HUBUNGAN ISLAM DAN BUDAYA JAWA TENTANG MITOS TOLAK BALAK DALAM TRADISI SAMPUR BAWUR PADA BULAN SURO DI KEC. BANGILAN KAB TUBAN
HUBUNGAN ISLAM DAN BUDAYA JAWA TENTANG MITOS TOLAK BALAK DALAM TRADISI
SAMPUR BAWUR PADA BULAN SURO DI KEC. BANGILAN KAB TUBAN
Oleh : Nazilatul Hikmah
Jurusan Studi Agama Agama Fakultas Ushuludin Dan Humaniora
Universitas UIN Walisongo Semarang
e-mail : Nazilatul@gmail.com
Abstrak
Masyarakat Jawa yang mayoritas
beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya
Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam. Setiap tradisi dalam masyarakat Jawa memiliki
arti dan makna filosofis yang mendalam dan luhur, yang mana tradisi ini sudah
ada sejak dulu. Tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi
makna khusus dan berasal dari masa lalu. Di dalam tradisi Jawa tersebut khas
dengan adanya sesaji yang dibuat berdasarkan kegunaan masing-masing yang
mempunyai makna dan tujuan berbeda satu sama lain.
Dalam adat
istiadat masyarakat Jawa, sesaji atau
biasa disebut dengan sajen adalah sajian yang berupa makanan, hewan atau
buah-buahan yang dipersembahkan kepada arwah leluhur serta kekuatan gaib yang
ada dalam upacara yang diselenggarakan. Sebagian besar masyarakat Muslim Jawa
masih melakukan ritual-ritual tersebut khususnya yang beraliran kejawen, banyak
nilai-nilai yang terkandung di dalam ritual yang dilakukan oleh masyarakat
Muslim Jawa antara lain, nilai sosial kemasyarakatan dalam tradisi seperti
itu. Ada nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai
kebersamaan, bertetangga dan kerukunan antar warga, sekaligus menimbulkan suatu
perasaan kuat bahwa semua warga sama derajatnya satu sama yang lain.
Kata Kunci :
tradisi, kejawen
Pendahuluan
Masyarakat Jawa
yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga
dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan pandangan, nilai-nilai
budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Menyadari
kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya
atau keyakinannya tentang Tuhan. Mereka tidak pernah menganggap bahwa
kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah.
Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya
toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di
bidang-bidang yang lain (Koentjaraningrat, 1994: 312).
Memang ada
beberapa tradisi dan budaya Jawa yang
dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran
Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat
memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus
berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki
pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka
itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun
bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus
berjalan hingga sekarang.
Tradisi dan
budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang Jawa
yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan
keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada
momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat
dengan nuansa keagamaan.[1]
Setiap kali
suatu agama datang pada suatu daerah. Maka mau tidak mau, agar ajaran agama
tersebut dapat diterima oleh masyarakatnya secara baik, penyampaian materi dan
ajaran agama tersebut haruslah bersifat “membumu”, maksudnya adalah, ajaran
agama tersebut harus menyesuaikan diri dengan beberapa aspek lokal, sekiranya tidak
bertentangan secara diametric dengan ajaran substantive agama tersebut.
Umumnya, para pendakwah islam dapat menyikapi tardisi lokal, yang dipadukan
menjadi bagian dari tradisi yang “islami”, karena berpegang pada suatu kaidah
ushuliyah(kaidah yang menjadi pertimbangan yang perumusan hukum menjadi hukum
fiqih).
Sentuhan-sentuhan
islami mewarnai berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat
Indonesia, sebagai bukti keberhasilan dakwah islam, yang berwajah rahmatan
lil’alamin. Tentu saja, bahwa kemudian, dalam beberapa aspek, terutama
dalam konteks teologi dan fiqih normative sering mendatangkan kontroversi bagi
sementara kalangan, karena memang sebagian kecil umat islam menghendaki agar
islam dihadirkan sebagaimana kehadirannya di timur tengah sekarang, dimana
agama islam sudah terpadukan dengan budaya.
Memang agama
yang bisa hadir “secara murni” bagi yang penganutnya dipamdang sebagai sebuah
kenikmatan . namun, bukan berarti semua jenis kanikmatan. Namun, bukan berarti
semua jenis kenikmatan dan kebahagiaan bisa dengan seenaknya direngkuh, dan
semua hal yang terlihat bahaya harus segera digusur dari seluruh aspek
kehidupan.
