK LASEM

PELESTARIAN BUDAYA JAWA ISLAM DALAM TRADISI 10 SYURO SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN DI DESA KAJEN MARGOYO KABUPATEN PATI