Faktor lain
yang harus diperhitungkan dalam kerangka
menyikapi budaya yang masuk menjadi bagian agama adalah, adanya kaidah bahwa suatu
budaya dan tradisi yang sudah mengakar dan diteria secara mayoritas dalam suatu
kelompok muslim, maka hal tersebut dapat menjadi justifikasi perumusan hukum
fiqih.
Oleh sebagian
kaum muslim, adat sering diidentikkan dengan ‘urf. ‘urf sendiri maknanya adalah
tradisi atau kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa islam dalam banyak ajarannya bersifat sangat kooperatif
menyikapi fenomena kebudayaan. Adat istiadat sebagai sebuah proses dialektik-sosial
dan kreativitas alamiah manusia tidak harus dieleminasi, dibasmi, atau dianggap
musuh yang membahayakan, melainkan dipandang sebagai patner dan elemen yang
harus diadopsi secara selektif dan proposional.
Bagi
masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan
penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual
yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbo ritual merupakan ekspresi
atau pengejewantahan dari penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak
terjangkau sehingga menjadi sangat dekat.
Dengan
simbol-simbol ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu
terlibat " menyatu dalam dirinya". Simbol-simbol ritual tersebut
diantaranya adalah dalam bentuk makanan yang disajikan dalam ritual selamatan,
ruwatan dan sebagainya(Marzuki, 2012:3).
Namun, peran agama disini sangat
penting antara lain sebagai pedoman hidup maupun sebagai tatanan sosial dalam
masyarakat sehingga masyarakat mempunyai pola pikir yang sangat matang untuk
menilai suatu tradisi ataupun budaya yang ada disuatu daerah.
Pembahasan
Islam masuk ke Jawa pada waktu hampir secara
keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur. Sebelum Islam datang, agama
Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah
menjadi keyakinan yang dipercaya dikalangan masyarakat Jawa. Oleh karena itu,
setelah Islam datang terjadi pergumulan yang akhirnya muncul dua kelompok dalam
menerima Islam. Pertama, yaitu kelompok yang menerima Islam secara total dan
mereka yang menerima Islam, tetapi belum melupakan ajaran kepercayaan lama.
Oleh karena itu, mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran
Islam dengan kepercayaa lama.[2]
Dalam budaya
Jawa pra Islam yang bersumber dari ajara Hindu terdapat kepercayaan terhadap
para dewa seperti Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa, serta masih banyak
lagi. Demikian juga terdapat kepercayaan terhadap kitab-kitab suci, para resi,
roh jahat, dll. Pada agama Budha terdapat kepercayaan terhadap empat kasunyatan
(kebenaran abadi), yaitu dukha (penderitaan), samudaya (sebab
penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan), dan marga (jalan
kelepasan). Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha, maupun kepercayaan
dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam
berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.[3]
Berkaitan
dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan
Allah sering menjadi tidak murni karena tercampur dengan penuhanan terhadap
benda keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Keramat disini bukan sekedar
mulia, terhormat, tetapi memiliki daya magis sebagai sesuatu yang sakral
bersifat illahiyah. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang
dikeramatkan. Ada yang disebut azimat, pusaka, dalam bentuk tombak, keris, ikat
kepala, cincin, dll. Manusia, hewan, dan tumbuhan tertentu dipandang sebagai
suci, keramat, dan bertuah. Begitu juga kuburan apun petilasan, hari-hari tertentu
dipandang membawa barokah ataupun kesialan. Barang, benda, atau orang keramat
tersebut dipandang sebagai penghubung (wasilah) dengan Allah. Oleh karena itu,
bacan doa-doa tertentu berubah menjadi mantra, ayat suci al-Qur’an atau hurut
Arab menjadi rujahan yang diyakini memiliki nilai yang sangat berarti,
bukan dari makna yang terkandung dalam ayat tersebut melainkan dari daya
gaibnya.[4]
Sikap yang
toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, di satu
sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan
pencampuradukan antara Islam di satu sisi dan dengan kepercayaan lama dipihak
lain, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana yang
berasal dari tradisi. Namun aspek positifnya, ajaran yang disinkretiskan
tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima
Islam sebagai agama mereka yang baru. Dan sebaliknya, ajaran tersebut telah
memudahkan pihak Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan
budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam
kepada masyarakat Jawa.[5]
Dalam perkembangan Islam di Indonesia, ada dua
aliran utama yaitu aliran hikmah dan aliran kejawen. Aliran hikmah berkembangan
di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab
(kebanyakan bersumber dari al-Qur’an). Sedangkan aliran kejawen sebetulnya
sudah tidak ada lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi Islam.
Budaya
masyarakat Jawa sebelum Islam datang menyukai kegiatan mistik dan melakukan
ritual untuk mendapatkan kemampuan supranatural. Ketika para pengembang Islam
di pulau Jawa (walisongo) tidak menolak tradisi Jawa tersebut, melainkan
memanfaatkannya sebagai senjata dakwah agar mudah diterima.[6]
Islam mencoba untuk masuk kedalam struktur
budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa
islami. Dalam proses penyebaran Islam di jawa menggunakan dua pendekatan, yaitu
islamisasi kultur jawa dan jawanisasi islam. Islamisasi kultur jawa yaitu
proses pemasukan unsur-unsur islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun
substansial. Pendekatan yang kedua yaitu jawanisasi Islam. Jawanisasi Islam
yaitu pemasukkan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam.
Islam masuk ke Jawa pada waktu hampir secara keseluruhan
dunia Islam dalam keadaan mundur. Sebelum Islam datang, agama Hindu, Budha dan
kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah menjadi
keyakinan yang dipercaya dikalangan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, setelah
Islam datang terjadi pergumulan yang akhirnya muncul dua kelompok dalam
menerima Islam. Pertama, yaitu kelompok yang menerima Islam secara total dan
mereka yang menerima Islam, tetapi belum melupakan ajaran kepercayaan lama.
Oleh karena itu, mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran
Islam dengan kepercayaa lama. Adanya kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu,
Budha, maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses
perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.
Bulan suro
merupakan bulan permulaan dalam kalender jawa. Di bulan ini, berbagai tradisi
rakyat yang kental dengan nuansa mistis digelar. Salah satunya tradisi sampu
bawur yang berlangsung di desabangilan kecamatan bangilan kabupaten tuban.
Sampu bawur merupakan acara adat dimana warga berkumpul dan membawa berbagai
jajanan pasar seperti nagasari, apem, gemblong, dan lain sebagainya. Mereka
juga membawa rowotan seperti ubi jalar rebus maupun kacang tanah yang direbus.
Secara turun
temurun, tradisi sampur bawur dipercaya menjadi sarana tolak balak dan digelar
tepat di hari pertama bulan suro. Sampur bawur dimulai dengan berkumpulnya
warga desa dengan berbagai makanan yang mereka bawa dari rumah. Dilanjurlan
dengan membaca do’a yang dipimpin oleh modin.
Warna warni akulturasi budaya yang kini
terjadi, tidak melunturkan tradisi nyadran 'Sampur Bawur' dalam adat masyarakat
Tanggung, Kedungjambangan, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.[7]
Hingga saat ini, masyarakat yang tinggal di
ujung selatan Bumi Wali, sebutan Kota Tuban itu masih rutin menggelar tradisi
Sampur Bawur. Ritual Sampur Bawur biasanya dilaksanakan pada hari Ahad Kliwon
sebelum petani menebar bibit padi.
"Tradisi Sampur Bawur merupakan
serangkaian upacara sedekah yang dilakukan usai petani Nampek
(pengolahan sawah persiapan tebar benih)," terang, tokoh masyarakat
setempat, Sumijan (64).
Bapak dua anak itu menuturkan, tradisi Sampur
Bawur merupakan kegiatan yang dilakukan untuk bermunajat kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar masyarakat terhindarkan dari bala' atau mala petaka. Kegiatan yang
diisi dengan membaca ayat-ayat Alquran, zikir, dan do'a itu kemudian ditutup
dengan makan bersama.
Data yang berhasil dihimpun blokTuban.com di
lokasi Sendang Mbeji, antusias warga yang tinggal di utara bantaran Kali Kening
ini terlihat jelas dengan berdesak-desakannya masyarakat di dalam cungkup.
Tidak hanya orang tua, ibu-ibu dan anaknya pun turut hadir dalam acara ini.
Di wilayah yang ia pimpin, kata Sunari, ada
tiga tradisi yang dilakukan warga di tempat yang sama. Hanya saja nama dan
waktu pelaksanaannya yang berbeda.
Menurut orang yang dituakan di Dusun Tanggung
itu, memasuki tanam atau usai Nampek ritualnya dinamakan Sampur
Bawur. Kemudian setelah tanam padi nanti, dinamakan 'Bucu Kendit'. Dan yang paling
akhir usai panen raya, warga setempat menyebutnya Sedekah Bumi. [rof/
Tradisi Sampur Bawur merupakan sebuah upacara
yang di lakukan oleh masyarakat dusun Tanggung desa Kedungjambangan setelah
para petani didesa tersebut melakukan nampek (pengolahan sawah/pembajakan
sawah untuk persiapan tebar benih). Adapun tujuan dari tradisi ini adalah
memohon perlindungan kepada Allah SWT dari segala balak (mala petaka) dan juga
memohon agar benih yang ditebar bisa tumbuh subur. Tradisi ini biasanya
dilaksanakan di Sendang Mbeji pada hari Ahad Kliwon sebelum petani menebar
benih di sawah yang sudah dibajak. Sendang Mbeji merupakan sebuah tempat
pemandian air hangat yang berada di dusun Tanggung desa Kedungjambangan yang
konon katanya merupakan peninggalan dari Raden Said (Sunan Kalijaga).
Dalam
tradisi Sampur Bawur biasanya masyarakat setempat di minta untuk membawa nasi
(bisa juga tumpeng) beserta lauk pauk yang di letakkan di nampan atau ember
(baskom besar). Selain itu ada salah satu makanan yang wajib disertakan dalam
tradisi tersebut yaitu Lebruk. Lebruk merupakan jajanan yang berbahan dasar
tepung beras dan terigu yang di campur dengan tape singkong, santan, gula dan
pengembang kemudian di bentuk kerucut seperti apem atau dibentuk bulat besar
biasa setelah itu dikukus atau bisa juga dipanggang. Lebruk dipercaya oleh
masyarakat setempat sebagai wasilah kepada Allah untuk penolak balak, yaitu
penyakit bawur (buta). Adapun kegiatan yang ada dalam tradisi Sampur Bawur
adalah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, berdzikir dan berdo’a bersama, kemudian
ditutup dengan makan bersama semua masyarakat yang hadir dan mengikuti tradisi
tersebut.[8]
Lebruk
yang memiliki rasa asam manis legit, seolah menjadi makanan wajib setiap ritual
'Sampur Bawur' di Dusun Tanggung, Desa Kedungjambangan, Bangilan, Tuban, Jawa
Timur.
Tradisi Sampur Bawur merupakan serangkaian
upacara sedekah yang dilakukan usai petani Nampek (pengolahan sawah persiapan
tebar benih). Tradisi Sampur Bawur merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat terhindarkan dari balak
atau mala petaka. Kegiatan yang diisi dengan membaca ayat-ayat Alquran, zikir,
dan do'a itu kemudian ditutup dengan makan bersama.
Selain wajib ternyata olahan ini, memiliki
makna sebagai wujud doa bagi masyarakat baik petani maupun yang berprofesi
lainnya. Seperti yang dilakukan warga Tanggung, Kedungjambangan disaat
melakukan upacara tahunan tersebut.
Masyarakat meyakini, jajanan berbahan dasar
tepung beras dan terigu dicampur dengan tape singkong dapat dijadikan isyarat
tolak balak. Hal itu sesuai yang diungkapkan tokoh masyarakat setempat.
"Lebruk di acara Sampur Bawur merupakan
bagian yang tidak dipisahkan, dari pendahulu kita itu bisa dikatakan sebuah
keharusan," terang Kakek dua cucu itu.
Sumijan menjelentrehkan, makanan khas Tuban
ini, biasanya disuguhkan bersama dengan tumpeng yang dibawa warga saat upacara
Sampur Bawur berlangsung. Masyarakat meyakini dengan lebruk penyakit bisa
'Bawur' (buta, red) sehingga tidak jadi menyerang warga.
"Lebruk sebagai wasilah, tujuannya tetap
minta kepada Allah," tandasnya.
Warga setempat, Senok Wagiem ketika ditemui
blokTuban.com mengatakan, dalam pembuatan lebruk ada dua cara. Bisa dilakukan
dengan mengukus dan memanggang. Bentuknya pun bervariasi ada yang dibentuk
menyerupai apem, kerucut, dan ada yang dibentuk bulat besar mirip dengan pizza.
"Tergantung selera, kalau saya membuat
menyerupai apem dengan cara dipanggang," tukas ibu Kepala Dusun Tanggung
itu.
Kemudian lanjutnya, sebelum membuat lebruk,
hendaknya disiapkan dulu bahannya. Diantaranya yang utama, tepung beras,
terigu, tape singkong, santan, gula, dan pengembang. Semua bahan diaduk dengan
air kemudian didiamkan selama kurang lebih satu jam sebelum dikukus atau
dipanggang.[9]
Kesimpulan
Tradisi semua itu hanya melambangkan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan kenikmatan dalam hidup
dan pengamalan terhadap sila sila pancasila. pengamalan sila ke 1, bahwa
masyarakat kota Tuban mempercayai bahwa Tuhan itu ada dan yang telah memberikan
semua rahmat dan kesehatan sehingga melakukan bentuk rasa syukur. pengamalan
sila ke 2, bahwa bumi ini hari selalu kita jaga seperti menjaga laut, tanah
yang harus tetap subur, karena manusia harus memiliki adab. pengamalan sila ke
3, masyarakat Tuban telah melestarikan tata nilai tradisional bangsa dan
mengangkat kerukunan antar sesama yang menciptakan rasa persatuan satu antar
yang lainnya.
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya
melakukan kegiatan ritualistik tertentu. Sedangkan dalam budaya jawa sendiri
kental dengan adat ritual-ritual. Secara luwes Islam memberi warna baru dalam
pelaksanaan upacara tersebut dengan sebutan kenduren atau slametan. Inti dari
kegiatan tersebut yaitu pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang dipandang
memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin, kaum, lebe, atau
kiai.
Bagi
masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan
penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual
yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbo ritual merupakan ekspresi
atau pengejewantahan dari penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak
terjangkau sehingga menjadi sangat dekat.
Tradisi Sampur Bawur merupakan serangkaian
upacara sedekah yang dilakukan usai petani Nampek (pengolahan sawah persiapan
tebar benih). Tradisi Sampur Bawur merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat terhindarkan dari balak
atau mala petaka. Kegiatan yang diisi dengan membaca ayat-ayat Alquran, zikir,
dan do'a itu kemudian ditutup dengan makan bersama.
Secara turun temurun, tradisi sampur bawur
dipercaya menjadi sarana tolak balak dan digelar tepat di hari pertama bulan
suro. Sampur bawur dimulai dengan berkumpulnya warga desa dengan berbagai
makanan yang mereka bawa dari rumah.
Referensi
Koentjaraningrat.
(1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Amin,
Darori dkk.2000.Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Chamami, M.Rikza.
2015. Islam Nusantara Dialog Tradisi dan Agama Faktual.
Semarang: Pustaka Zaman.
Shodiq.2013.
Potret Islam Jawa.Semarang: Pustaka Zaman.
Sutiyono,
Agus. 2014. Kearifan Budaya Jawa Pada Ritual Keagamaan. Semarang:
LP2M.
https://budayajawa.id/tradisi-sampur-bawur-tuban/
http://bloktuban.com/2016/12/11/sampur-bawur-tradisi-tuban-yang-tetap-lestari/
https://www.bloranews.com/campur-bawur-di-bulan-suro-tolak-balak-dan-merawat-kearifan-lokal/
http://bloktuban.com/2016/12/12/lebruk-makanan-khas-tradisi-sampur-bawur/
[1] Koentjaraningrat.
(1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
[2] Shodiq, Potret
Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 43-44.
[3] Darori Amin, dkk, Islam
& Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 122-123.
[4] Darori
Amin, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000),
hlm. 124-125.
[5] Shodiq, Potret
Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 45.
[6] Shodiq, Potret
Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 45-46.
[9] http://bloktuban.com/2016/12/12/lebruk-makanan-khas-tradisi-sampur-bawur/
Komentar
Posting Komentar